"Nad, liat deh. Kating yang itu cakep ya," ucap Ajeng. Mata bulatnya melirik, memberikan isyarat pada sang sahabat yang duduk di sebelahnya.
"Yang mana, Jeng?" balas Nadya. Kepalanya tolah-toleh, mencari-cari sosok yang sedang dibicarakan temannya itu.
"Itu loo, yang duduk di teras sambil main gitar," kata Ajeng sambil mengarahkan kepala Nadya ke arah lelaki yang ia puji tampan barusan. Di sana berkumpul sekelompok laki-laki yang sedang asyik bernyanyi bersama.
"Ooh," mulut Nadya membulat membentuk huruf 'O'. "Lumayan lah, cakep cakep."
"Ih, kamu mah iya iya aja," cibir Ajeng sebal.
Nadya hanya meringis untuk membalas kawannya itu. Ia kemudian mengembalikan pandangannya ke arah lelaki tadi. Kali ini ia memperhatikannya dengan lebih mendetail.
Rambutnya agak panjang, melebihi kerah. Namun ikal rambutnya tetap terlihat enak dipandang. Hidungnya yang besar namun mancung, terlihat kokoh dan simetris di wajahnya yang berbentuk oval. Bahunya terlihat lebar dengan punggung yang tegap. Sungguh, ia merupakan lelaki yang menawan.
Nadya sadar dalam sekejap, lelaki itu berhasil mencuri hatinya hanya dalam satu kali pandang. Namun, dalam sekejap pula, Nadya sadar diri bahwa lelaki itu tidak mungkin ia raih dalam hidupnya.
***
"Ge. Lu dari tadi diliatin ama maba, noh!" seru Hendra setelah ia usai menyanyikan Despacito dengan lirik ngawur.
"Perasaanmu aja kali. Ngapain juga maba ngeliatin aku," balas Gerald sambil tertawa kecil. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di badan gitar yang sedari tadi ia mainkan itu.
"Elah, kagak percaya ini bocah," cibir Hendra kesal. "Coba lu liatin, deh. Mayan cakep juga tuh maba."
Gerald hanya mengangguk kecil sembari mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu.
Ada dua remaja perempuan di sana. Salah satunya berkulit kecoklatan dengan rambut panjang, yang juga berwarna kecoklatan, yang diikat satu sedangkan yang satu lagi lebih ke arah putih pucat dengan rambut hitam legam sepanjang bahu.
"Yang mana woi? Ada dua tuh mabanya," tanya Gerald pada Hendra. Begitu ia melihat keduanya, agaknya Gerald jadi penasaran.
"Dua-duanya sih, Ge. Tapi yang singkek tuh, ngeliatinnya intens banget," jawab Hendra yang kemudian dilanjutkan dengan tawa lebar.
"Nyebutnya jangan gitu, woi! Rasis tau," tegur Gerald. Temannya yang satu itu memang asal ceplos kalau berkata-kata.
Gerald kemudian kembali menggenjreng gitarnya. Namun pandangannya mengarah pada kedua perempuan yang baru saja menjadi topik pembicaraannya. Matanya terfokus pada gadis yang berambut pendek.
Rambut pendek gadis itu membuat wajahnya yang mungil terlihat semakin kecil. Poni rata yang menutupi jidatnya semakin menambah kesan kekanakan di wajahnya. Mata kecilnya tersembunyi di balik frame kacamata berbahan besi dengan warna pink yang ia kenakan. Segala sesuatu dari gadis itu terlihat mungil. Membuat Gerald ingin mendekap erat tubuh mungil itu.
"Eh, tapi yang katamu ngeliatin aku daritadi badannya mayan yak, gemes deh," ucap Gerald tanpa sadar.
Tawa Hendra pun meledak lagi. "Mesum lu, ckckck."
Gerald pun hanya meringis dan kembali larut pada permainan gitarnya. Karena ia tahu, tak seharusnya ia berhubungan dengan perempuan. Meski ia sangat mendambakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
cactus.
RomanceIa bukanlah bunga mawar yang dipuja karena keelokannya. Bukan pula bunga matahari yang dengan keangkuhannya mampu menatap sang mentari. Ia hanyalah bunga kaktus, bunga yang mengembang di ladang tandus.