Chapter 3

166 9 1
                                    

******************

Satu tahun berlalu dengan cepat. Aku sebentar lagi akan diwisuda. Kenangan-kenangan yang kualami di kampus ini, terutama dalam UKM Bakti Sosial tidak akan pernah kulupakan. Setiap foto yang diambil dalam setiap acara menjadi sering kulihat semenjak aku menyelesaikan skripsiku dan lulus dengan suma cumlaude alias IP 4.00! Terkadang aku tersenyum sendiri melihat setiap kejadian yang terekam dalam foto-foto itu. Rasanya menyenangkan sekali waktu itu. Ingin rasanya aku kembali lagi merasakan masa itu.

“Besok diwisuda ya, kak?” Patrice menyenggolku dengan senyuman menggoda.

Patrice. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku akan menjalin persahabatan kami atau aku lebih senang untuk menyebutnya persaudaraan kami dengan erat. Dia adalah gadis terbaik yang pernah ada di hidupku. Adik angkatku.

“Udah tua nih berarti,” ia menggelak tawa.

“Yee, nggak tua juga kali nyebutnya,” aku mencubit kedua sisi pipinya.

“Aww, kak,” ia mengibaskan tanganku. “Sakit tau.” Ia mengerucutkan wajahnya.

Melihatnya aku menggelak tawa. “Eh, kamu juga bakalan ngalamin kayak aku sebentar lagi,” ujarku.

“Dua tahun lagi kak, masih lama,”

Aku menggeleng. “Nggak lama tau,”

“Lama,”

“Nggak,”

“Lama,”

“Ah, nggak enak debat sama kamu,” aku mengakhiri argumen kami dan mengganti topik. “Oh iya, gimana hubunganmu sama cowok yang waktu itu nolongin kamu untuk nggak demam panggung sampe sekarang? Hayo, pasti udah pacaran kan? Mulai aku skripsi kan aku nggak tau kondisimu. Ayo cerita tentang kamu sama siapa tuh namanya? Calvin?” Aku menggelitiknya.

“Enggak ah,” ia menggeliat. “Kak Calvin tuh cuman aku anggap kakakku kali. Kita emang deket, tapi bukan pacaran.”

“Masa?” aku menggodanya lagi.

“Justru aku tuh pengen tanya kamu sesuatu kak,” ungkapnya.

Aku mengerutkan dahiku. “Tanya aku?”

Ia mengangguk. Ia mengambil Tablet yang ia beli hasil kerja kerasnya dari dalam tas mini-nya tapi tidak melakukan apapun kecuali menggenggamnya. “Kamu nyadar nggak kak kalau kamu tuh selalu pake baju yang warnanya sama kayak baju yang dipake kak Calvin?” tanyanya seraya seorang wartawan yang menginvestigasi seorang kriminal wanita. Pandangannya terlihat dalam sekali dan tubuhnya condong kepadaku.

Aku diam sejenak memikirkannya dan berusaha mengingat-ingat setiap kali aku bertemu dengan Calvin. “Nggak tuh,” jawabku singkat ketika aku tidak mengingat bahwa kami pernah memakai baju berwarna sama.

“Coba liat ya, aku tunjukin ke kamu foto-foto kita waktu bakti sosial. Aku punya banyak nih yang ada di Tablet-ku,” ia menggeser-geser icon-icon yang ada gadget itu. “Sebentar..nah ini dia. Liat ya, kalian itu selalu pake warna baju yang sama.” Ia mendekatkan badannya padaku dan menunjukkan foto-foto yang dimaksudkannya tadi.

Aku tercengang melihat setiap foto itu. Beberapa kali aku menggaruk kulit kepalaku karena terasa gatal akibat cuaca panas saat di luar rumah tadi. “Iya ya?” hanya itu yang kuekspresikan.

Setelah seluruh foto sudah ia tunjukkan, ia bertanya padaku, “Aku tanya ya. Pernah nggak kak kamu tuh berdoa untuk selalu pake warna baju yang sama kayak dia?”

Aku menempelkan telapak tangan kananku di dahi. “Gimana bisa aku berdoa gitu sementara aku sendiri nggak deket sama dia?” aku lantas menyangkalnya.

“Yang bener? Aku bener-bener penasaran nih,” ia mendesakku.

Aku berpikir sejenak. Tidak lama aku teringat sesuatu yang bersangkutan dengan hal aneh ini. “Well, sebenernya waktu SMA dulu aku pernah iseng berdoa sama Tuhan kalau aku ketemu sama orang yang selalu pake baju yang warnanya sama kayak aku, itu berarti dia jodohku,” ungkapku. “Dan sebenernya aku tuh udah lupa lho.”

Patrice tiba-tiba saja mengangguk-angguk sambil menyiratkan sebuah senyuman yang memberi makna tertentu padaku.

“Apaan sih?”

Ia tidak bergeming. Senyumannya semakin bertambah lebar saja.

“Patrice Swastika Tirtowadoyo,” kusebutkan namanya dengan lengkap seperti ketika aku merasa kesal padanya, “kenapa kamu senyum-senyum gitu?”

“Kak Calvin itu jodohmu,” katanya tanpa basa-basi.

Aku tersentak. Hatiku tiba-tiba saja berdebar kencang. Namun pikiranku berputar memikirkan betapa sangat jarangnya aku berbicara dengannya, walaupun dia selalu membantu acara bakti sosial kami. Dalam hatiku aku merasa bahwa ini adalah hal yang mustahil dan aneh.

“Sayangnya dia besok udah nggak di Indonesia,” nada suara Patrice berubah menjadi kecewa.

Mendengarnya, aku juga merasa sedikit kecewa jadinya. Namun aku memutuskan untuk menghiraukannya.

“Dia mau dipindahin kerjanya di Australia,” jelasnya. “Kamu sih kak nggak dari dulu aja deket sama dianya.”

“Kok kamu nyalahin aku gitu sih?”

“Soalnya tuh kak Calvin juga beberapa kali tanya tentang kamu,” lalu ia segera menutup mulutnya seperti baru saja membuka rahasia dengan tidak sengaja.

“Tanya tentang aku?”

“Aku harusnya nggak ngomongin ini,” gumamnya sambil menepuk dahinya dengan telapak tangan kanannya.

“Pat?” aku menepuk bahunya. Kutatap dia dengan pandangan tajam.

Ia menghela nafas. “Ya udah aku beritau aja lah,” katanya.

“Ada rahasia?”

Ia tidak menghiraukan pertanyaanku tapi langsung menceritakanku tentang Calvin. “Dia beberapa kali mimpi tentang kamu jalan ke arah dia pake baju pengantin putih ada ikat pinggang pita biru. Makanya dia tanya siapa namamu sama gimana kebiasaanmu, pokoknya tentang kamu lah. Dan, bukan beberapa kali, tapi sering,” ungkapnya dengan sangat jelas.

Hatiku merasa semakin berdebar-debar. Namun kemudian rasa kecewa itu datang kembali ketika aku mengingat perkataan Patrice yang mengatakan bahwa Calvin sudah berangkat ke Australia. Apakah aku sudah membuang kesempatan? Tidak. Aku seharusnya menghiraukannya lebih lagi saat ia bicara denganku. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa ia menyukai Patrice kalau dalam percakapan kami yang sangat sedikit itu ia tidak membahas sedikitpun tentang Patrice tapi aktivitasku? Seharusnya aku sudah menyadarinya waktu itu. Seharusnya aku lebih peka lagi kalau Calvin memperhatikanku. Kenapa aku─ah, sudahlah.

“Kak, kamu sedih ya?” Patrice menyadarkanku dari lamunan. “Maafin aku. Aku juga nggak cerita ke kamu.”

Aku menggeleng. “Nggak lah. Kamu nggak salah. Semua bakalan baik-baik aja. Kalaupun toh dia itu jodohku, gimanapun caranya aku bisa ketemu dia lagi. Siapa yang tahu pesawatnya harus delay beberapa minggu? Mungkin aja sih,” aku meyakinkan Patrice sambil menghibur diriku sendiri. “Besok aku wisuda, jadi aku harus seneng. Lagipula IP-ku kan empat.” Aku tersenyum padanya.

“Kak Millie,” Patrice memelukku. “Aku berdoa yang terbaik untuk kamu. Aku sayang sama kamu kak.”

Aku membelai rambutnya. “Makasi ya adik angkat,” kami tertawa dengan sebutan itu untuknya. “Kamu pokoknya harus jadi special guest di acara wisuda sama perayaan wisuda malemnya ya.”

“Pasti,”

Colors Made It (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang