Tiga

6 2 0
                                    

"Uhuuhk," Arga terbatuk pelan saat tersadar dari tidurnya.

"Eh, udah kamu gak usah bangun dulu, istirahat lagi ya," dengan nada khawatir, Egha mencegah adiknya yang ingin beranjak dari tempat tidur.

"Kak, Arga gak papa kok, sekarang jam berapa?"

"Jam sembilan pagi, kamu gak sadar diri udah dari dua hari yang lalu, kakak khawatir!" Egha mendekati Arga dan memeluknya.

"Gak usah khawatir lagi, ya kak! Arga kan udah sadar. Kalau dipikir lama juga ya Arga tidurnya?"

"Pukulan ayah terlalu keras, tentu saja membuatmu pingsan selama itu. Aku membencinya, apa-apaan itu, tidak punya hati! Seenaknya menyiksa anak sendiri dan tidak peduli dengan keadaanmu setelah kejadian itu, seperti tidak terjadi apa-apa." ungkap Egha dengan tatapan sebal.

"Sudahlah, kak! Bukannya dia memang seperti itu?" Arga terkekeh pelan, mengingatkan Egha bahwa itu bukan lagi hal asing karena sudah sering di lakukan.

"Tapi itu semua sudah di luar batas, Arga!" tidak peduli dengan usaha Arga yang mencoba membuatnya tenang, Egha masih kalut dalam amarah.

"Lupain lah, kak! Oh, ya, bagaimana keadaan kakak? Apakah bekas cambukan itu masih terasa sakit?" tanya Arga mengalihkan topik.

"Ini sudah lebih baik, kakak baik-baik saja," Egha berbohong, ia tidak ingin adiknya tahu kalau ia masih menahan rasa pedih di punggungnya yang mungkin sudah lecet-lecet.

"Oh ya, Semalam mamah sudah pulang, tapi tadi pagi sudah pergi lagi. Katanya mau pergi arisan padahal kakak sudah kasih tahu keadaan kamu karena sikap kasar papah. Huh! Persetan lah dengan wanita satu itu, dia bahkan tidak peduli, acuh, egois. Aku berpikir untuk melenyapkan mereka berdua saja, bagimana?"

"Apa kakak sudah gila?" ia tersenyum menatap Egha.

"Mungkin … iya, jika sampai aku kehilangan kamu karena mereka, aku tidak akan ragu untuk membunuh!"

"Sudahlah, itu tidak akan terjadi. Aku juga tidak ingin kakak ku yang baik menjadi seorang penjahat."

"Jika itu keinginanmu, baiklah! Huum, apa kau lapar?"

"Uhmm, sepertinya … tidak!" ungkapnya bohong, Arga tidak ingin membuat kakaknya memasak untuknya, ia tahu selama ia tertidur, kakaknya sudah merawatnya dan ia ingin kakaknya beristirahat.

"Jika aku lapar, aku bisa memasaknya sendiri nanti. Kakak istirahat saja, aku tidak ingin kakak sakit karena kelelahan."

"Tidak! Aku tidak ingin beristirahat, aku hanya ingin di sini bersamamu, menjagamu." Egha menolak mentah-mentah permintaan Arga yang menginginkan meninggalkannya sendiri.

Waktu berjalan cepat, tak terasa Egha dan Arga sudah melewati hari ini cukup lama sampai tidak menyadari kalau sudah petang dan mentari akan terbenam.

"Kak, ke balkon, yuk! Kita lihat mentari terbenam bersama." ajak Arga yang sudah berdiri dan menggengam tangan Egha untuk mengikutinya. Ya … balkon mereka memang berbanding dari tempat terbenamnya mentari, tetapi karena balkon kamar Arga ada di bagian belakang rumah itu jadi berhadapan langsung ke arah barat apalagi di bagian belakang rumahnya terhampar padang ilalang cukup luas, jadi tidak ada alasan untuk tidak merasakan keindahan alam itu.

Mentari sudah terbenam, berganti dengan langit malam yang penuh dengan bintang dan purnama sebagai kesempurnaannya.

"Arga,"

"Hmm, kenapa kak?"

"Apa kamu ingat, besok tanggal berapa?"

"Dua puluh delapan Februari, memangnya kenapa, kak?" Arga heran sampai terdapat kerutan di keningnya.

"Besok kan hari ulang tahunmu, apa kamu lupa?" Egha tersenyum.

"Ehh," pipi Arga besemu merah saat Egha berkata seperti itu.

"Apa yang kamu inginkan di hari ulang tahunmu besok? Kakak pasti akan mengabulkannya?"

"Aku hanya ingin dapat menjalani hari yang baik bersamamu."

"Apa kamu tidak ingin berjalan-jalan dengan keluarga lengkap? Aku bisa mengusahakannya supaya mereka punya waktu untuk itu."

"Mereka sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, untuk apa aku mengusiknya. Aku sudah tidak peduli lagi, lagi pula sudah kukatakan keluargaku yang sebenarnya hanya kakak 'kan!"

"Kamu ini lucu sekali, seperti sudah terbiasa untuk hidup seperti ini." Egha tertawa sambil menyenggol bahu adiknya itu.

"Kita memang sudah seharusnya membiasakannya, toh, ke depannya nanti siapa yang jamin mereka akan tetap bersama, melihat pertengkaran mereka yang sangat sering ini, kurasa sebentar lagi mereka akan berpisah dan perlahan kita akan di lupakan." Arga tersenyum simpul penuh makna.

"Haha, mungkin itu benar … "

Tiin! Tiin! Tiin!

"… Eh itu suara klakson mobil mamah. Tunggu ya, kakak ke bawah dulu membukakan gerbang."

"Tidak! Biarkan aku ikut! Ujarnya membatah permintaan kakaknya untuk diam menunggunya.

"Ya, baiklah! Keras kepala!" Egha berjalan tergesah-gesah, hampir terjatuh tetapi ada Arga yang menolongnya.

Tiiin!!!

"Sebentar mah!" teriak Egha menyahut, dengan cepat Egha membuka gerbang dan membiarkan mobil wanita itu terparkir di dalam garasi.

"Kak, ngerasa ada yang aneh gak?" bisik Arga

"Maksudnya?" Egha tak mengerti

"Biasanya kalau kita telat buka gerbang dia langsung ngoceh kayak orang kesetanan, tapi tumbenan hari ini kalem, terus kok dia lama banget ya keluar mobilnya?"

Egha mengedikkan bahu, "Iya sih, tapi biarinlah!" acuh Egha

Sesaat kemudian mereka berdua tercengang melihat Sarah —ibu mereka— turun dengan mengandeng seorang pria.

"Dia siapa mah?" selidik Arga dan Egha menatap lelaki bersama ibunya dengan tajam. Sarah acuh, tidak peduli.

"Mereka siapa, beib?" ujar lelaki itu.

"Anak aku, udah gak usah khawatir mereka bisa tutup mulut. Mas Evan juga lagi gak ada di rumah." Sarah bergelayut manja di lengan lelaki sexy yang dibawanya dan melangkah ke dalam bersamanya meninggalkan Egha dan Arga yang masih tercengang.

"Maksudnya apa, kak?" dengan raut penuh tanya.

"Apa mungkin … ah tidak mungkin." Egha menggeleng cepat menghilangkan pikiran buruknya.

"Apa sebaiknya kita selidiki?" Tanya Arga untuk memastikan keraguannya, Egha mengangguk cepat dan mereka mulai berjalan dengan mengendap-endap.

♥♥♥

Tbc
030727

Sebait rasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang