Ikatan tali baju yang ada di pinggangku ini untuk kesekian kalinya lepas. Aku benar-benar merasa kesal karenanya. Baju ini baru kubeli beberapa hari lalu tapi sudah membuatku penuh emosi siang ini. Sudah cukup tiga mata kuliah hari ini membuat pikiranku suntuk. Tali baju ini, huh, aku harus membereskannya!
Saat aku berdiri berjalan menuju koperasi untuk membeli peniti, sebuah brosur tiba-tiba menutupi wajahku dan menghentikan langkahku. Dengan perasaan gusar aku segera mengibaskannya dari wajahku. Tapi rupanya selotip yang ada di brosur itu membuatnya menempel di tangan kananku.
“Maaf ya, kak, maaf,” seorang gadis muda, yang terlihat lebih muda dariku, mendatangiku dengan pandangan bersalah. “Maaf, karena saya teledor jadinya brosur itu kena wajah kakak. Maaf ya.”
Mendengarnya berulang kali mengucapkan kata maaf, aku berusaha meredam emosiku dan meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. “Tenang aja,” aku melepaskan brosur itu dari tanganku dan memberikannya pada gadis itu. “Lain kali hati-hati ya.” Kulemparkan senyum padanya.
Ia mengangguk. “Terima kasih,” katanya.
“Sama-sama,” aku mengangguk juga.
Saat aku akan berpaling pergi, gadis itu menyentuh bahuku, dan membuatku berpaling lagi padanya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini,” ia memberikan brosur itu kembali padaku.
“Kok dikembaliin ke aku?” aku bertanya lagi sebelum menerima brosur itu kembali.
“Kami mengadakan UKM Bakti Sosial mulai semester ini,” katanya, “dan mungkin kalau kakak tertarik, bisa hubungi saya.” Ia menunjuk sebuah tulisan ‘Patrice’ di brosur itu.
Aku tersenyum. “Aku pikirin dulu ya, Patrice,” aku menolaknya dengan halus, seperti yang biasanya mami ajarkan padaku kalau aku tidak tertarik pada sesuatu.
“Iya kak, saya tunggu konfirmasinya,” katanya dengan baik padaku seolah tidak peduli bahwa aku telah menolaknya barusan.
Kuanggukkan kepalaku padanya. Belum sempat aku berpaling darinya, ia menyentuh lenganku. Apa lagi? pikirku sambil menggeram dalam hati.
“Ini peniti buat tali baju kakak,” ia mengulurkan tangannya yang terbuka dengan sebuah peniti di atasnya.
Aku terbelalak dan seorang nafasku berhenti sejenak. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa tahu bahwa aku membutuhkan peniti itu. Apa jangan-jangan dia bisa baca pikiranku? Dan jangan-jangan dia ngerti aku barusan ngomong apa. Ah udah deh. Aku tidak berpikir panjang lagi dan langsung mengambilnya dari tangannya. “Makasi ya, Patrice,” kataku.
“Sama-sama,” balasnya. Aku berpaling dan kali ini benar-benar berjalan pergi darinya.
Sejak pertemuan kami yang pertama itu, kami semakin sering bertemu karena pada akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti UKM Bakti Sosial itu. Entah bagaimana pikiranku bisa berubah, tapi yang aku tahu pasti, Patrice bisa mengubah pendirianku. Mungkin dia memang punya sesuatu di dalam dirinya yang aku tidak ketahui. Yang aku tahu pasti, Patrice seseorang yang spesial.
Dua bulan berlalu sejak UKM itu berdiri. Kami sudah melakukan beberapa bakti sosial ke panti asuhan, panti jompo, dan bahkan kepada anak-anak jalanan. Aku merasa jiwaku sudah menyatu untuk kegiatan sosial semacam ini. Aku, yang orang sering panggil si cuek bebek, melakukan hal yang cinderella lakukan pada semua orang dengan kebaikannya yang tulus. Hal ini kadang-kadang membuatku tertawa sendiri.
“Kak Millie, kamu besok bisa ikut ke acara pembukaan toko bangunan yang besar itu kan? Toko bangunan apa tuh? Budiono Jaya?” Patrice datang dengan tiba-tiba saat aku sedang membereskan kertas-kertas yang berserakan di lantai dan membungkusnya ke sebuah plastik hitam besar.
Aku mendongak dan memandangnya sejenak. “Hei kamu, bantuin dulu aku beresin ini nih, baru aku jawab,” kataku sambil tertawa sendiri karena tidak tahan melihat wajahnya yang seolah ia kerucutkan menjadi satu ke tengah dan membuatnya terlihat seperti alien manis setelah mendengar perintahku.
Dengan terpaksa ia jongkok dan membantuku membereskan sisa-sisa kertas itu.
“Nggak usah cemberut gitu deh,” kataku sambil mengikat plastik itu dengan tali rafia yang cukup panjang. “Buang ini kesana. Besok aku ikut. Naik motor sendiri.”
Secepat kilat sebuah senyum yang lebar terlihat di wajahnya. Ia menyambar plastik itu dan memelintirkan ujungnya di sekitar telapak tangannya. “Oke deh,” ia berpaling dan pergi membuang sampah itu.
Lucu, kataku dalam hati.
Aku berdiri dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Hari ini aku sudah merasa capek sekali setelah menyelesaikan acara sosial yang kampus selenggarakan. Semoga besok saat bangun pagi aku sudah mendapatkan kekuatan yang baru lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colors Made It (Bahasa Indonesia)
Teen FictionCuman warna baju doang bisa ketemu sama jodoh kamu? Lucu. Memangnya itu bisa terjadi di dunia nyata? Ya, percaya atau tidak, itulah yang Millie rasakan. Kalau masih tidak percaya, baca aja cerita ini.