Winter, 2015
Aku kembali menatap kertas di tanganku. Sudah berpuluh kali aku membacanya. Jumlah katanya masih saja sama, bahkan bunyi kalimatnya tidak berubah. Jengah karenanya, kujejalkan ia ke dalam laci meja.
Pintu kamarku tiba tiba terbuka, dari baliknya muncul seorang perempuan 2 tahun lebih muda dariku. Dia Yoora, Park Yoora, adikku satu satunya.
"Oppa, makan malam sudah siap"
"Nae..."
Aku berjalan mengikutnya menuju meja makan. Di sana telah menunggu ayah dan ibu. Biasanya makan malam menjadi momen yang menyenangkan. Kami akan menceritakan kejadian apa saja yang kami lalui hari ini. Tapi kali ini aku tidak ingin menceritakan apapun. Apalagi tentang kertas tadi.
...................
Satu hari telah berlalu, satu hari lagi menunggu untuk di lalui. Begitu seterusnya setiap hari.
Hampir setiap hari aku terjaga saat tengah malam tiba. Penyebabnya sama. Kepalaku terasa begitu berat. Begitu beratnya seakan terdapat sesuatu 'yang hidup' berdiri diatasnya, membawa sebuah palu dan menghantamnya beribu kali.
Ternyata malam ini bukan aku saja yang terjaga, ayah dan ibu juga. Aku mengetahuinya saat akan mengambil minum di dapur. Ibu menangis di depan ayah, sedangkan ayah membaca secarik kertas di tangannya dengan wajah tak percaya. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tanpa ada sebuah percakapan. Hanya tangisan ibu mengisi seluruh ruangan.
Terlihat sebuah logo berwarna biru di pojok kanan atas pada kertas yang ayah pegang. Sama dengan logo pada kertas yang aku jejalkan pada laci meja beberapa hari lalu.
'ahhh....harusnya kujejalkan kertas itu lebih dalam lagi waktu itu', ucapku dalam hati
Kuurungkan niatku dan kembali ke dalam kamar tanpa sepengetahuan mereka.
...................
Semenjak kejadian ibu menangis malam itu, suasana rumah menjadi lebih sepi. Ayah dan Ibu lebih banyak diam. Ayah menjadi seperti orang yang memiliki banyak pikiran. Ibu kini lebih banyak memperhatikanku. Namun, perhatian ibu kepadaku justru membuat Yoora kecewa.
"Yoora-ah... ibu ingin bicara sesuatu denganmu"
"Bicara tentang apa bu?"
Ibu dan Yoora kini berada di ruang TV dengan 2 cangkir teh panas di depan mereka. Udara musim dingin cukup menusuk kulit hari ini, jadi sebuah perpaduan yang pas untuk menikmati malam dengan teh panas dan drama malam favorit mereka.
"Bisakah kau untuk cuti sejenak dari kuliah kedokteranmu?"
"Kenapa tiba tiba bu?", tanya Yoora bingung.
"Maafkan ibu sayang"
"Apa oppa juga sama? Cuti dari kuliahnya?"
"Biaya kuliah kedokteran mahal sayang"
"Maksud ibu hanya aku saja yang harus cuti?"
Ibu diam dengan pertanyaan Yoora.
"Ini tak adil bu! Dulu ayah dan ibu begitu bangga ketika aku bisa masuk jurusan kedokteran. Ayah dan ibu bahkan berjanji untuk membiayai kuliahku. Sekarang ibu berkata biayanya mahal. Sebenarnya apa yang terjadi bu? Aku yakin alasan sebenarnya bukan karena biaya. Jika memang karena biaya mengapa bukan oppa saja yang cuti dari kuliahnya. Ayah pernah berkata kan, jurusan seni masa depannya tidak begitu menjanjikan. Kenapa harus aku?"
YOU ARE READING
Sunset Spring in Seoul (V x Jimin Fanfiction)
Fanfiction"Tenang saja, tidak ada kegelapan yang mutlak. Bahkan malam pekat pun memiliki ujung". Kim Taehyung a.ka V as himself Park Jimin as himself