Fina?

525 14 1
                                    

Tepat pukul 19.00 WIB

Aku bertemu Fina di tempat tongkrongan kami, cafe kecil di pertigaan jalan dekat kampus. Seperti biasa, aku selalu datang terlambat. Aku melihat Fina sibuk dengan smartphone nya dari kejauhan.

"DAR!!"

"Hoy! Lu tuh ya udah telat, ngagetin lagi. Dasar ga tau diri..."

"Lebay lu ah!"

Layaknya gadis-gadis pada umumnya, kami berbincang hangat dengan topik yang ringan sambil menunggu dua gelas espresso datang.

Kami membicarakan tentang kawan-kawan baru, kehidupan kampus yang masih terasa agak asing dan sangat tidak sesuai dengan ekspektasi saat masih SMA, tentang dosen-dosen menyebalkan dan masih banyak lagi.

Walaupun kami sudah berteman lama dan sama-sama tinggal di Jakarta, aku dan Fina memilih kampus yang berbeda. Aku memilih kampus negeri sedangkan Fina melanjutkan ke salah satu kampus swasta kelas atas. Tentunya kehidupan kami semakin berbeda di dunia perkuliahan. Aku sebagai mahasiswi PTN yang dihuni sebagian besar golongan menengah ke bawah, merasa sudah mewah dengan kehidupanku sekarang. Tapi bagi Fina, yang berada di lingkungan manusia golongan menengah ke atas, aku belum cukup dikategorikan sebagai manusia hedonis.

Mendengar berbagai macam cerita Fina, aku sedikit terkejut dengan perubahannya yang signifikan. Ditambah hasil kejelian mataku yang memperhatikannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku sangat kagum sekaligus sedih melihat sahabatku kini.

Blouse branded yang pernah aku lihat di salah satu mall besar di kawasan Pondok Indah, tas dengan brand Prancis yang aku yakin itu original karena aku tahu Fina sangat amat tidak respect kepada pembajakan, gelang emas yang melingkari pergelangan tangannya, dan rambut berkilau seperti itu pasti membutuhkan biaya yang sangat besar.

"Ah sudah jelas dia terjebak pergaulan," gumamku di dalam hati.

Sedangkan aku...

Hanya memakai pakaian dari dapartment store dan sepasang Converse, dengan ransel dan jam tangan yang masih layak pakai sejak setahun yang lalu.

Tapi Fina sama sekali tidak terlihat memandang rendah diriku. Dia biasa saja. Caranya bicara kepadaku masih sama seperti dulu. Huft syukurlah...

Tiba-tiba sampai kepada pertanyaan sulit, "Sar... di kampus lu kan rohisnya good tuh, lu ga kebawa pake hijab gituh?"

Stuck. Aku tak tahu harus jawab apa karena aku tidak mengikuti UKM keagamaan di kampus.

Dengan nada bercanda aku hanya menjawab, "Ah belum dapet hidayah."

Fina tertawa kecil sambil menepuk dahinya, "Dasar yah lu plin plan dari dulu.."

"Kalau gue sih memilih atheis, gue bingung dan dosen gue sering ngomongin filsafat yang bikin gue tertarik," lanjutnya.

Kaget? Pasti! Secepat itu kah Fina menghilangkan akidahnya?

Tapi aku mau cari aman saja, karena pertemuan kami tidak setiap hari. 

"Lah lu kenapa?" tanyaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cermin Seorang HijabiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang