Bagian 9 : If I Fell

5.3K 687 22
                                    


Bisakah Tangguh tak membuatnya lebih jengkel lagi dari sekarang? Ini sudah malam ketiga di mana Georgia ia terus mengharapkan Tangguh datang dan mengajaknya berkencan.

Pria itu bahkan belum muncul lagi sejak menraktirnya eskrim, padahal obrolan mereka tempo hari belum jelas kelanjutannya.

Georgia sama seperti wanita pada umumnya yang juga membutuhkan kepastian. Tapi sejauh ini, tak ada pergerakan berarti dari pihak Tangguh.

Hanya karena dia seorang feminis yang mendukung penuh kesetaraan peran wanita, bukan berarti Georgia juga harus mengambil alih semua tugas yang seharusnya dilakukan pria.

Jam menunjukkan pukul 7 malam saat akhirnya Georgia memutuskan dirinya akan menemui Tangguh langsung. Ia tak tahan, Tangguh lagi-lagi mengabaikannya. Georgia berjanji dalam hati kalau ini terakhir kalinya ia menuntut jawaban pria itu. Rasanya lebih baik menerima penolakan lagi daripada digantung seperti ini.

Suasana restoran sudah ramai apalagi pada akhir minggu seperti ini. Sebagian besar kursi baik di dalam maupun di area luar sudah terisi.

Georgia langsung melihat sosok yang dicarinya sedang duduk bersama seorang wanita di sebuah bangku dengan dua kursi. Tangguh mengikat sebagian rambutnya, kausnya berwarna gelap yang pas badan.

Mereka tertawa, dan saat itu juga Georgia ingin memilin bibir Tangguh sampai pria itu tidak bisa tertawa lagi. Berani-beraninya Tangguh tertawa begitu lepas di atas penderitaan Georgia yang menunggunya harap harap cemas.

Perlahan Georgia menghampiri meja Tangguh, dalam hati ia bersyukur karena malam ini tak ada mata pria yang belingsatan melihat tubuhnya. Mungkin karena penampilannya memang tidak terlalu mencolok ditambah Georgia sengaja berjalan di area yang gelap.

Georgia memakai celana jeans hitam serta atasan tube top warna putih, tapi ia tutup dengan jaket kulit hitam yang memiliki banyak zipper. Dari sudut matanya, Georgia melihat sebuah meja yang baru ditinggalkan sepasang kekasih tepat di samping meja Tangguh berada. Tanpa berpikir lagi, diam-diam Georgia mengisi bangku kosong tersebut untuk menguping obrolan mereka.

"Maaf.." ujar sebuah suara feminin, Georgia mulai menajamkan pendengarannya.

"Buat apa lagi? Aku beneran udah maafin kamu kok! Lagian itu udah lama.. Santai aja" kata Tangguh tulus.

"Iya sih tapi gak enak aja, aku udah move on tapi kamunya masih betah sendiri aja. Jangan bilang kamu masih sayang sama aku?" Georgia kontan membulatkan matanya, rasa penasaran akan wanita itu memenuhi benaknya.

"Gak lah, Erika.. Aku sudah move on kok.. beneran.."

"Kerja apa sekarang?" wanita yang Tangguh panggil Erika itu kembali bertanya.

"Yah.. Biasalah masih sama kayak dulu. Babu restoran, hehehehe. Kalau kamu? Denger-denger pasiennya udah banyak?"

"RSCM, iya sekarang antreannya lumayan. Tapi kan jadi dokter gak melulu soal pasien. Salah diagnosis malah berabe.." jelas Erika.

"Betul sekali, Budok! Bu dokter hebat deh.. Perhatian sama pasien-pasiennya.. Hehehehe" Georgia menggertakkan giginya saat ingin memberangus tawa cengengesan Tangguh, tak sadarkah dia jika tawanya itu menakjubkan? Dan Georgia tak ingin siapapun mendapat kesempatan melihat tawa itu, terutama wanita.

"Coba aja waktu itu kamu mau bantu saya belajar  anatomi, kita mungkin gak kan pernah putus.. Lagian kamu tuh ya kelakuan genit tapi dalemnya sesuci biksu Tong sam cong" kata Erika gemas, Georgia membayangkan wanita itu sedang mencubit Tangguh.

"Whoaaa.. Hati-hati bu dok, katanya udah move on.. " canda Tangguh.

"Aku serius, Guh. Ini nih yang dulu bikin aku ragu sama kamu.. Kamu becanda mulu"

Sang Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang