"Kamu sedang apa?"Jari Luka yang mengais tanah basah terhenti. Kukunya kotor berwarna kehitaman, sedang menggenggam tiga benih yang didapatkannya tadi dari suster. Ia mendongak, mengerjapkan mata basahnya, mencari tatapan dari seseorang yang baru saja mengatakan hal itu.
Dia datang lagi.
Hujan di sore pukul tiga yang semula membasahi lembut tubuh Luka terhenti. Dihalau payung hitam milik laki-laki bersuara bariton menenangkan tadi. Seingatnya ini bukan hari sabtu. Atau mungkin saja hari berjalan tanpa ia tahu.
Luka berdiri, menyembunyikan tangannya di belakang tubuh. Seperti seseorang yang ketahuan mencuri. Luka mendongak, bulu matanya yang lentik alami mengerjapkan air hujan agar bisa menatap laki-laki bertubuh tinggi di hadapannya sekarang.
Luka ingin memastikan wajah laki-laki itu. Masih menatapnya dengan cara yang sama seperti kunjungan pertama kali. Wajah yang tidak mencerminkan keramahan namun secara senang diingatnya nanti ketika malam sebelum menutup mata, dengan telinga yang berdenging terlalu sunyi atau bisa jadi sangat berisik.
Sendal putih yang Luka kenakan sudah berlumpur. Sama seperti sepatu pantofel laki-laki itu yang pasti sebelumnya mengkilat. Baju terusan berwarna merah muda bermotif bunga yang dikenakannya pun sudah lembab memeluk tubuhnya.
Luka begitu senang melihat laki-laki itu. Ia melangkah maju, namun laki-laki itu dengan segera mundur.
"Jangan mendekat. Kamu sangat kotor. " Laki-laki itu lalu memberikan payung berdiameter besar itu untuk Luka. Membuat laki-laki itu kini berada di bawah hujan namun seolah itu bukan apa-apa.
Luka mengangguk kecil. Menatapi pakaiannya yang penuh lumpur. Hujan yang terulur semakin lebat membuat rahang tegas laki-laki itu basah, tatanan rapi rambutnya berantakan, juga hidung mancungnya menitikkan air hujan. Mata cokelat tajam dinaungi alis melengkung terlihat sempurna meski ditemani guratan bekas luka vertikal di sebelah mata kiri yang pastinya bisa membuat setiap orang menoleh.
Atau takut.
Tapi Luka ingin sekali menyentuhnya.
Laki-laki itu mengusap wajahnya yang basah. Kemudian tatapan mereka bertemu. Kini sedikit lebih lama. Cukup untuknya menghapal warna keabu-abuan di sana. Yang memberikan rasa familiar begitu pekat dalam ingatan Luka.
Luka mencoba mendekat lagi, kali ini mengangkat payung dengan dua tangannya lebih tinggi, agar bisa melindungi mereka berdua. Bahkan kakinya harus berjinjit agar payung bisa menjangkau tubuh tegap laki-laki itu.
"Jangan bersikap bodoh dengan sering hujan-hujanan," Laki-laki itu mendorong payung lebih banyak ke arah Luka. "Kamu nggak boleh sakit karena itu akan merepotkan saya."
Kamu juga lagi kehujanan.
Perkataan laki-laki itu terdengar sama seperti arahan dokter yang selalu menuliskan resep obat untuknya, sama seperti para suster yang selalu membantunya berganti pakaian, yang tidak pernah dibantahnya.
"Masuk. Setelah semuanya beres, saya akan segera membawa kamu pergi dari sini."
Seperti boneka kesayangan yang direbut paksa, sesuatu dalam diri Luka melonjak namun terhalang oleh suaranya sendiri yang tidak keluar. Ia hanya bisa meremas pegangan payung.
Jangan pergi. Luka ingin laki-laki itu tetap di sini. Menemaninya.
Luka pasti hanya mengatakan itu dalam hatinya. Karena ia hanya bisa memperhatikan langkah lebar laki-laki itu menjauh membelah hujan, menyusuri taman berumput hijau. Ada mobil sedan hitam yang pintunya sudah dibukakan seseorang dan tertutup ketika laki-laki itu sudah di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejak Luka
RomanceLuka selalu merasa bahwa kematiannya akan dirayakan sukacita oleh banyak orang. Ia tidak merasa cukup pantas untuk bahagia. Luka tidak bisa mengutarakan kesedihannya, bahkan di dalam sunyi. Setelah dituduh membunuh ayahnya sendiri, ia dibuang dan di...