Cerita ini sudah tamat dan tersedia di Karyakarsa @ faradisme
Manusia terikat dengan banyak janji. Dengan diri atau orang lain. Dia hidup dengan itu, berharap mendapatkan sesuatu sesuai yang dimau.
🌻
Ketika menikahi Irawan Prasetya, Madalena sudah tahu apa yang akan dilakukannya kepada Luka. Ia masih ingat betul bagaimana anak piatu itu menatapnya dengan senyuman tolol nan lugu, seperti berharap dirinya bisa menggantikan ibunya yang sudah mati.
Tentu saja, di hadapan Irawan, Madalena bertindak sebagai bidadari bagi Luka. Menjadi ibu sambung yang penyayang dan perhatian. Namun di setiap laki-laki itu memalingkan muka, ia selalu mengambil kesempatan untuk melecut anak tirinya itu. Dengan cacian atau sesekali memukulnya.
Madalena sudah membenci Luka sejak awal. Mungkin karena Irawan yang begitu memanjakannya, sehingga perhatian laki-laki itu terkadang hanya tercurah pada Luka. Mungkin karena Luka terlihat begitu mirip ibunya yang sudah mati. Membuat Madalena serasa memiliki saingan. Atau mungkin karena Luka terlahir lebih cantik dari anaknya.
Entah alasan mana yang tepat, namun Madalena berusaha keras membuat Luka menderita
Tujuannya adalah hidup nyaman dengan limpahan harta. Irawan memberikannya dengan cuma-cuma karena berpikir ia merupakan orang yang tepat karena bisa menerima Luka sebagai anaknya juga. Cih, sudah untung anak itu ia beri makan.
Hari di mana Irawan mati, sama dengan hari yang sudah ditunggunya untuk mengakhiri hidup Luka. Bukan dengan membunuh, tapi dengan mengirimnya ke rumah sakit jiwa.
"Jadi kapan kita pindah, mommy? Aku udah nggak sabar mau ajak temen-temen aku nginep di penthouse baru kita. Mereka pasti jadi ngiri banget sama aku."
"Sabar, sayang," Madalena memotong buah apel sebagai sarapan putri kesayangannya. "Hari ini mommy akan menghubungi kantor Pak Lukas itu. Dan minta bayaran rumah ini di muka. Keliatannya benar-benar orang kaya. Duh, mama nggak sabar buat shopping. Udah lama, kan kita nggak belanja karena ditinggal mati daddy."
"Iya, nih. Lemari aku rasanya udah kuno banget," Gladys mencomot sepotong apel. "Pokoknya aku mau belanja sepatu, tas, baju, dari atas sampai bawah. Dan semuanya harus keluaran designer terbaru. Pasti temen-temen aku tambah ngiri, deh. Eh, aku juga mau ke salon, mommy. Aku mau perawatan sampai puas."
"Pasti-pasti." Suasana hati Madalena pagi itu memang sangat bagus. Ia berdandan dengan ceria dan sudah siap menerima uang yang sangat banyak. Membayangkannya saja membuatnya tersenyum sendiri.
"Tapi aku masih bingung, kenapa Pak Lukas itu mau nikahin Luka? Padahal udah tau dia orang gila."
Madalena juga belum menemukan jawaban atas rasa penasaran itu. Yang membawanya menyelinap ke rumah sakit kemarin sore. Dengan berbekal uang sogokan, ia bersepakat dengan salah satu staff untuk membantunya masuk tanpa harus mendaftarkan nama. Dan beberapa lembar uang lagi untuk menghapus rekaman CCTV.
Tapi rasa kesalnya sudah tersalurkan. Kondisi Luka pasti sedang buruk. Obat yang dijejalkannya memiliki dosis yang cukup untuk membuat Luka berhalusinasi. Dan kalau setan sedang membantunya, cutter yang sengaja ia tinggalkan mungkin akan lebih dari mampu untuk melukai anak itu.
Atau membunuhnya, mungkin akan jauh lebih baik.
Madalena tersenyum lebar memikirkan apakah harus membeli Chanel atau Gucci untuk menghadiri pemakaman Luka, saat suara berisik dari arah pintu masuk terdengar. Menarik perhatian Madalena dan Gladys. Keduanya sama-sama terkejut ketika Lukas datang bersama tiga orang pengawalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejak Luka
RomansaLuka selalu merasa bahwa kematiannya akan dirayakan sukacita oleh banyak orang. Ia tidak merasa cukup pantas untuk bahagia. Luka tidak bisa mengutarakan kesedihannya, bahkan di dalam sunyi. Setelah dituduh membunuh ayahnya sendiri, ia dibuang dan di...