Bagian 18 : Afeksi

6.5K 671 15
                                    


"Kau gila apa?" Georgia dengan kesal memandang Tangguh yang entah bagaimana melupakan di mana pakaian mereka berada. Georgia menyilangkan tangan dan kakinya di depan bagian penting tubuhnya yang polos.

"Cari! Dasar gila!" seru Georgia tak habis pikir suaminya bisa merusak suasana yang tadinya sempurna.

"Kian.. Gak sopan loh. Aku suamimu ingat! Baru semenit lalu kamu aku bikin jerit-jerit nikmat sekarang bilang aku gila?" Georgia melotot. Tangguh jenis pria tak tahu malu karena terlihat sangat nyaman tanpa pakaiannya. Persis tokoh fiktif tarzan, si manusia gua di jaman modern.

Georgia tertunduk malu walaupun setengah bagian dirinya menolak menunduk demi melihat penampilan si manusia gua yang membuat tubuhnya berdenyut kurang ajar.

"Sebenarnya aku bawa ini" Georgia mendongak dan melihat Tangguh memegang selimut yang terlipat di tangan kanannya. Georgia mendesah lega.

"Tapi cuman satu" Tangguh membentangkan selimut itu lalu menyampirkannya di pundak. Georgia kembali muram, suami gilanya malah sibuk menutupi tubuhnya sendiri.

"Eh.. Lupa.. Hatinya Ta-ta ketinggalan.. Ayo masuk!" Tangguh membuka kembali selimut yang tadi telah menutupi tubuhnya. Georgia merasa wajahnya bersemu merah.

"Ayo dong.." Tangguh merayunya lagi. Tapi Georgia enggan menghampirinya karena itu artinya ia harus berjalan dan membiarkan tubuhnya terekspos. Ini lebih memalukan daripada berpose telanjang untuk dilukis.

"Tutup mata! Awas kalau mengintip!" tegas Georgia.

"Tentu sayang.." saat Tangguh menutup matanya Georgia mulai bergerak cepat. Ia sungguh konyol dan tak mengerti kenapa pula harus malu pada pria yang jelas-jelas tak punya urat malu.

Ini pasti karena Tangguh adalah suaminya dan dalam sejam mereka sudah melakukan banyak hal menyenangkan dengan tubuh mereka selain saling berciuman. Benak Georgia terus mencari-cari pembenaran atas sikapnya yang mendadak malu-malu.

Gelenyar aneh terasa di bawah kulitnya saat Georgia mencari pijakan terakhir untuk turun. "Kau curang!" geram Georgia setelah turun dan mendapati mata Tangguh terbuka lebar.

"Kau indah sayang.. Terlihat.. sangat.. barbar.. Sepertinya kita cocok ya? Hehehe..." Tangguh cengengesan. Georgia menghentakkan kakinya jengkel.

"Uluh cantiknya istriku.." Tangguh menarik Georgia merapat hingga bagian belakang tubuhnya berada di depan tubuh Tangguh, suaminya kemudian menyelubungi tubuh mereka berdua dengan selimut.

"Maafkan aku Kian.. Aku masih merasa kau terlalu mudah memaafkanku.." bisik Tangguh serak di telinga Georgia, pria itu menggigit kecil daun telinganya lalu mengendus lekukan lehernya kemudian mengecup pundaknya cukup lama untuk memberi tanda merah baru diantara tanda merah lain yang sudah ada.

"Aku bukan tuhan yang berhak menghukummu.." ujar Georgia tersendat sensasi panas di pundaknya.

".. Lagipula ituu tidak gratis Ta-ta, kau harus membayarnya seumur hidupmu" lanjutnya lagi seraya menahan getaran dalam suaranya.

"Aku siap" gumam Tangguh yang sudah beralih mencium puncak kepala Georgia.

"Siap apa? Kau bahkan belum tahu bayarannya?" Tangguh memajukan kepalanya hingga dia bisa menatap mata Georgia.

"Memang apa bayarannya? Eskrim? Atau ini?" suami gilanya menegaskan sesuatu dengan cara yang membuat Georgia memekik.

"Berhenti menyodokku..!" bentak Georgia.

"Maaf.. Apa tadi rasanya sakit?" tanya Tangguh berubah khawatir lalu kembali mengendus lehernya seakan bisa mendapatkan energi dari sana.

"Hmmm.. Coba aku ingat dulu" Georgia memejamkan mata untuk mengenang sensasi tak terlupakan saat Tangguh dan dirinya menjadi satu. Sungguh luar biasa.

Sang Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang