Hujan.
Nadya menyesali kecerobohannya. Bisa-bisanya ia lupa membawa payung. Padahal tadi pagi ia sengaja meletakkannya di sebelah rak sepatu agar mudah terlihat.
Gadis itu berdiri termenung di teras gedung fakultasnya, meratapi bulir-bulir air yang terjatuh dari angkasa dan meresap ke dasar bumi. Sebenarnya bisa saja ia berhujan-hujan hingga ke halte, toh hujannya tidak terlalu deras, tapi Nadya tak mau ambil resiko basah kuyup dan membuat laptopnya rusak karena terkena air hujan.
Ah sudahlah, batinnya. Ia pun kembali masuk ke dalam gedung. Kakinya melangkah ke sebuah perpustakaan kecil di dalam kampusnya. Letaknya agak jauh ke belakang, hampir di pojokan gedung, yang jarang terjamah kecuali oleh para mahasiswa tua.
Hall gedung mungil itu ramai di sana-sini. Hampir di tiap pojoknya terisi mahasiswa mahasiswi yang merindukan rumah namun apadaya terhalang hujan.
Ramai.
Hiruk pikuk di sana-sini.
Sungguh bukan suasana yang bisa Nadya nikmati.
Di hall dekat tangga, bersebelahan dengan lorong yang menuju ke perpustakaan, ada sekelompok mahasiswa yang sedang berlatih menari. Salah satunya dia. Si kakak tingkat yang sempat mencuri perhatiannya beberapa waktu lalu.
Nadya sadar. Lagi-lagi ia terhipnotis oleh pesona lelaki itu. Gerak tubuhnya yang sangat luwes, terlihat lentik bagai penari perempuan. Bahkan Nadya yang seorang perempuan pasti bakal terlihat lebih maskulin jika ia menari di sebelah lelaki itu.
Ekspresinya membuat mata Nadya sampai-sampai tak berkedip beberapa detik. Sampai ia sadar, sang penari ternyata menatapnya balik. Meski dengan tatapan yang seakan kosong, tanpa tujuan.
Karena takut ia akan mempermalukan dirinya, Nadya pun cepat-cepat melangkah pergi. Ia ingin segera membenamkan wajahnya yang berangsur kemerahan itu ke dalam buku-buku tebal yang kertasnya sudah menguning dimakan waktu. Membiarkan perasaan asing nan menyesakkan yang tiba-tiba menyeruak itu larut dalam ribuan rajutan kata para pujangga.
***
Jarum jam mulai menunjukkan pukul enam sore. Sudah saatnya perpustakaan mungil itu menghentikan operasinya. Artinya, Nadya harus mencari kegiatan lain yang bisa ia lakukan sembari menunggu hujan yang masih enggan berhenti.
Nadya meratapi kembali kebodohannya sembari berjalan keluar. Seharusnya ia sudah berada di rumah sejak berjam-jam lalu. Namun ia malah terdampar di sini, tanpa tujuan apalagi kawan.
Tak ingin bertegur sapa dengan siapa pun, Nadya merogoh totebag-nya dan mengambil earphone putih bawaan ponselnya yang kini dalam keadaan semrawut, saling mengikat diri. Entah earphone memiliki jiwa atau tidak, tapi benda itu selalu berakhir seperti itu jika masuk dalam tas, seakan mereka sengaja melakukannya untuk menguji kesabaran sang pemilik.
Belum juga Nadya selesai merapikan jeratan kabel-kabel itu, dari jauh ada yang memanggil namanya.
"Nadyaaaa!" seru suara itu memekakkan telinga.
Nadya bukanlah gadis dengan kehidupan sosial yang cemerlang. Bisa dibilang jumlah temannya hanya bisa dihitung jari. Itu pun tak semuanya benar-benar akrab dengan dirinya.
Hanya ada satu orang yang akan memanggil namanya dengan begitu riang. Siapa lagi kalau bukan Ajeng.
Gadis berambut ikal itu berjalan separuh melompat ke arah Nadya, seperti kelinci kecil yang sedang menghampiri wortel favoritnya dengan riang gembira. Mukanya berseri dengan pipi penuh yang semakin naik karena terdorong senyumnya yang amat lebar.
"Na-di-ya," katanya dengan sengaja memberi jarak pada tiap suku katanya. Tangannya terbuka lebar, bersiap untuk memeluk sahabatnya.
Tidak tertarik, Nadya hanya diam saat Ajeng merangkul tubuhnya.
"Tumben di kampus sampe maghrib, Nad?" tanya Ajeng saat melepaskan pelukannya.
Nadya tersenyum tipis sembari mengenakan salah satu earphone-nya di telinga kiri.
"Hujan, lupa bawa payung." Singkat ia menjawab.
"Oalah. Iya, ya. Masuk akal," Ajeng manggut-manggut. Ia terlihat memikirkan sesuatu. "Terus kamu pulangnya gimana? Masih hujan nih. Mau bareng aku? Tapi aku baru balik di atas jam delapan, sih."
"Bentar lagi jamnya ayah pulang, kayaknya aku minta jemput aja."
"Oh, ya udah kalo gitu," raut muka Ajeng berubah lega begitu mendengar jawaban sahabatnya itu. "Kalo gitu aku balik padus, deh. Dadah, Nadyaa!"
Nadya hanya melambaikan tangan saat Ajeng melangkah pergi meninggalkannya.
"Hmm... nunggu di mana ya," gumamnya sembari melangkah pergi, tentunya dengan kedua telinga yang sudah tertutup oleh earphone.
Lagi-lagi, Nadya kabur dari kehidupan.
***
Gerald sedang menenggak air minumnya seperti manusia yang sudah tidak mengonsumsi air berhari-hari saat suara nyaring milik Ajeng menyerukan nama gadis itu.
Nadya.
Iya, Nadya. Gadis itu.
Gadis yang entah mengapa terus berada dalam jangkauan penglihatan Gerald. Mungkin sebenarnya otak Gerald sendiri yang memerintahkan indera visualnya untuk terus menyadari atau pun mencari keberadaan gadis itu.
Sudah hampir dua semester sejak Gerald menyadari adanya keberadaan sang gadis. Sudah hampir dua semester pula Gerald menyadari bahwa gadis itu sangat berbeda.
Nadya benar-benar tidak seperti gadis remaja pada umumnya. Ia tak pernah terlihat menggunakan kosmetik di wajah orientalnya itu. Ia bahkan lebih sering menutupi wajahnya dengan masker kesehatan, sehingga yang terlihat hanyalah bagian matanya yang seringkali juga tertutupi kacamata. Pakaiannya pun hanya sebatas kemeja polos dan celana jeans atau sesekali kulot ukuran 3/4 dengan perpaduan warna-warna tanah atau monokrom. Tidak pernah mencolok.
Tak hanya itu. Hal yang membuat Gerald sangat heran adalah keberadaannya yang hampir tidak ada, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Bayangkan di era internet, di mana tiap orang sibuk membuat twit mereka viral ataupun menjadi selebgram, Nadya tetap saja tidak peduli dan tak memiliki satupun akun media sosial. Bahkan nenek Gerald yang setiap hari menggunggah snapgram kue buatannya pun lebih gaul daripada Nadya. Dunia nyata pun begitu. Nadya tidak ikut UKM, himpunan ataupun BEM. Ikut kepanitiaan pun tak pernah. Lomba-lomba? Apalagi itu. Hidupnya hanya sekadar kuliah-pulang kuliah-pulang.
Teman? Gerald hanya tahu Ajeng. Tak pernah Gerald lihat seorang Nadya berkomunikasi dengan manusia selain Ajeng.
Nadya selalu hidup dalam dunianya sendiri.
Gerald sadar, makin lama ia semakin mirip penguntit. Tapi mau bagaimana lagi, bagaimana bisa ia tidak penasaran pada gadis bermuka sendu yang menatapnya penuh afeksi saat mereka pertama kali bertatap mata kala itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
cactus.
RomanceIa bukanlah bunga mawar yang dipuja karena keelokannya. Bukan pula bunga matahari yang dengan keangkuhannya mampu menatap sang mentari. Ia hanyalah bunga kaktus, bunga yang mengembang di ladang tandus.