Part 2

28 3 0
                                    

Ini kisahku dengan Lena, atau Lenata Putriana. Seorang anak keturunan Belanda. Ayahnya merupakan pemilik perusahaan tambang ternama. Lena adalah anak tunggal, ia tinggal di Surabaya dengan para pembantunya, jarang sekali ayahnya berada di rumah. Lena memiliki banyak prestasi, dia merupakan juara nasional panahan dan juara 2 Olimpiade Matematika se-Asia Tenggara. Dia adalah wanita yang baik, namun tertutupi oleh sikap pendiamnya yang dingin. Dia tak memiliki teman di sekolah.

                Pertama kali kubertemu dia adalah saat perayaan tahun ajaran baru sekolah. Acara yang membosankan membuatku berjalan-jalan berkeliling. Saat itu, aku tak sadar melihatnya di atas bukit belakang sekolah. Saat itu dia sedang sendiri, jadi kuputuskan tuk menghampiri dia.

                “Hai. . Sedang apa kau di sini sendirian?” ucapku tiba-tiba

                “Ha. .aa. .a? Ti-tidak apa-apa.” sambil mengusap mata dan pipinya. Masih terlihat jelas bekas air mata yang dia usap.

                “Apa kau baru saja nangis?”

                “Enggak. Kenapa kau ada di sini? Kenapa kau tak di perayaan sana?” ucapnya agak meninggi.

                “Aku hanya sedang berkeliling. Di sana terlalu membosankan. Kau sendiri sedang apa di sini? Dan kenapa kau menangis?”

                “Apa urusanmu sampai perlu tahu apa yang ingin kulakukan?” wajah dinginnya muncul, dia membuang muka dan berbalik untuk meninggalkanku.

Kuraih tangannya dan kuberusaha menarik membawanya pergi.

                “Mau apa kau?”

                “Sudaah, ikut saja. Aku orang baik-baik kok.”

                “Aku bisa teriak sekencang-kencangnya sekarang kalau kau gak lepasin tanganku.”

                “Ssstt. .” Kulepaskan tangannya. “Ikuti saja aku. Percayalah. Aku akan menunjukkan suatu tempat yang indah padamu sehingga kau tak perlu mengingat-ingat lagi apa yang membuatmu menangis.”

                “Kau jangan sok tahu tentang apa yang kurasakan. Kau sama sekali tak mengenal aku. Dan aku juga tak mengenalmu.”

                “Memang benar kita tak saling kenal. Jadi, perkenalkan dulu, namaku Arlando Dwi Putra. Kau bisa memanggilku Arlan. Dan kau? Aku juga tak mengerti apa yang kaurasakan, namun yang kutahu, kamu sedang bersedih dan aku tak ingin melihatmu bersedih, lagi!”

                Dia hanya terdiam, perlahan kuraih tangannya kembali dan kutarik dia ke tempat indah yang kujanjikan. Kubantu dia melewati tembok pagar sekolah.

                “Sebentar lagi kita sampai.” Semak belukar yang selalu menemani mulai menghilang. Suara derasan air mulai terdengar. Di ujung jalan, dedaunan yang menutup jalan segera kusingkirkan.

Pemandangan indah segera tersuguhkan. Suara derasan dari air yang tak terhitung jumlahnya sedang menikmati terjun bebasnya dari pucuk bukit. Burung-burung saling beradu terbang di angkasa. Sebagian lagi beradu lagu bersembunyi di pepohonan. Samar-samar suara serangga-serangga terdengar bersaingan. Mereka bersama para tanaman air tampak menghiasi pinggiran kobangan air raksasa. Ya, danau, tepat di depan kami terdapat danau indah yang langsung dihujani oleh air jatuh dari sang air terjun. Airnya yang jernih seolah-olah sengaja memperlihatkan para ikan-ikan cantik yang bersembunyi di air. Di sekeliling danau, pemandangan hijau tersebar di mana-mana. Pohon hijau rimbun bertebaran di mana-mana. Tempat ini masih jarang terjamah oleh tangan manusia. Di kota besar seperti Surabaya, tempat seperti ini sudah sangat amat langka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

i don't have loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang