The Missing Part

6 2 2
                                    

Aku menatap langit yang berwarna gelap sembari menendang gundukan salju yang menumpuk di jalanan depan rumahku.

Suara beberapa anak yang sedang bermain di jalanan spontan mengalihkan pandanganku selama beberapa saat. Mereka adalah anak-anak tetangga yang rumahnya terletak hanya beberapa meter dari rumahku.

Tak lama kemudian, aku mendengar ayah mereka memanggil mereka semua untuk pulang karena sebentar lagi waktu isya tiba. Mereka berempat pun berebut untuk menggandeng tangan ayah mereka seraya berjalan pulang menuju rumah.

Walaupun cuaca sangat dingin, karena saat ini sedang musim salju, akan tetapi melihat laki-laki dan keempat orang anaknya itu tersenyum bahagia, aku sontak ikut merasa bahagia juga dan entah kenapa hatiku terasa hangat.

Sebenarnya aku sangat iri pada keempat orang anak laki-laki itu, karena sudah lama sekali aku tidak menggandeng tangan ayahku. Bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya.

Sayup-sayup aku mendengar suara adzan yang dikumandangkan dari dalam rumahku. Berbeda dengan dulu, sekarang tidak ada lagi yang mengumandangkan adzan di masjid atau musholla. Itu karena semua bangunan masjid dan musholla di kampungku telah rata dengan tanah. Hanya tersisa puing-puing bangunan yang hancur, dan bekas darah para mujahidin yang wafat karena di bom atau tertimpa reruntuhan bangunan.

"apa yang kau lakukan di luar Zaid? Kakakmu sudah mengumandangkan adzan, ayo segera masuk dan berwudhu." ujar Ibuku

Ia menatapku heran, lalu mengulangi ucapannya sekali lagi. Setelah itu aku langsung masuk ke dalam rumah dan bergegas untuk berwudhu.

Kakakku nampak duduk di tempatnya yang biasa sembari menungguku iqomat. Sejak ayah kami meninggal, kak Ja'far lah yang menggantikan beliau menjadi imam.

Selain karena usianya yang lebih tua, kak Ja'far dipilih menjadi imam karena ia juga seorang penghafal Qur'an. Ia menghafalkan Qur'an 30 juz di usianya yang hampir menginjak 15 tahun. Kakakku itu memang luar biasa dan sangat tekun, terutama dalam hal mempelajari Al-qur'an.

"ibu, bukannya ini tanggal 31 akhir bulan? Apa kita bisa jalan-jalan dan ikut merayakannya malam ini?" tanya adikku

Abdullah sambil menarik baju ibuku dengan tangannya yang mungil. Ibuku pun mengernyitkan dahi, dan berusaha menangkap maksud dari pertanyaan Abdullah.

Belum sempat ibuku menjawab, tiba-tiba kak Ja'far mengusap kepala Abdullah lembut seraya berkata,
"apa kau ingat apa yang dikatakan ayah? Tahun baru kita telah lewat Abdullah, jadi kita tidak akan begadang dan merayakan apapun malam ini ataupun besok." Ucap Kak Ja'far sembari tersenyum

"tapi sudah lama kita tidak jalan keluar. Ayolah bu.." pinta Abdullah

Aku merasa kasihan dengan adikku itu. Nampaknya, umurnya masih belum cukup untuk memahami apa yang sedang terjadi. Mengapa kami tidak bisa leluasa keluar, mengapa kami tiba-tiba berhenti sekolah, dan mengapa kami merasa takut ketika hendak tidur, walaupun itu di rumah kami sendiri. Ya, semua itu karena perang yang dimulai kira-kira bulan Maret 2011 silam.

Ayahku yang seorang pembuat senjata ikut terjun ke medan perang dua tahun yang lalu. Lalu ia menemui ajalnya setahun yang lalu di tangan salah seorang sniper tentara bashar assad, sang Presiden yang menjadi pembantai rakyatnya sendiri.

"baiklah, ibu akan mengajak kalian ke ibukota lusa. Tetapi ingat, kalian harus berhati-hati dan tetap berada di dekat ibu selama di sana." kata ibuku dengan raut wajahnya yang serius

"tetapi bu, bukannya terlalu berbahaya kalau kita pergi kesana?" ucapku khawatir

"ibu punya seorang kenalan yang bisa diandalkan. Dia akan memandu kita masuk ke ibukota secara sembunyi-sembunyi. Kalau bukan karena persediaan makanan yang semakin menipis, ibu tidak akan mau pergi kesana. Apalagi sampai mengajak kalian bertiga juga." kata ibuku lirih

RanD_StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang