Panas matahari pagi sayup-sayup meninggi, membakar udara dingin yang ditinggalkan malam. Menandaskan jejak embun yang tadi sempat singgah pada tumbuhan hijau dan tanah yang lembab. Kicauan burung pipit telah memenuhi sudut-sudut kompleks yang lumayan asri untuk ditinggali. Begitu pun aktifitas yang terjadi pada salah satu rumah di kompleks tersebut; sibuk.
Seorang remaja lelaki tengah khusyuk di dalam kamar, duduk santai di atas kasur yang telah ia rapikan. Rambut pendeknya masih setengah basah, sisa keramas tadi. Wajah tampannya terlihat segar dan bercahaya ketika ditimpa mentari pagi yang menyusup di balik gorden putih dari jendela kamarnya yang lumayan besar. Sayangnya, semua bertolak belakang dengan keningnya yang sedikit berkerut.
Matanya fokus menatap layar hp. Tangannya bergerak-gerak lincah. Ia tengah sibuk memainkan game online di smartphone-nya. Permainan yang sedang ramai dibicarakan tidak hanya dikalangan pecinta game namun juga orang awam sekalipun. Keseriusannya sedikit terusik dengan rasa haus yang mulai menyerang tenggorokannya.
Ia mengeluarkan kemampuan sebelah tangannya saat bermain game sedang sebelah tangannya yang lain sigap menuju ke samping kasurnya. Di sana terdapat sebuah meja nakas yang di atasnya telah tersedia sebuah mug hitam, berisikan minuman kesukaannya, susu. Tanpa mengecek lagi dan yakin dengan rabaannya. Ia meneguk minuman di mug tersebut tanpa ragu.
“Ugh—” teriak lelaki itu, minuman yang sempat singgah di mulutnya tersembur keluar, “panas, panas!” sedang mug yang berguncang itu tumpah mengenai tangannya dan refleks ia melepaskan ganggangnya tanpa pikir panjang. Imbasnya, mug dan isinya itu jatuh, tumpah mengenainya badannya, mulai dari perut hingga ke celana pendeknya.
“Aduh! Panas!” ia segera bangkit dan melorotkan celananya yang basah terkena minuman panas. Ia mengambil beberapa lembar tisu untuk melap sisa-sisa susu yang menempel pada tubuhnya. Dengan cekatan ia mengelap area badan, perut, kemudian pangkal pahanya.
“Revan, sarapan udah sia—” suara seorang gadis menghentikan kegiatan Revan sedang kalimat si gadis terputus saat melihat dirinya. Si gadis berdiri di ambang pintu, masih memegang ganggang pintu masuk kamar Revan. Dan Revan masih memegang tisu, seperti sedang mengelap area terlarang. Keduanya terdiam dan saling tatap. Sama-sama membeku. Sebelum suara desahan dan tawa seorang perempuan memenuhi kamar.
Mata Revan membulat begitu mendengar suara tersebut. Ia masih menatap si gadis di ambang pintu dan wajahnya memerah. Reflek kepala Revan dan si gadis mencari sumber suara yang berasal dari hp yang tadi ia gunakan untuk main game online. Revan ingat, tiap kali permainan berakhir, akan ada iklan yang disuguhkan dan setelah iklan setiap pemain berhak mendapatkan dua diamond. Revan dengan buru-buru menaikkan celananya dan bergerak mematikan hp yang menambah kecanggungan yang terjadi.
“Pa-pangeran pagi-pagi udah sibuk aja ... ehem, ngurus bawahan,” ungkap si gadis tidak berhasil menutup rasa gugupnya.
“Bukan gitu! Gue nggak ngapa-ngapain!” teriak Revan kesal sedang celananya masih belum berhasil dikancingkan karena panik.
“Itu celana dipasang dulu deh. Aku laporin mama nih, biar kapok.”Mata Revan membulat begitu mendengar niat si gadis, ”Kinan, jangan cob—”
“Ma! Lihat nih si Revan ngapain!” Kinan memotong ucapan Revan, rasa usil menggelitiknya untuk menjahili saudara sepupunya itu. Revan dengan langkah tergesa, setengah berlari menuju Kinan. Ia ingin menyumpal mulut sialan gadis itu yang mengadu pada tante Vivi, mamanya Kinan.
Kinan yang telat menyadari hanya bisa mundur beberapa langkah. Revan telah mengulurkan tangannya untuk mencengkram lengan Kinan. Namun keberuntungan malah berpihak pada Kinan. Tepat sebelum tangan Revan menggapai Kinan, ia jatuh terjerembap, wajahnya menciumi lantai. Imbas celana yang belum sempat berhasil ia kenakan dan melorot kembali. Kinan syok melihat kejadian spektakuler dihadapannya, lalu tidak kuat menahan tawa yang lepas dari bibirnya.
“Hahaha ... Rev ... hahaha ... pasang dulu celananya ...,” tawa Kinan cekikikan sembari memegang perutnya. Revan tidak sanggup berdiri, wajahnya merah padam menahan malu. Ia ingin mengubur dirinya sendiri. Tidak pernah ia melakukan kejadian memalukan seperti ini sebelumnya.
“Kinan! Revan! Ini masih pagi, jangan berantem. Buruan turun, sarapan udah siap!” suara mama Kinan menghentikan cekikikannya.
“Pangeran, lain kali kalau mau begituan, di kamar mandi aja ya. Biar aman dan enggak ketahuan.” Kinan lalu kabur meninggalkan Revan yang masih tergeletak di lantai. Ia seperti kena kutuk tadi malam.
***
Revan membuka pintu rumah dengan kunci yang dimilikinya. Ia baru saja kembali melaksanakan rutinitas wajibnya setiap hari minggu sore; membeli nasi goreng. Ia membeli dua bungkus dari pedagang tek-tek langganan yang biasa keliling di kompleks perumahan tante Vivi. Wajahnya dihiasi senyum lima jari yang mempesona. Senyum itu tidak kunjung hilang sampai ia menuju ruangan meja makan.
Ia mengeluarkan satu bungkus dari kantong plastik dan membiarkan sebungkus lagi—bagian atas yang bungkusnya sedikit dirobek—di dalamnya. Senyumnya makin mempesona. Senyuman yang bertolak belakang dengan apa yang ada di otaknya. Niat jahil sedang berputar-putar indah, membayangkan wajah Kinan yang memakan nasi goreng tersebut. Si gadis yang wajahnya akan merah padam ketika memakan makanan yang terlalu pedas.Revan telah memesan secara spesial untuk Ibu Suri Tercinta, nasi goreng super pedas dengan cabe rawit setan sebanyak lima biji untuk dicampurkan ke dalamnya. Dua biji saja Kinan sudah kewalahan apalagi jika lima biji. Senyumannya berubah licik seperti pikirannya. Ia tidak sabar jebakannya berhasil untuk dieksekusi. Balas dendam sempurna untuk kejadian memalukan yang terjadi tadi pagi.
Revan segera membuka bungkusan nasi goreng miliknya. Menggelarnya di atas meja makan. Aromanya yang menggoda dan hawa panas yang keluar dari sana menggapai indra penciumannya. Ia sudah tidak tahan untuk mencicipinya. Tidak sekalipun si abang tek-tek gagal memuaskan nafsu Revan melumat habis nasi gorengnya sampai licin, tandas.
Ia mengambil sendok dan segera menyuap nasi goreng tersebut ke dalam mulut. Kenikmatan membanjiri mulutnya. Desahan nikmat ala pak Bondan yang hobi wisata kuliner pun keluar dari bibir Revan. Ia selalu saja kagum tiap kali memakan nasi goreng rutin ia beli di Minggu sore.
Revan akan menyendok lagi makanannya, namun suasana rumah yang sepi tanpa penghuni mengusiknya. Biasanya, jika Revan pulang membeli nasi goreng, Kinan sudah duduk manis menunggu di meja makan. Sudah berkali-kali Revan menjahili Kinan agar tidak mengganggu nasi goreng miliknya. Tapi si gadis tetap saja keukeuh minta jatah. Hingga akhirnya Revan menyerah dan selalu membelikan seporsi untuk Kinan.
Kini batang hidung Ibu Suri itu masih tidak tampak. Mengundang rasa gelisah karena Kinan tak kunjung muncul. Sejenak lupa dengan kejahilan yang ia rencanakan. Revan yang tidak pernah sabaran menunggu, memutuskan untuk mencari Kinan ke kamarnya yang berada di lantai dua, tepat di sebelah kamar yang di tempati Revan.
Lima menit berselang, pintu belakang yang terhubung dengan dapur terbuka perlahan. Sedikit berderik ketika di buka akibat engselnya yang mulai kehilangan pelumas. Kepala Kinan muncul perlahan dari baliknya, matanya tampak bergerak-gerak liar menelusuri sudut-sudut dapur. Kemudian dia memberanikan diri masuk ke dalam. Meski tangan kanannya menggenggam sebelah sendal rumah dan menanggupkannya di depan dadanya.
Setelah yakin merasa aman, dia berjalan mengendap-endap menuju ruangan meja makan. Telinga dan matanya awas memperhatikan sekitar. Genggaman Kinan pada sendalnya semakin kuat ketika memasuki ruang makan. Bulir-bulir keringat dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya berdetak cepat dan mencoba untuk tidak panik.
Deg!
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Step
Humor"Ngapain senyum-senyum?" selidik Kinan pada Revan yang tersenyum menatap hp-nya," jangan bilang kalau lagi lihat koleksi plus-plus." "Eh, itu otak dibenerin dulu napa? Ini si Marco ngajakin jalan," jawab Revan ketus. "Jadi sekarang Pangeran tuka...