Mimpi

240 33 12
                                    


Napasku sesak seperti manusia yang tahu waktunya telah dekat.

Jantungku berdebar keras layaknya hewan yang tahu gigi runcing singa segera melahapnya.

Darahku seperti membeku ... astaga! Mata semerah darah itu sungguh ingin membunuhku!

''Matilah kau, Kaitou Kid!''

SPLASH!

''KAITOOOOO! BANGUUUNNN!''

Aku tersentak oleh suara keras mirip jatuhnya menara Tokyo yang menimpa gedung-gedung di bawahnya. Mengerjap, kuarahkan pandanganku pada sosok buram Aoko Nakamori beserta sesuatu yang kukenali sebagai ember ... sejenak, aku merasakan badanku dingin, dan detik berikutnya, baru kusadari seragamku basah kuyup.

''Fiuhh ... akhirnya kau bangun juga, Kaito!'' Aoko berkacak pinggang, ''Aoko sudah memukulimu dengan sapu dan mengelap wajahmu dengan kain pel tapi tidak mempan! Untung saja Keiko memberiku ide cemerlang dengan cara menyirammu!''

Aku bergeming. Antara merasa kedinginan dan bersyukur karena masih bernapas.

Dan ... tunggu, kain pel katanya?

Aku segera pulang setelah jam pelajaran usai dan Keiko meminjamiku seragam olahraga yang entah milik siapa. Dan lagi-lagi aku merasa lega bisa pulang bersama dengan Aoko. Setidaknya, walau aku ingin membalas perbuatan tidak senonohnya padaku--mengelap wajahku dengan kain pel--,mata semerah darah yang masih membayangiku sampai detik ini tidak mengejarku ... atau begitu halusinasiku mengatakannya.

''Kaito,'' ujar Aoko menyikut lenganku, ''kau mendengarkan Aoko berbicara apa tidak, sih?!''

''Eeh, apa?'' sahutku linglung.

''Hmph! Aoko selalu harus berbicara dua kali denganmu,'' gadis itu menggerutu, ''apa pendapatmu dengan kasus pembunuhan berantai yang terakhir kali? Korban ke-17 baru saja ditemukan kemarin ... dengan kondisi sama mengenaskan!'' Aoko bergidik, ''berita mengatakan, Sinzou Hazami dibunuh lebih kejam dari yang lainnya, dengan mata yang tertusuk semacam besi runcing ...''

Aku berdecak, ''Kau terlalu memikirkan hal mengerikan, Ahoko! Yang seperti itu, tidak baik digunjingkan oleh seorang Putri Inspektur!''

Aoko cemberut, tetapi setelahnya, dahi gadis itu terlipat serius. ''Aoko bermimpi ...,'' Ada jeda beberapa detik sebelum langkah gadis berambut hitam itu tiba-tiba berhenti. ''Aoko bermimpi kalau Kaito adalah korban berikutnya!''

Seandainya mataku lengah, mungkin tidak pernah kulihat tetesan air mata jatuh di pipi teman masa kecilku. ''Ya ampun,'' kataku berusaha untuk sebal, ''itu hanya sebuah mimpi!''

''Tapi terasa nyata!'' Aoko setengah berteriak, ''Aoko melihat pembunuh itu mengikutimu ... mengejarmu, lalu tiba-tiba saja Aoko membaca berita kematianmu ... Kaito, kali ini saja kumohon jangan keluar rumah dan menginaplah di rumahku, ayah pasti mau berbagi kamar denganmu!''

Terkesiap dengan kecemasan Aoko, aku sempat merasakan ngeri menjalar di sekujur tubuhku. Menggeleng kuat, kutarik nafas dalam dan berusaha terlihat biasa, seolah tidak terpengaruh. ''Khayalanmu terlalu tinggi, Nona. Seekor merpati akan tetap terbang bebas walau tahu bahaya sangat dekat dengannya. Menghindar dari takdir adalah hal pengecut yang dilakukan manusia. Walau kau mengatakan namaku masuk berita, aku tidak akan mundur, jika memang takdirku begitu.''

''Tapi ... tapi ...''

''Shhhh,'' Kuletakkan telunjukku di bibir mungilnya, ''hentikan ocehanmu tentang kematian seorang pemuda tampan yang tinggal di sebelah rumahmu. Itu tidak baik dan akan memengaruhi kecerdasan otakmu sebagai pemegang rekor murid yang bisa menjawab soal tanpa melihat papan tulis!''

''Ka-kaito ...''

''Nah,'' Kuangkat dagunya dan menatap Aoko lekat. Setidaknya, jika memang benar namaku segera terpahat di batu nisan, aku sudah tenang karena melihat orang yang kusayangi dalam keadaan baik-baik saja. ''Lebih baik bicarakan hal yang menarik, seperti ... tentang pencurian Snow Jewel oleh Kaitou Kid nanti malam. Bukankah pencuri itu adalah topik favoritmu walau kau terang-terangan membencinya?''

Raut wajah bersedih itu berubah secepat kilat, digantikan dengan ekspresi kesal tiada akhir. ''Pencuri itu!'' Gadis berjepit rambut merah itu memberengut, ''Aoko pastikan, malam nanti dia akan tertangkap oleh ayah!''

Selanjutnya dia mengoceh dan seperti biasa, undangannya ke lokasi sebelum jam yang kutentukan selalu memberiku kesempatan untuk merubah sebagian sistem. Namun, netra semerah darah lagi-lagi menyusup dalam pikiranku, memberikan bayangan kematian yang segera menjemput.

Kutatap Aoko dari samping. Gadis itu terus berujar sendiri, tetapi telingaku tidak mendengar suaranya. Delapan jam berikutnya, aku menyadari bahwa ini kali terakhir aku melihat wajah gemasnya.

Sebelum mati.

Ami Kairu-I'm KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang