Part 6

31 12 1
                                    

Laki-laki yang baru saja menginjakan kakinya di sekolah barunya selama dua hari ini menuju parkiran belakang sekolah untuk mengambil kendaraan yang selama setahun ini ia pakai kemanapun. Sepeda kesayangannya.

Setelah membuka kunci yang ia pasang di roda belakangnya cowok yang disapa Gilang ini, memutar balikan sepedanya dan segera menaikinya lalu mengkayuh sepeda tersebut sampai depan gerbang. Gilang berhenti sebentar untuk menyapa satpam yang kini sedang duduk sambil baca koran.

"Sore Pak Iman."

Lelaki yang disapa Wardiman atau singkatnya Iman itu segera menegakkan kepalanya dari koran yang ia baca setelah mendengar siapa yang menyapanya. "Eh.. mas Gilang? Kirain siapa, baru pulang mas?"

Kalian pasti bertanya mengapa sampai satpam sekolah begitu mengenalinya. Seperti yang diketahui oleh banyaknya murid SMA Samudera, Gilang baru saja menjadi anak baru dua hari tapi kepopulerannya membludak seperti obralan baju di tanah abang. Tidak, bukan karena Gilang anak selebritis atau anak pejabat. Dia hanya manusia biasa yang tercipta dengan tampang yang melebihi dari kata perfect. Sampai gadis yang bertatapan dengannya akan langsung seperti es batu yang diletakan dibawah sinar matahari. Berlebihan? Itu memang kenyataan para gadis jaman sekarang saat bertemu cowok ganteng atau disingkat cogan. Maka dari itu Gilang dikenal dari ujung kantin sampai depan gerbang.

"Iya pak, tadi saya ada urusan di ruang guru jadi pulang agak telat," jawabnya dengan sopan diselingi dengan senyum segaris. Pak Iman hanya mengangguk sebagai tanggapannya.

"Yaudah, kalo gitu saya pamit pulang dulu takut dicariin ibu udah mendung soalnya."

"Oh iya mas, hati-hati dijalan," peringat Pak Iman sambil berdiri.

Gilang mengangguk seraya mengkayuh sepedanya lagi untuk keluar dari pekarangan sekolahnya dengan memakai jalan pintas sebagai jalan tercepat untuk pulang kerumahnya.

**

Setelah sampai, Gilang segera meletakkan sepedanya di halaman depan rumahnya yang sederhana itu lalu berjalan untuk masuk kedalam.

"Assalamualaikum, bu, Gilang pulang," ucapnya setengah berteriak

Sepi. Tidak ada sahutan atau jawaban dari penghuni rumah. Gilang melepaskan sepatunya dan meletakannya di rak sepatu yang terdapat di samping pintu.

"Bu?" Gilang mencoba memanggil ibunya lagi namun sama seperti tadi tidak ada jawaban.

Gilang mencoba untuk mencari mungkin ibunya sedang ada di dapur atau di kamar adiknya sehingga tidak mendengar kedatangannya. Sampai ia melewati kamar Ana
--adik perempuannya yang pintunya sedikit terbuka. Ia menghela napasnya dan dengan perlahan Gilang memasuki kamar adiknya, dan benar saja ibunya sedang duduk dipinggir ranjang dengan Ana yang terkulai lemas dengan mata terpejam berbaring disampingnya.

Sadar ada yang datang. Hana-ibunya Gilang memalingkan wajahnya untuk menatap anak sulungnya itu dan tersenyum lembut. "Abang baru pulang? Maaf tadi ibu gak jawab salam takut Ana bangun." Gilang hanya tersenyum. Senyuman tulus yang hanya ia berikan kepada ibu dan adiknya.

Cowok dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter itu maju dan mencium punggung tangan ibunya lalu tatapannya turun melihat adik satu-satunya yang kini sedang tertidur pulas dengan napas yang teratur.

"Tadi ada urusan dulu sebentar di sekolah makanya Gilang pulang sore. Keadaan Ana gimana bu?" tanya Gilang tanpa memalingkan wajahnya.

"Masih sama bang, kadang demamnya naik terus tiba-tiba turun tapi alhamdulillah, sekarang udah agak mendingan." Memang, sejak tiga hari belakangan ini Ana demam yang kadang suhu badannya setiap perjam bisa turun atau naik.

Waiting Or Releasing?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang