Dua

9 3 1
                                    

Aku menyayangimu ... kak!

♥♥♥

Arga melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Egha.

"Makasih, ya. Kakak sangat menyayangimu, peganglah janjimu untuk selalu bersamaku."

"Jangan khawatirkan itu." Arga tersenyum lebar.

"Sudah ah, dramanya, kakak mau cuci piring dulu." Egha tersenyum lalu berdiri menuju wastafel untuk menaruh cucian kotor dan membersihkannya.

"Yee, siapa yang drama? Memangnya kakak bisa beradu akting denganku? Hehe artis sekelas Angelina Jolie saja masih belajar dariku." bohongnya asal, Arga hanya bercanda dengan melontarkan guyonan itu.

"Jangan halu deh, masih sore!" lagi-lagi Egha terkekeh dan itu hanya bisa ia lakukan saat bersama adiknya.

"Ya sudah iya, aku bantu ya, kak!"

"Gak usah, kan ada Justin Bieber yang bantuin kakak." ungkapnya meniru gaya bercanda Arga.

"Tuh kan, sekarang siapa yang halu?" mereka berdua saling tertawa dan mulai mengerjakan tugas itu.

♥♥♥

Evan membuka pintu kamar, sekarang ia sudah tidak lagi mengenakan seragam kantornya karena sudah diganti dengan setelan kaus putih dan celana jogger dongkernya. Ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum.

Evan membuka kulkas dan mengambil botol air dingin lalu menuangkannya di dalam gelas kosong yang telah diambilnya. Saat menuangkan air ke dalam gelas, sikut Evan menyenggol sudut meja dan membuat sebagian isi air nya tumpah, ia tidak langsung membersihkan tumpahan air itu, ia tidak peduli jika hal itu dapat membuat seseorang terjatuh, ia justru asyik meneguk air dinginnya itu sampai tetesan terakhir.

Egha berjalan mendekat ke arah Evan untuk menaruh piring di deretan dekat meja itu namun, Egha tidak menyadari ada tumpahan air di samping ayahnya dan saat ia mendekat alhasil ia terpeleset dan semua piring yang dibawanya pecah, Prang!! ia tersungkur dan kepalanya terbentur kaki meja cukup keras. Mendengar kegaduhan itu Arga berjalan mendekati Egha dan membantunya berdiri.

"Egha!!!" Evan berteriak kesal

"Tadi papah bilang apa? Jangan sampai ada yang pecah, 'kan? Itu kualitas terbaik, mahal. Kau tidak akan mampu membayarnya!" hardik Evan

"Maaf, pah! Egha gak sengaja, Egha gak lihat ada tumpahan air di sini!"

"Kamu pikir kata maaf dapat mengembalikan pecahan piring itu ke bentuk semula? Memangnya semudah itu!"

"Maaf, pah! Egha benar-benar gak sengaja."

"Gak bisa dengan kata maaf dan semuanya terbayar begitu saja. Kamu tahu, 'kan, setiap kesalahan harus ada konsekuensinya?"

"Baiklah pah, Egha terima hukuman apapun." pasrahnya untuk menebus kesalahan itu.

Evan pergi mengambil ikat pinggangnya yang tadi ia letakkan di atas sofa. Ia kembali dan mulai melakukan hukuman itu.

"Sekarang kamu pergi ke sudut itu dan berjongkok!" perintahnya tegas.

Egha menurut dan ia berjalan ke arah yang ditunjuk lalu berjongkok dan memejamkan mata. Ia tahu apa yang akan ayahnya lakukan, sudah sering Egha di beri hukuman seperti itu sejak usia yang ke lima.

Evan mendekati Egha dan mulai mencambukinya dengan ujung ikat pinggang yang terdapat besi dan teramat sakit jika di pukulkan keras pada kulit tubuh.
"Aww ... hiks!" Egha meringis pelan sambil sesekali sesegukan karena menangis tanpa suara. Air matanya sudah meluncur deras membasahi lantai yang ada di bawahnya.

"STOP!!!" Arga berteriak lantang, ia tidak lagi sanggup melihat perlakuan keji itu. Awalnya ia tidak berani untuk bersuara saat ayahnya sedang murka, karena ia tahu jika ia ikut campur hukuman kakaknya justru akan bertambah, ayahnya sangatlah egois dan keras kepala dan dengan itu ia lebih memilih diam, menyaksikan. Tapi baginya ini sudah di luar batas, Arga memberanikan diri untuk menghentikan hal keji itu.

"Pah hentikan! Apa sekeji itu perlakuan papah pada anak usia tiga belas tahun yang hanya bersalah karena pecahan piring? Apakah setega itu pada darah daging sendiri? Apakah sudah mati rasa nurani sebagai seorang ayah? Kakak sudah meminta maaf 'kan, apa susahnya sih tinggal memaafkan, kakak 'kan tidak tahu ada tumpahan air di sana dan siapa yang menumpahkan air itulah yang harusnya di hukum, bukan kakak!" Arga berucap dengan tatapan lantang. 

"Oh, jadi kau menuduhku yang salah?"

"Aku tidak bilang bahwa ayah yang salah, tetapi jika ayah merasa seperti itu, berarti terbukti 'kan siapa yang harusnya mendapat hukuman?

"Kurang ajar. Sudahlah! Jangan ikut campur! Anak kecil tetap lah anak kecil tidak usah berlaku seperti orang dewasa." Evan berbalik menatap Arga tajam.

"Apakah pemebelaan seorang anak kecil kepada kakak kandungnya sendiri adalah hal yang tidak wajar di lakukan? Apakah hanya orang dewasa yang bisa dengan bebas membela dan melakukan segalanya sesuka hati?"

"Sudah diam! Hentikan ucapanmu, jangan sok berkata seperti itu. Kau tahu, dengan kau membela kakakmu seperti ini justru kau akan lebih memberinya beban, karena aku akan menambah hukumannya menjadi dua kali lipat."

Arga marah, benar-benar marah. Tangannya mengepal, ia berjalan ke arah Evan dan mengambil paksa ikat pinggang yang ada di dalam genggamannya. Evan tersentak, ia menjadi benar-benar murka.

"Jika tidak bisa perlakukan kami dengan baik setidaknya jangan selalu menyiksa kami!!!" Ucap Arga penuh penekanan.

Evan mengepalkan tangannya, wajahnya sudah memerah, ia sudah tidak bisa menahannya lagi, dan ...

BUGH!!!

Sebuah pukulan keras melayang bebas di perut mungil Arga dan membuatnya terpental jatuh ke sudut dekat Egha, ia memuntahkan darah dari mulutnya. Melihat itu, Egha langsung memeluk adiknya.

"Tolong hentikan, pah!" Egha berkata lantang saat berhenti sejenak dari tangisnya.

Evan menghembuskan nafas kasar, lalu berbalik meninggalkan kedua anak yang bisa dibilang sudah 'babak belur' itu.

Egha melihat punggung ayahnya menjauh, ia kembali menangis dalam pelukan itu saat menyadari adiknya sudah tak sadarkan diri.

"Aku BENCI ayah!!!" batin Egha.

Tbc
260617
Revisi; 020717

Sebait rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang