Suara racau dari banyaknya tamu di pesta itu mengambang syahdu, selaras dengan iringan live musik penyanyi internasional yang menambah kemegahan. Belasan chandelier menggantung angkuh di langit-langit berpoles ukiran putih, menerangi ruangan dengan warna putih kekuningan elegan. Menimpa para tamu berpakaian tuxedo exclusive dan gaun gemerlap yang harganya tidak masuk akal.Senda gurau yang terdengar sering kali tidak ada maknanya itu seketika senyap saat pintu masuk terbuka dan mengirim kedatangan rombongan laki-laki berjas hitam. Salah satu di antaranya yang paling mencolok langsung menarik perhatian seluruh tamu.
"Itu Lukas. Bersikap yang benar. Kita harus bisa mengambil hatinya." ujar seorang istri yang memberi ancang-ancang pada suaminya.
"Katanya dia sangat jarang datang ke pesta. Ini kesempatan besar untuk bisa menjalin kerjasama dengan Evander."
"Dia sangat arogan. Kontrakku ditolak mentah-mentah."
"Baru-baru ini mereka melibas semua tender di Itali."
"Kudengar pembangunan Mall mereka di China sukses besar."
"Lihat, dia tinggi sekali."
"Dia keliatan mengintimidasi sekali. Liat bekas luka di wajahnya itu."
Lukas dihujani sapaan-sapaan menjemukan sejak langkah pertamanya memasuki ball room. Mereka semua memanggil namanya dengan bumbu kepatuhan seolah tidak akan berpikir dua kali untuk menggosok sepatunya saat diminta sekalipun.
Lukas tidak biasa tersenyum namun sebisa mungkin berusaha memberi kesan ia tidak ingin menerima basa-basi, dengan cara terhormat. Namun meski tidak ada sapaan yang dibalasnya, seluruh perhatian tamu sudah terlanjur tersedot ke arahnya. Tidak ada lagi yang berbincang. Semua orang penasaran siapa yang bisa berhasil mengajak Lukas bicara.
Tentu saja, kita sedang membicarakan Lukas Evander.
"Ambilkan saya minum." Lukas meminta. Sang assisten pribadinya itu segera menjauh menuju sisi sajian minuman.
Baru saja Lukas hendak menaiki lantai dua, langkahnya dicegat secara terang-terangan. Pengawal yang sejak masuk selalu berada di sisi Lukas dengan sigap mengambil posisi menghalangi, namun Lukas akan sedikit berbaik hati.
"Pak Lukas, apa kabarnya?" Laki-laki itu mengangsurkan tangan. "Saya Aditama. Anda pasti pernah mendengar perusahaan saya yang saat ini sedang berkembang pesat itu, bukan?"
Lukas tahu Aditama. Sudah beberapa kali permintaan kerja sama datang ke mejanya. Dan semuanya berujung penolakan karena Aditama menyimpan kebobrokan terselubung di dalamnya. Meski tidak ramah, Lukas mempunyai segala info dari pesaing dunia bisnis.
Melihat uluran tangan Aditama tak disambut, laki-laki berkepala plontos itu terlihat kikuk memulas senyum dan keringat jelas menitiki dahinya.
"Apa kabar juga, Pak Adi. Saya dengar bisnisnya berjalan lancar." Satra yang berada di sebelah Lukas mengambil jabat tangan menggantikannya.
"Begitulah. Saya untung besar," Aditama tertawa sumbang. "Saya sangat senang bertemu Pak Lukas di sini. Perkenalkan, ini istri saya dan juga anak saya yang sangat cantik. Namanya Tari. Baru saja lulus kuliah."
"Senang bertemu kamu," Tari bersikap seolah malu-malu namun tidak malu mendekati Lukas.
Lukas tidak memberi respon apa-apa. Satra menghela napas dan menyenggol lengan sahabatnya itu.
Karena sudah terlalu pengap meladeni, Lukas berkata. "Dia tidak secantik itu." Yang tentu saja menciutkan nyali Tari seketika. Pasangan Aditama pun bermaksud menyambung obrolan namun Lukas lebih dulu berlalu meninggalkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejak Luka
Storie d'amoreLuka selalu merasa bahwa kematiannya akan dirayakan sukacita oleh banyak orang. Ia tidak merasa cukup pantas untuk bahagia. Luka tidak bisa mengutarakan kesedihannya, bahkan di dalam sunyi. Setelah dituduh membunuh ayahnya sendiri, ia dibuang dan di...