Dua - Tiba

18 8 3
                                    

Tadi, Fadhil terpaksa mengakhiri percakapannya dengan Dirly karena ponselnya yang lowbat. Ia berdiri di dekat tiang depan kamar tempat Nadhif berbaring saat menelfon Dirly. Lama  ia  masih berdiri di tempat. Fadhil memandangi kolam ikan di depannya, yang suara gemercik airnya terdengar menyejukkan. Ia berdiri bersandarkan tiang tembok. Kini ia berbalik badan, menuju bangku yang diduduki Darish.

"HP gue mati. Lo ada powerbank nggak?" Fadhil mulai duduk di samping kiri Darish.

"Duh, sorry nggak bawa. Dhil, gue pulang duluan ya, barusan nyokap gue ngirim whatsapp, nyuruh gue pulang soalnya ada perlu." Ujar pria berkaca mata itu, berpamitan.

"Sip. Hati-hati ya." Pesan Fadhil.
Mereka bersalaman. Darish melangkah meninggalkan Fadhil. Sekarang, ia duduk sendiri di bangku depan kamar rumah sakit tempat Nadhif berbaring. Sesekali ia mengintip Nadhif lewat jendela. Nadhif yang belum sadar.

Fadhil berdiri, melangkah pergi. Ia akan ke kantin rumah sakit untuk membeli makan, juga akan ke mushola untuk sholat ashar, mengingat waktu sudah hampir memasuki waktu ashar.

Seorang gadis ditemani kakaknya kini berjalan menuju kamar Nadhif. Dirly dan Yanas sudah tiba. Sebelumnya, mereka mendatangi tempat informasi untuk bertanya di mana kamar Nadhif.

Dirly memelankan langkahnya setiba ia di dekat kamar Nadhif. Kakinya sedikit bergetar. Jantungnya berdebar cepat. Yanas merangkul adiknya. Dirly menghentikan langkahnya. Ia berdiri di depan jendela kamar. Matanya tertuju pada Nadhif. Lama ia menatap Nadhif sangat dalam. Tiba-tiba Dirly terisak. Tangan kanannya menutupi mulutnya. Ia sangat khawatir dengan Nadhif yang di hidungnya terpasang selang oksigen. Dirly lemas. Ia memilih duduk di bangku. Yanas membawa Dirly ke dalam pelukannya. Dirly menyandarkan kepalanya di pundak Yanas.

"Nggak apa-apa. Nadhif cuma pingsan. Tadi lo denger sendiri kan, Fadhil ngomong apa. Nadhif nggak parah, gitu kan?" Yanas berusaha tersenyum, menenangkan adiknya.

"Tapi, di mana Fadhil?" Dirly bangun dari sandarannya. Ia melihat sekeliling, mengintip kamar Nadhif, namun Fadhil tidak ada. "Apa Fadhil ke ruang dokter?" Dirly menatap Yanas. Mereka saling pandang.

"Ngapain?" Tanya Yanas.

"Mungkin Fadhil lagi tanya ke dokter, kenapa Nadhif belum juga sadar?" Ujar Dirly menduga-duga.

"Sst." Yanas menyandarkan kembali kepala Dirly di pundaknya. "Jangan negatif thinking gitu."

"Kenapa tangan Nadhif diperban? Kenapa kakinya diperban juga? Kenapa dia pake oksigen? Katanya gitu nggak parah." Dirly kembali terisak.

Yanas hanya bisa bersikap tenang. Tangannya lembut mengelus kepala Dilry.
Ponsel Dirly berdering. Ia bangkit kembali dari sandarannya. Ada telepon dari Rais, teman sekelas sekaligus satu tim basket dengan Yanas. Dirly menyerahkan telepon itu kepada Yanas tanpa berkata. Yanas segera berdiri, ia mengangkat telepon itu.

"Lo di mana? Sekarang udah mau jam 4 bro. Pertandingan harusnya jam 4. Kok lo nggak dateng-dateng? Bukannya tadi lo pamit ke kita mau pulang duluan cuma buat ngambil jersey? Kita bisa di diskualifikasi kalau anggota tim nggak lengkap. Lawan main kita udah siap. Lo cepetan ke sini!" Rais mengakhiri pembicaraannya secara sepihak.

Yanas tidak sempat menjawab apa-apa. Semenjak ada kabar tentang Nadhif, Yanas lupa apa tujuannya pulang ke rumah. Ia benar-benar lupa kalau hari ini ada pertandingan basket antara tim SMA nya dengan tim SMA lain. Yanas berjongkok di hadapan Dirly, menjelaskan.
"Maaf, gue lupa kalau ada tanding hari ini. Gue harus ke GOR basket. Maaf ya, lo gue tinggal. Nanti lo whatsapp Rais aja kalau mau pulang. Gue jemput lo nanti." Yanas tersenyum. Ia menepuk pelan pipi Dirly.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KOMITMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang