Chapter 4 (Final)

201 9 6
                                    

******************

Segala persiapan sudah diatur. Aku, Patrice dan mami menghadiri acara wisuda itu. Setelah itu, kami merayakannya bertiga di sebuah restoran di dekat sana dan bersenda gurau. Hari itu aku merasakan sukacita yang luar biasa. Tidak bisa kujelaskan bagaimana rasanya.

Malam pun tiba. Pukul 07.00 WIB saat acara perayaan wisuda dimulai. Aku bersama dengan teman-teman satu angkatan saling memberikan selamat dan mengambil foto bersama. Kami makan dan bersenda gurau disana. Patrice dan beberapa teman yang ia ajak pun ikut bersukaria merayakan wisuda angkatan kami.

Satu jam sudah kuhabiskan untuk bersenang-senang dengan setiap orang disana. Rasanya pegal sekali tumitku. Sepatu hak tinggi memang selalu menyiksa walaupun aku menyukainya. Kulihat ke sekelilingku untuk mencari tempat duduk yang kosong. Hanya di ujung kolam renang yang tidak diduduki.

Aku berjalan kesana dan mengistirahatkan tubuhku. Kuselonjorkan kakiku dan aku menutup mataku. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi tidak jadi masalah aku berdiam di bawah langit terbuka dengan gaun biru muda pemberian Patrice ini.

“Seharusnya sepatu hak tinggi begini nggak boleh dipake,” suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku dan segera membuatku membuka mata. Aku berpaling dan melihat Calvin duduk di sampingku. “Kok kamu─”

“Nggak di Australia?” ia menggeleng. “Ada pemberitahuan kalau pesawatku delay untuk beberapa minggu. Aneh. Aku nggak pernah ngalamin tuh pesawat delay beberapa minggu.”

Aku terkejut. Bukannya aku iseng ngomongin itu kemarin siang ke Patrice? aku berpikir dalam hati. Kenapa omonganku jadi kenyataan? Wah, aku harus ati-ati kalau ngomong nih jadinya.

“Kenapa? Kok bengong?” tanyanya.

Aku tidak menjawabnya. Aku melihat warna baju yang ia pakai. Persis seperti dugaanku, dia memakai warna yang sama denganku.

“Kamu mau ngomong kalau kamu suka sama aku ya?” aku bertanya tanpa basa-basi.

Calvin terdiam sejenak. Ia terlihat sangat terkejut dengan pertanyaanku yang langsung pada intinya. “Kok kamu tau?” tanyanya. “Memang aku suka kamu,”

Mendengarnya, hatiku menjadi berbunga-bunga. Mungkin sekarangpun pipiku sudah berubah menjadi merah merona. Aku berusaha menahan untuk tersenyum, tapi aku gagal. Aku pun berpaling ke arah lain untuk menutupinya.

“aku sayang kamu dan,” lanjutnya, “aku cinta kamu.” Ia beranjak dari tempat duduknya dan berlutut di depanku.

Aku menyadarinya dan kemudian berpaling kepadanya.

“Aku tahu dan yakin pasti kamu itu memang wanita yang tepat yang Tuhan kasi buat aku,” ia berkata dengan penuh keteguhan, seperti tidak ada keraguan dalam nada suaranya.

Aku tersenyum. “Aku juga yakin, walaupun baru kemarin disadarin Patrice, kalau kamu itu memang jodoh yang Tuhan kasi buat aku,” ungkapku.

“Baguslah kalau gitu,” katanya. Ia merogoh kantong celananya dan mengambil sebuah kotak hati berwarna putih dengan pita biru di sekelilingnya. “Aku udah beli ini lama sebelum kita ketemu secara nyata. Sebenernya aku pernah mimpi tentang kamu dua kali sebelum kita ketemu dan berkali-kali mimpi kamu habis kita ketemu.” Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin yang permatanya membentuk inisial namaku. M.

“Kok bisa tepat inisialnya namaku yang kamu pilih?” aku benar-benar tidak menyangka kejadian yang lucu tapi menganggumkan ini terjadi di dunia nyata.

“Dalam mimpiku aku pakein cincin ini di jari seorang wanita sebelum kita ketemu,” jawabnya. “dan setelah kita ketemu aku mimpi─”

“Aku dateng ke kamu pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita warna biru,”

Colors Made It (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang