Two

3.7K 574 21
                                    

"I said no, Jennie." Lisa menekankan kembali jawabannya untuk yang ketiga kalinya. Dengan ponsel yang ia tempelkan di telinga kirinya, ia menyusuri buku-buku di rak Arsitektur. Mata bening Lisa memindai satu per satu judul buku yang ada. Mencoba menemukan sebuah buku yang siang tadi disebutkan oleh dosennya.

Lisa sedang berada di Central Library Universitasnya saat Jennie, temannya semasa sekolah menengah meneleponnya, memintanya untuk menemani Jennie bertemu dengan calon pacarnya. Lisa tahu benar apa maksud dan tujuan Jennie memintanya untuk turut serta dalam kencan tersebut. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjodohkannya dengan teman dari calon pacarnya, yang Lisa tidak ingat siapa namanya. Yang ia ingat, laki-laki tersebut berada dalam universitas yang sama dengannya.

"Oh come on, ini tak seburuk yang kau bayangkan." Di ujung sana Jennie berusaha meyakinkannya lagi untuk menyetujui ajakannya. "Ayolah, kau hanya perlu datang. Kau tidak harus melanjutkannya jika kau tidak menyukainya. Lagi pula, apa kau benar-benar tega membuat sahabatmu ini merana?"

Lisa menghela nafas lelah, sedikit jengkel dengan Jennie yang tidak mau menerima penolakan darinya. "First of all, aku tidak pernah tertarik untuk kencan buta— meskipun ia adalah teman dari calon pacarmu. Kedua, kau bisa pergi dengannya tanpa perlu mengagendakan double date and playing cupid for me, darling."

"Seriously, what's your problem actually? Kau masih mengharapkan jacket-oppa?"

Kali ini Lisa tidak menjawab, melainkan memutar bola matanya jengah mendengar sebutan aneh Jennie untuk pria yang dulu sempat meminjami jaketnya tersebut.

"Nah, kau diam. Aku benar kan?" Lisa dapat mendengar dengan jelas Jennie berdecak. "Kau gila? It's almost a year and you never met him anyway. Just give up already. You're wasting your time."

Jennie benar. Nyaris setahun berlalu dan Lisa tidak pernah sekalipun bertemu dengan laki-laki itu lagi meskipun ia hampir setiap hari menunggu di halte tempat mereka bertemu dulu. Laki-laki itu tidak pernah muncul. Padahal Lisa sangat yakin jika laki-laki itu adalah salah satu mahasiswa di universitas ini, atau setidaknya di universitas lain yang letaknya juga tak jauh dari sini. Sehingga ia cukup yakin bahwa ia akan bertemu dengan laki-laki itu lagi di halte tersebut.

"Come on, give me a chance, and if you really don't like him —although I'm onehundred percents sure you will like him, you are free to go." Jennie kembali mencoba.

"Lagipula belum tentu dia juga mengingatmu. Cobalah bertemu dengan laki-laki ini, ia baru saja kembali dari Jerman setelah mengikuti student exchange. Meskipun nanti kau tidak menyukainya, kau masih bisa berteman baik dengannya. Bukankah katamu kau ingin ikut program itu juga? Nah, kau bisa bertanya padanya." suara Jennie terdengar lagi.

"Sounds fair, isn't it?" Jennie menambahkan saat suara Lisa tak juga menjawab pertanyaannya. Mendengar opini Jennie yang masuk akal, Lisa merasa tak lagi dapat mengelak. Ia hanya dapat mengangguk pasrah.

Sadar sahabatnya itu tidak dapat melihatnya, Lisa menggumamkan kalimat persetujuan dengan diiringi helaan nafas lelah.

"YEAY FINALLY! Okay, so Saturday ten am, we will pick you up. Dress up, okay? First impression is important."

Setelah puas mendengar gumaman setengah hati Lisa, Jennie akhirnya mengakhiri panggilan. Lisa kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam sling bag yang tersampir di bahunya.

Gadis itu akhirnya kembali meneruskan kegiatannya yang sempat terinterupsi oleh Jennie barusan. Matanya kembali menyusuri judul demi judul buku. Setelah lebih dari sepuluh menit memindai dan tak menemukan apa yang ia cari, Lisa memutuskan untuk berbalik dan menghampiri komputer yang berada tak jauh dari pintu masuk. Bermaksud untuk mencari tahu nomor indeks buku tersebut, supaya lebih mudah untuk mencarinya di deretan rak.

InnamorarsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang