Awal Yang Baru

13.6K 1.1K 86
                                    

Mungkin aku pernah kehilanganmu.
Di suatu titik yang kutak pernah tahu.
Atau mungkin, kau yang diam - diam bersembunyi.
Dalam kerdil hatimu yang merindu.

- Galaksi Bimasakti

~~~

Tayangan gosip yang sedang berputar di hadapan kami tengah menayangkan acara pernikahan seorang pembawa acara travelling, Kafka Rauf dan seorang gadis manis biasa yang pernah satu kantor dengannya di sebuah Perusahaan media online yang didirikan Kafka dan rekannya. Aku pernah bertemu mereka di kafe Rizky beberapa bulan lalu sebelum kecelakaan pesawat yang menimpa Kafka.

Kulihat dari sudut mataku, Allea tengah tersenyum, ikut berbahagia atas pernikahan mereka. Senyum, yang entah mengapa berbicara, 'aku bahagia kamu menemukan dia.'

Allea menggenggam tanganku, meremasnya lembut dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Diam, entah apa yang dipikirkannya.

Pria yang mungkin sedang berbulan madu ke entah Negara mana itu, pernah memiliki tempat istimewa di hati gadis yang tengah menautkan jari - jarinya padaku. Meski, setengah mati bibir Allea menampiknya, tapi dari semua tatapan mata Allea yang kukenal adalah, pria itu bukan teman biasa.

Pikiranku berputar ke beberapa bulan lalu, saat pertama kali kudengar nama Kafka.

London, sore itu.

Aku membaca email balasan dari Allea. Lintang Kartika-ku. Kubayangkan jeritan kesalnya saat membaca email yang kukirimkan kemarin siang. Aku sengaja menggodanya dengan Vega, kucing ras campuran yang kutemukan di depan flat murah yang kusewa selama di London. Membuatnya berpikir seolah Vega adalah seorang gadis bermata biru yang kutemui disini.

Tidak sabar rasanya ingin kembali ke tanah air. Jika saja kutahu mereka batal menikah sebelum persetujuanku ikut om Wiryo ke beberapa tempat di Eropa, sudah pasti aku menolak pergi dan memilih merangkai kembali kisahku dengan Allea. Kisah kami yang abu - abu, akan kumulai dengan awal yang baru.

Sudah lama aku mencurigai orientasi seksual Gerry. Apalagi saat masih kuliah, Gerry sering memintaku menemaninya untuk hal remeh. Hanya aku. Bukan Rizky, Galih atau Ito. Alasan dia yang kupercaya, aku bisa diandalkan daripada sahabat kami yang lain. Meski kucurigai juga beberapa saat setelahnya, ketika Gerry menatap tubuhku yang telanjang dada di ruang ganti baju, tersirat dalam benakku bahwa Gerry memandangku sebagai objek seksual. Damn! Padahal kami sama - sama makhluk berbatang. Sejak saat itu aku memilih menjaga jarak dengan Gerry.

Namun tak lama, Gerry memperkenalkanku pada seorang model yang diakui sebagai pacarnya. Sekarang semua terkuak, Gerry bisa saja hanya meminta temannya saat itu untuk berpura - pura menjadi pacarnya demi meyakinkanku bahwa dia straight.

Mendengar Gerry memanfaatkan Allea untuk mendapatkan status dan pengakuan hukum membuatku ingin mematahkan kakinya yang belum terlaksana saat Allea tertimpa besi penyangga lukisan di galeri om Wiryo beberapa bulan lalu.

Tidak tahukah dia, berapa lama aku menunggu wanitaku itu.

Masih teringat jelas di benakku, saat dimana aku mengenal Alleandra. Gadis cantik yang polos, tak pernah senyum, berwajah datar tanpa ekspresi, namun sukses mencuri hati Angga, sepupuku. Dan sukses menjungkir balikkan hatiku.

Saat itu Angga sedang uring - uringan di kamarnya, adik sepupuku itu memang agak sulit dimengerti bagi sebagian orang, termasuk orangtuanya. Tapi entah mengapa, aku dapat melihat maksud dan hal yang membuatnya gelisah.

Aku tahu Angga tengah merasakan merah muda, ya cinta. Hal yang sesungguhnya tidak pernah dia mengerti.

"Kunaon maneh?" Tanyaku menarik lengannya yang sibuk menggambar robocop. Tokoh fiksi favoritnya.

"Ck. Cewek 'a, rambut panjang. Cantik, tapi hararese."

"Kunaon hararese? Ogah dideketin kamu, kitu?"

"Lain 'a, susah diajak bicara. Lieur urang!"

"Saha ngarana?"

"Duka. Heheh."

"Beleguk. Besok 'a ikut coba ke kampus kamu."

"Tolongin nya?"

"Asal cocok weh harganya."

"Deuh matre." Balasnya.

Aku hanya tertawa. Dari kecil, Angga selalu mengikutiku. Main bersamaku, merebut semua mainanku. Tapi aku selalu mengalah. Sebagai kakaknya, sebagai cucu tertua, aku kerap mengalah pada adik - adikku. Terlebih pada Angga, yang memang spesial.

Angga diperlakukan istimewa, karena dia tidak seperti anak - anak pada umumnya. Sekilas, Angga tampak sama, tapi dia mengalami kesulitan berkomunikasi sejak kecil. Dokter bilang Angga mengalami autism. Dia lebih senang menggambar daripada membaca, berhitung atau pelajaran saintifik lainnya. Darah seni memonopoli segala indera-nya.

Bertumbuh besar, Angga mulai bisa berinteraksi tapi hanya dengan beberapa orang yang dipilihnya. Angga tertutup dan hanya terbuka berbicara segala hal padaku. Hingga tentang Alleandra yang menyita pikirannya. Obsesi Angga pada Alleandra membuatku ikut membantu rencana gilanya. Membuat Alleandra jatuh ke pelukan Angga.

Satu - satunya yang pernah kusesali dalam hidupku adalah, membiarkan Angga memiliki Alleandra. Gadis yang juga mencuri hatiku.

Hingga di suatu kejadian yang membuatku, untuk pertama kalinya, ingin memukul Angga. Lebih dari itu, aku ingin membunuhnya, karena melakukan hal keji pada Alleandra.

Angga menyekap Alleandra dalam kamar kost yang sempit, bau dan sepi. Upayaku untuk menghalanginya justru berbuah pukulan dan tendangan Angga bertubi - tubi.

Hari itu, dimana aku sedang berusaha membebaskan Alleandra, kulihat Angga tengah menahan kesakitan di tulang rusuknya dan Alleandra sudah pergi entah kemana.

Kuikuti jejaknya, yang kutemukan kemudian adalah Alleandra yang lain, dia berubah. Ia menjadi gadis ceria yang tidak memiliki rasa takut. Segala kekakuan dan wajah sedihnya telah pergi. Tapi dia tidak memiliki nama, kuberi dia nama Kartika. Bintangku.

Tiga hari setelah mendapatkan balasan Allea, aku melihat ikon email di laptopku berkedip, menandakan sebuah surel masuk untukku. Sebuah pesan dari Allea yang membuatku mengerutkan kening. Tanpa basa - basi, hingga aku merasakan kekhawatirannya.

Kamu kenal cowok bernama Kafka? Karena dia kenal Kartika.

Kafka. Kafka. Kafka? Siapa dia?

Dua kalimat Alleandra yang sukses membuatku ingin bertanya langsung padanya. Kenal Kartika? Sebagai Kartika? Karena sejauh yang aku tahu, Kartika hanya punya aku selama menjalani hidup Allea.

Aku segera menghubungi om Wiryo yang saat itu tengah minum kopi bersama Alexander Puso, pelukis ternama dari Italia yang dengan rendah hati mengajak kami untuk 'berwisata' bersamanya keliling Eropa.

Om Wiryo agak marah, mengetahui aku yang ingin membatalkan kelas bersama Puso. Ya, Puso akan menjadikanku muridnya selama ia melakukan pameran dan bersedia mengajariku teknik - teknik baru yang melambungkan namanya.

Tapi untuk sebuah nama, Kartika, yang ternyata memiliki 'teman' lain selain diriku, membuatku ingin pulang hari itu juga ke Indonesia.

Om Wiryo mengizinkan, dengan syarat aku harus mengajarkan gitar pada putrinya Puso, Caroline, hingga dia mahir dan tentu saja itu memakan waktu yang lumayan lama. Kutelan bulat - bulat kekecewaan dan harus bersabar mengajarkan Caroline hingga pandai bermain gitar.

Kubalas email Allea, mengatakan bahwa aku sama tidak tahunya tentang Kafka hingga entah apa yang terjadi pada mereka selama aku tak ada.

Tapi sepertinya, ada kisah yang mereka coba renda. Tentang Kartika dan segala kealpaan Allea selama diambil alih oleh alter ego -nya. Kisah yang setengah mati kutolak, namun kusadari memang ada.

●●●

Cerita ini dipublish ulang di aplikasi KBM yaaaa

Silakan baca di sanaaaaaa~~~~

Carpe DiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang