Korban ke-18

378 42 18
                                    

Bunuh.

Tikam dia.

Habisi nyawanya.

Dialah penyebab kesendirianmu.

Bisikan itu terdengar semakin dekat ketika tanganku bergerak cepat ke arah wajah rupawan yang ketakutan. Mata korbanku sama dengan tatapan memelas sapi yang dikirim ke tukang jagal. Andrenalinku berpacu pada gelombang yang paling kuat, membuatku tidak tahan untuk segera menusukkan senjata andalanku pada pria brengsek yang telah kucari dua bulan terakhir.

Korbanku yang ke-17, Sinzou Hazami, pria yang kuketahui telah memperkosa kakakku di klub.

Ya, kami berdua hidup dengan uang haram. Dan kakakku menjual dirinya agar aku bisa kuliah. Sungguh, aku tidak akan membiarkannya melakukan itu jika saja dia tidak meyakinkanku selama ini bahwa dia bekerja di sebuah perusahaan ternama sehingga harus pulang malam. Aku mengetahui pekerjaannya saat tanpa sengaja mendengar seorang seniorku di kampus memamerkan foto mesranya bersama seorang wanita cantik, yang kuketahui adalah kakakku, kepada teman-temannya yang sesama mata keranjang. Hatiku hancur, tapi amarahku tidak tertahankan saat seorang tetangga meneleponku detik itu juga, mengatakan bahwa kakakku ditemukan tewas di hutan, dengan kondisi perut terkoyak, usus berceceran, dan wajah dirusak.

Senjata runcingku menembus jaket kulit pria itu. Erangan kesakitan dan teriakan merobek kesunyian hutan, membelah sepi yang selama ini menemaniku.

Dia mati.

Seminggu setelah kematian kakak, aku mencoba mengusir egoku dan memasuki kamarnya. Aku benci profesinya, tetapi tidak bisa memaafkan orang-orang yang menyakitinya. Aku berusaha mengalahkan segala amarahku dan membenahi kamarnya, setidaknya, dulu kami adalah keluarga kecil yang bahagia, seandainya ayah dan ibu tidak mengalami kecelakaan dan tewas di tempat.

Pada saat itulah, aku tanpa sengaja menjatuhkan catatan kecil berwarna putih dominan. Betapa terkejutnya aku kala melihat sederetan nama para laki-laki yang asing bagiku. Kupelajari lagi isi dari catatan itu dan akhirnya mengerti bahwa buku itu berisi daftar nama laki-laki yang pernah meniduri kakakku, lengkap dengan alamat rumah dan nomor ponselnya.

Entah arwah apa yang membutakan mataku dan menyetir pola pikirku. Esok harinya, aku seperti orang gila yang dipenuhi energi negatif misterius. Mendatangi rumah, kantor, atau mengundang para laki-laki itu ke hutan kemudian menghabisinnya dengan besi runcing pemecah es sepanjang dua puluh lima senti yang mudah kudapatkan di toko keperluan industri kuliner. Pembunuh kakakku tidak pernah terungkap, dan aku berasumsi bahwa satu dari dua puluh tiga laki-laki bajingan itu pastilah pelakunya. Namun, aku bukanlah detektif yang mau pusing mencari siapa yang telah tega mencabik-cabik tubuh kakakku. Aku adalah pembunuh berdarah dingin, yang akan menghabisi semua laki-laki itu dengan kondisi sama seperti kakakku; mati dengan mengenaskan dan tidak layak.

Darah mengucur deras dari dada kiri pria malang di hadapanku ini. Diiringi suara angin dan gesekan ranting yang mencekam, kutancapkan kembali besi runcing pemecah es di genggamanku pada perut Sinzou Hazami. Mencabut, menusuknya lagi, dan lagi. Jaket kulitku bermandikan darah kentalnya, cipratan merah pekat membasahi kedua tanganku dan terciprat ke wajahku. Aku tidak peduli. Kuambil cutter di saku dan merobek perut warga Kyoto itu dengan tenang, seperti memotong ikan segar.

Perutnya sekarang sempurna berlubang. Aku, yang sudah kebal dengan anyir darah bercampur urin dan feses busuk, mengaduk-aduk isi perut korbanku dan mengeluarkan apa yang disebut usus. Kutarik daging merah menyerupai selang itu ke atas, kemudian berdiri; berjalan beberapa langkah sampai usus itu memanjang di atas tanah dan memutusnya dari lambung. Kemudian, kulempar usus itu sejauh jarak yang bisa kujangkau.

Mayat tanpa usus.

Seperti itulah kondisi kakakku saat aku berlari dan berdiri gemetaran di kamar mayat rumah sakit.

Fase kedua; besi runcing pemecah es yang tadi kuletakkan di samping korban, kuraih kembali. Menyapukan tanganku pada genggaman besi runcing untuk membersihkan darah yang membuat licin, kuingat kembali bagaimana wajah kakakku yang terakhir, di kamar mayat. Raut cantik tanpa cela itu berubah mengerikan dengan puluhan lubang di wajahnya. Aroma busuk memuakkan itu masih kurasakan dan semakin membuatku ingin muntah ketika melihat wajah Yuki Hana, kakakku tersayang yang dipenuhi dengan derita. Darah mengering itu benar-benar membuatnya seperti korban perang yang sudah dua minggu terabaikan di selokan. Dan sama seperti itu, wajah pria ini pun akan mengalami hal serupa.

***

Aku adalah orang asing sekarang. Pakaianku yang bermandikan darah telah kubuang di sungai. Tidak akan ada yang mengenaliku walaupun kamera pengawas jalur masuk hutan menelusuri jejakku. Pria itu kupastikan sulit ditemukan setelah aku menggali tanah sedalam tiga meter, melemparnya ke dalam, dan menguburnya. Tidak akan ada yang tahu kapan waktu kematiannya, karena seperti itu juga, kakakku ditemukan. Oleh seorang polisi yang sedang mengajak anjing pelacaknya berjalan-jalan. Dan di hutan sepi ini, kupastikan tidak akan ada polisi yang melakukan rutinitas sama kecuali keluarga pria brengsek itu melaporkan anggota keluarga yang hilang.

Aku kembali ke rumah. Sendirian di dalam penjara itu sungguh menyiksa. Tidak ada teman, semuanya pergi setelah tahu profesi kakakku dan mengatakan bahwa kematiannya yang buruk pastilah karena pekerjaannya itu. Aku yakin mereka tidak tahu kenyataan yang sebenarnya, bahwa kakakku dipaksa dan semakin lama semakin pasrah ... aku bersumpah akan menghabisi mereka juga setelah menemukan enam pelaku lainnya.

''Ami ...''

Aku acuh. Suara itu memang selalu menyambutku dan semakin berisik menjelang dini hari. Suara-suara yang selalu mengusikku dan membisikkan kata bunuh dan tikam, sebuah support tidak nyata yang telah membuatku berambisi dan membereskan para pelaku.

''Lagi Ami ... bunuh lagi ...''

Aku membanting pintu kamar mandi dan bermaksud untuk berendam, ketika kurasakan angin dingin menelusup di leherku dan membisikkan sesuatu.

''Kau masih belum menghabisi tujuh lainnya ...''

''Tujuh?'' kataku mulai waspada. ''Kukira kau lupa bagaimana caranya menghitung. Siapa pun kau, silakan periksa kembali catatan kakakku. Dari 23 orang, 17 di antaranya telah mati. Bukankah seharusnya tinggal enam? Lalu yang satu siapa? Apa kau juga mau kuhabisi?''

Hening.

Aku hendak melanjutkan acara berendamku jika saja aku tidak dikejutkan dengan suara ledakan kecil. Semuanya berubah gelap ketika aku menyadari bahwa lampu kamar mandiku pecah berkeping-keping dan serpihannya menimpa kepalaku.

''Apa maumu!'' jeritku tertahan. Mereka selalu mengusikku setelah kematian kakakku dan sekarang mengganggu agenda berendamku. Di lain waktu, mereka mengacaukan tidur malamku sampai aku terus terjaga dan baru terlelap saat fajar menyingsing.

''Satu lagi Ami ... korbanmu bertambah satu lagi ... lihatlah kamar kakakmu.''

Aku benci dibuat penasaran. Segera kuraih handuk dan membuka pintu kamar mandi, melangkah ke arah kamar kakakku.

Tidak ada apa-apa.

Seolah mengetahui amarahku, suara serak sayup-sayup itu kembali terdengar.

''Lihatlah sekelilingmu, Ami ...''

''Memangnya kenapa?'' jawabku kesal. ''Apa hakmu memerintahku!''

''Lihatlah di pinggir kaca ... di dinding, di seprai, dan di buku-buku catatan itu ...''

Aku terkesiap. ''Ada apa dengan  'dia'?''

Suara itu menyahut, ''Tidakkah kau sadari, Ami ...? Dia adalah idola kakakmu. Bukankah jika kakakkmu mati, idolanya juga harus mati?''

Senyap.

Aku tertawa dalam diam. Ya, aku mungkin gila, tetapi tidak akan kulewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk membalaskan dendam kakakku. Orang itu ... kenapa tidak pernah terpikirkan olehku?

''Habisi dia ...'' suara itu kembali memberikan cumbuan janji menggiurkan. ''Jalannya sudah ada di depan mata, Sayangku.''

Aku tersenyum seraya melangkah ke arah cermin. Kuraih foto yang terselip di antara bingkai dan menatapnya dengan seulas senyuman puas.

''Tunggu giliranmu, Kaitou Kid.''

Aku, Ami Kairu, telah tunduk pada perintah Iblis.

Ami Kairu-I'm KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang