Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laaillaahaillallaah huwallahu Akbar, Allahu Akbar Walilaah hilhamd.
Tes, tes, tes, air mataku menetes mendengar lantunan takbir yang aku putar di ponselku. Aku merindukan mereka, merindukan mereka yang ada di Indonesia. Ayah, Ibu, Adik, Nenek dan semuanya maafkan atas segala kesalahanku. Aku sangat ingin pulang saat ini, dan memeluk kalian satu per satu demi mendapatkan sebuah maaf dari kalian semua. Tapi karena kesalahan terbesarku aku tak bisa pulang menemui kalian lagi.
Ibu, di sini sepi, di malam 1 syawal di sini sepi. Aku tak mendengar lantunan takbir yang menggema, aku tak melihat orang beramai-ramai ke jalan pawai bedug dan semacamnya. Yang kurasakan malam ini hanya kekosongan hati dan kepedihan, kepedihan tak bisa berkumpul bersama kalian, kepedihan tak merasakan suasana malam yang begitu raya dan agung dan kepedihan aku yang telah lalai menjalankan perintah Tuhanku, juga perintahmu, Ibu.
Ibu, maafkan aku mengecewakanmu.
Ibu, maafkan aku yang tak bisa mematuhi perintahmu.
Ibu, maafkan aku karena telah melepas hijab yang selama ini melekat di tubuhku.
Ibu, aku anak yang durhaka, telah menikahi pria yang bukan seorang Muslim. Hal yang paling tak Ibu Ridhoi.
Maafkan aku, Ibu. Aku sungguh mencintainya, aku tak bisa membendung perasaanku.
Tapi, Ibu ... cinta ini begitu kurasakan teramat pedih. Pedih karena aku telah menentangmu dan pedih karena kau tak mau mengakuiku sebagai anakmu lagi.Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laaillaahaillallaah huwallahu Akbar, Allahu Akbar Walilaah hilhamd.
Aku menggumamkan kalimat itu lagi, kalimat yang memang diharuskan dibaca terus menerus untuk semua umat muslim saat malam 1 syawal. Bibirku mulai bergetar menggumamkannya, dan air mataku kembali menetes. Andai saja di sini aku mempunyai seorang teman yang sama-sama muslim seorang saja, mungkin aku takkan merasa sepedih ini karena kesendirianku. Aku hanya bisa kembali tersenyum pahit, dan kembali terus menggumamkan takbir sambil menunggu kepulangan suamiku, Oh Sehun.
.
Akhirnya aku membaringkan tubuhku di ranjang, aku kembali termenung memeluk guling dengan posisi tidur menyamping. Hatiku terasa kosong dan pilu tanpa keluargaku di sampingku saat ini. Pertama kalinya lebaran tanpa mereka, dan pertama kalinya aku menjalankan ibadah puasa di Negeri orang.
"Ibu, maafkan aku, hiks." Aku bergumam lirih memegangi dadaku yang terasa sesak.
Apa aku menyesal dengan pernikahan ini? Tentu tidak, karena aku menikah dengan Oh Sehun pria Protestan berkewarganegaraan Korea dan asli Korea karena aku mencintainya. Dengan tulus mencintainya, sangat mencintainya hingga membutakan mata hatiku dan menentang Ibuku.
"Natasya sayang, ke mana pun langkah kakimu membawamu ... di mana pun kau berada... Ibu selalu mendukungmu, Ibu akan selalu mendo'akanmu. Pergi saja ke Korea jika itu memang keinginanmu, Ibu tak bisa menahanmu. Hanya satu pesan Ibu, di mana pun kau berada tetaplah ingat Allah maka Allah akan selalu bersamamu dan melindungimu dari apa pun. Jangan pernah terlena dan terbuai akan rayuan duniawi karena itu hanya bersifat sementara. Ibu tak mau kau terjerumus, kau mengerti apa yang Ibu maksud? Carilah calon suami yang bisa menjadi Imam yang baik dan menuntunmu ke Akhirat dengan bahagia. Dan sejauh mana pun kau bergaul di sana, janganlah sekali-kali membuka Hijabmu. Satu lagi, jangan pernah kautinggalkan Shalat yang lima waktu, Nak."
"Ibu, maafkan aku." Aku kembali terisak menangis dengan sesenggukan dan kali ini lebih keras mengingat semua pesan ibuku yang telah kulanggar. Tanpa Ridhomu, Ibu ... hidup ini hampa.
Tanganku perlahan bergerak ke bagian bawah tubuhku, perut. Aku mengelusnya perlahan. Ibu, Aku pun akan menjadi seorang ibu. Maafkan aku pernikahan yang tak Ibu Ridhoi ini telah tumbuh segumpal janin murni di rahimku, janin tanpa dosa. Seorang anak yang nantinya kubesarkan dengan agama lain, tentu saja anak pertama harus mengikuti Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta beda Agama (My Love Is My Pain)
FanfictionCintaku adalah kesakitanku. Mencintaimu adalah luka untukku. Bersamamu adalah surga dan nerakaku. Perbedaan, kenapa begitu menyesakkan perbedaan itu. Aku yang mencintai dengan tulus seorang insan yang berbeda denganku. Yang kini menjadi suamiku. Aku...