Alena berjalan di pinggir jalan sendiri. Kakinya melangkah entah kemana. Pikirannya bercabang ke bagaimana caranya agar dirinya bisa menolak perjodohan itu. Perjodohan yang bahkan tidak ia inginkan. Ketika Alena hendak menghindari lubang becek, ia menabrak sesuatu. Tidak. Bukan tiang listrik atau pohon. Melainkan tubuh seseorang. Tubuh itu dibalut kaos abu-abu yang dibalut lagi dengan kemeja kotak-kotak warna merah. Alena masih lebih kecil dibandingkan sang pemilik tubuh itu.
Alena mendongak. Sebuah garis lengkung di bawah hidung itulah yang pertama kali Alena lihat. Iris mata cokelat madu yang menatap Alena sore tadi, sekarang Alena lihat kembali.
Jika sore tadi Alena risih, sekarang Alena malah seakan terperangkap ke dalam iris cokelat madu itu. "Kenapa disini?" tanya Leo. Masih lengkap dengan senyum menawannya.Mendengar suara Leo, Alena langsung menunduk. Kakinya bergeser ke kiri, lalu melangkah menjauhi Leo. Sungguh, Alena tidak mau berurusan apa pun dengan manusia semacam Leo.
"Bukan urusanmu." Itu lah yang Alena katakan tepat dirinya melangkah untuk yang pertama kali. Jantung Alena yang berdetak lebih cepat setelah bertemu dengan Leo, membuat Alena yakin jika dirinya tidak boleh berurusan dengan Leo. Namun, Alena yakin jika dirinya tidak akan menaruh perasaan pada Leo. Selain mereka itu berbeda, mereka juga tidak bisa ditakdirkan untuk bersatu.
"Alena." Suara itu terdengar bersamaan dengan pundak Alena yang ditepuk oleh seseorang. Alena sendiri yakin siapa orang itu. Leo. Dengan berat hati Alena membalikkan badan. Dugaannya benar, Leo yang menepuk pundaknya itu.
"Ada apa?" Alena bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya bingung kenapa kau berjalan sendirian," jawab Leo.
"Bukankah aku tadi bilang "bukan urusanmu? Apa kau tidak bisa mendengar?" Nada bicara Alena terdengar sarkas.
"Oh, sorry." Alena diam, Leo pun diam. Mereka hanya menatap satu sama lain. Berdiri di bawah lampu jalan membuat wajah Alena tampak bersinar. Kesan cantik Leo dapatkan begitu melihat wajah Alena sekarang.
"Bolehkah aku mengantarmu pulang?" Tiba-tiba Leo bertanya. Mata Alana sedikit melotot.
"Jangan!" sergahnya langsung.
"Kenapa?" tanya Leo bingung.
"Karena ... Karena di rumahku ada anjing galak," tukas Alena yang membuat Leo ingin tertawa.
"Anjing galak? Aku tak takut." Leo menyeringai. Karena Leo yakin, Alena sedang berbohong. Melihat Alena diam, Leo langsung menepuk pipi Alena pelan. "Ayo, kuantar kau pulang."
Kemudian, tangan Alena sudah berada di genggaman tangan Leo. Kaki mereka melangkah maju bersama. Dan jantung Alena berdetak lebih cepat melebihi ritme.
Aku harus bisa mengontrol perasaanku sendiri, ucap Alena tanpa dilisankan.
Mereka—Alena dan Leo—pulang dengan berjalan kaki. Kaki mereka melangkah beriringan. Hening membungkus atmosfer mereka berdua. Hingga dua puluh menit berlalu. Mereka sudah sampai di rumah Alena. Rumah Alena sangat besar. Halamannya luas dan ada banyak kandang ayam. Mungkin Alena berternak ayam, pikir Leo. Tanpa tahu bahwa ayam itu lah 'makanan' Alena sehari-hari.
"Aku masuk dulu," ucap Alena.
"Silahkan." Kemudian, genggaman tangan mereka, Leo lepaskan. Leo tersenyum, lalu pergi.
Ketika Leo sudah menjauh, Alena berbalik badan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Zery berdiri di ambang pintu dengan tangan yang bersedekap. Dengan sangat pelan, Alena menghampiri Zery.

KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Alpha Fall In Love
Loup-garouAlena terdiam. Pikirannya berkecamuk. Apakah ia terlalu egois? Tetapi, bukankah seharusnya yang bernama cinta itu harus diperjuangkan? Bukankah itu juga harus ia pertahankan? "Aku ... aku ... aku minta maaf, Ayah!" Alena berlutut sambil mena...