Prolog

465 50 5
                                    

Gadis berambut senja itu berjalan, melewati deretan toko di pinggir jalan. Sesekali, matanya menelusuri toko dan orang-orang yang ada di depannya.

"Padahal masih jam 6 pagi, tapi sudah seramai ini..." Gadis itu menatap sekelilingnya dengan kagum.

Suara langkah kakinya bercampur dengan suara lain yang ada di sekelilingnya, yang membuat keadaan menjadi semakin ramai.

Untuk yang pertama kalinya, gadis berambut senja yang berumur 18 tahun itu menginjakkan kakinya di Tokyo, tempat yang selama ini hanya ia dengar dari berita.

"Tokyo memang hebat!" gadis itu bersorak gembira, dan mempercepat langkahnya.

Petra Ral, nama gadis itu. Ia sedang berjalan menuju kampus barunya dengan perasaan senang karena akhirnya ia dapat diterima di kampus impiannya.

"Hm... Masuknya masih jam setengah 8 ya?" Petra melirik jam tangan yang melingkar manis di tangannya, kemudian mengedarkan pandangannya lagi, "Kalau begitu, enaknya kemana dulu ya~?"

Ia menatap deretan toko yang sudah ia lewati, kemudian menggeleng. Tidak ada yang menarik perhatiannya, kecuali sebuah toko kue kecil yang ada di depannya. Tapi sayang, toko itu belum buka.

"Hahhh..." Petra menghela napas. "Kalau begini, bagaimana dong?"

Ia terus melangkahkan kakinya, berjalan, mengikuti langkah orang-orang didepannya yang Petra tak tahu akan kemana, dan-

-Perhatiannya terpaku di sebuah kafe kecil yang sudah buka dan ramai dengan beberapa gadis dan pemuda seumurannya yang sedang duduk di dalamnya.

"Kafe...?" Petra menatap bagian depan kafe dengan tatapan sedikit heran, "sudah buka jam segini rupanya..."

Setelah menatap kafe itu cukup lama, ia melihat seseorang didalam kafe menatapnya heran. Entah siapa. Petra mengalihkan pandangan. Lalu ia mengecek sakunya, dimana ponsel dan dompetnya terletak disana.

"Baiklah! Apa salahnya minum kopi di pagi hari?"

Petra mendekati pintu kafe dan mendorongnya, menimbulkan bel yang ada diatas pintu berbunyi 'krincing', dan kemudian ia masuk. Suasana hangat didalam kafe membuat Petra rasanya betah berlama-lama disini.

"Selamat datang,"

Ia menoleh saat satu suara menyapanya. Dan seorang lelaki berdiri di depannya yang memakai pakaian pelayan. Ah, kalau tidak salah, mungkin ini orang yang menatapnya heran tadi.

"Mau duduk dimana?"

Saat lelaki itu mengedarkan pandangannya mencari meja kosong, Petra justru melirik name tag lelaki itu.

'Levi'

"Mungkin disana ada tempat. Ikut aku." ucapan lelaki itu membuyarkan konsentrasi Petra yang sedang menatapnya.

"A-ah, iya."

Petra mengikuti langkah lelaki itu yang membawanya ke sebuah meja dengan 2 kursi yang kosong.

"Silahkan duduk. Mau pesan apa?" lelaki itu memberikan kertas menu pada Petra.

Petra menatap menu-menu yang ada di kertas menu. Karena ini kafe, tentu saja disini lebih banyak minuman daripada makanan. Matanya menelusuri deretan nama minuman dengan serius.

"Ice Coffee." ujar Petra sambil menatap sang pelayan yang menuliskan pesanannnya barusan dengan cepat.

"Ada lagi?"

"Itu saja dulu, kupikir." Petra mengembalikan kertas menu yang ada di tangannya.

"Hn, baiklah." dan kemudian lelaki itu pergi.

Petra menatap lelaki itu. Ia memang pelayan, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Entah apa.

Lelaki itu hampir tidak menggunakan nada apapun--termasuk nada ramah yang umumnya dipakai pelayan--saat menanyakan pesanan Petra tadi. Dan tatapannya benar-benar dingin.

Saat pikiran Petra sedang asyik membayangkan lelaki itu, getaran ponsel Petra yang berada di sakunya memecahkan semua khayalannya. Hanya karena sebuah telepon dari temannya.

"Halo, Armin?"

"Ya, Petra! Apa kau sudah sampai di Tokyo?"

"Begitulah. Disini ramai sekali. Sangat berbeda dengan Hokkaido."

"Benarkah? Baguslah!"

Ia sesekali tertawa saat Armin bercanda tentang sekolah mereka dulu, atau tentang teman mereka. Sampai ia tidak menyadari, satu gelas Ice Coffee telah terhidang didepannya. Entah sejak kapan. Yang pasti, Petra ingin mencoba bagaimana rasa kopi di kafe ini.

Petra menatap gelas berisi cairan berwarna cokelat berkafein itu dengan beberapa es batu didalamnya, menghias cantik es kopi untuk permulaan pagi Petra.

Ia menyeruput sedikit kopinya, dan terkejut.

'Astaga! Kopi disini enak sekali! Berbeda dengan kopi kalengan yang kadang Armin berikan!'

Jelas, kopi di kafe rasanya berbeda dengan kopi kalengan, Petra.

Di sisi lain, lelaki tadi--pelayan yang tadi melayani Petra--menatapnya.

"Hm," gumamnya. "Tidak buruk."

Sepuluh menit kemudian, Armin mengakhiri pembicaraan.

"Baiklah, Petra. Aku harus pergi sekarang."

"Benarkah? Hati-hati, Armin."

"Ya. Terimakasih!"

"Sama-sama."

Petra memutuskan telepon, kemudian menutup ponselnya dan menaruhnya di saku lagi, lalu kembali menikmati Ice Coffee pesanannya.

Dan pelayan itu--Levi--, terus menatapi Petra tanpa menyadari rekan kerjanya yang terus memanggil namanya.

"Hmm.." gumam Levi.

Saat Ice Coffee miliknya habis, Petra melangkahkan kakinya menuju kasir dan mengeluarkan dompetnya.

"Semoga harimu menyenangkan, nona."

Petra menoleh saat mendengar bisikan kecil dari belakangnya, dan ia mendapati Levi yang menatap dirinya.

"Terimakasih!" Petra tersenyum kecil.

Dan Petra melangkahkan kakinya keluar dari kafe, tanpa menyadari Levi yang terus menatap dirinya.

.
[Prolog - End]

A Story of Morning CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang