"Nanti untuk jurnal yang harus kalian review, Ibu kirim ke e-mail ketua kelas, ya. Deadline hari Kamis jam sebelas malam. Lebih dari itu tidak saya terima," ucap sang dosen untuk mengakhiri perkuliahan.
Gerald melengos karena tahu tugas itu berarti dua hari tanpa tidur. Jurnal berbahasa inggris dengan puluhan halaman selalu menjadi senjata ampuh bagi bu dosen untuk menyiksa para mahasiswanya. Yah, hanya berlaku untuk mereka yang niat kuliah sebenarnya. Kebetulan, Gerald juga salah satunya. Meski agak slengean, ia cukup sadar diri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar yang ia dapat dari uang negara.
Gerald meringkasi binder dan alat tulisnya ke dalam totebag kanvas yang ia lukis sendiri dengan pola abstrak berwarna monokrom. Ia pun bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kelas berharap bisa berpapasan dengan gadis itu seperti biasanya. Ya, pada hari Rabu seperti sekarang ini, Nadya mengambil kelas dengan jam yang sama dengannya. Beruntungnya, kelas itu berada di seberang kelas Gerald, jadi jika sedang benar-benar beruntung, Gerald bisa bertemu sosok itu meski hanya beberapa detik saja.
Sayang, rupanya kelas di seberang sudah selesai lebih dahulu. Mungkin berselang sekitar lima menit saja, karena di dalam kelas itu masih tersisa beberapa mahasiswa yang terlihat sedang berdiskusi.
Sedikit kecewa, Gerald pun meninggalkan gedung kampusnya yang berlantai empat itu. Kadang ia mengutuk pihak dekanat yang tidak menyediakan lift di gedung tersebut hingga ia mau tak mau harus naik turun menggunakan tangga.
Begitu keluar, ia langsung disambut sekumpulan mahasiswa yang sedang bercengkrama, masing-masing terlihat menikmati sebatang rokok atau pun vape yang baunya sering menipu Gerald--ya, bau manis itu selalu membuatnya mengira ada yang membawa kue bolu atau semacamnya. Salah satu dari mereka rupanya menyadari kehadirannya.
"Ah, sial," batin Gerald begitu lelaki itu melambaikan tangannya.
"Woi, Ge. Baru kelar kelas, lu? Sini lah, join," ajak lelaki itu sebelum menghisap marlboro putih yang ia jepit menggunakan jarinya.
"Sori bro, gua buru-buru. Mau kerja," balas Gerald sedikit berbohong. Sebenarnya ia masih memiliki kurang lebih satu setengah jam sebelum kelas musiknya mulai. Tapi lebih baik berbohong daripada harus kembali dengan kumpulan itu.
"Yaelah bro, sebat dulu laah. Udah lama lu gak nongkrong bareng kita," kata Nathan menimpali.
Mampus. Si bos-bosan sudah bersuara.
"Skip dulu lah, Than. Kalo telat ntar gaji gua dipotong kan sayang, bro."
"Ah, ga seru lu, bro," ujar Dean, lelaki yang menyadari Gerald tadi.
"Sori ya, gua balik dulu." Gerald pun menempelkan kedua telapak tangannya, isyarat meminta maaf, sebelum melangkah pergi dari tempat itu.
Gerald menghela napas panjang setelah ia berjalan lumayan jauh dari tempat itu. Gerombolan itu adalah satu-satunya yang ingin ia hindari sampai lulus nanti. Mereka benar-benar toxic. Ia sangat menyesali keinginannya untuk menjadi anak gaul saat maba dan berbaur dengan mereka. Semuanya berakhir kacau.
Gerald masih ingat malam-malam yang ia habiskan untuk nongkrong. Hanya untuk sekadar merokok dan menenggak alkohol, serta bercerita ini-itu yang seringkali hanya berisi tubuh wanita.
Tak jarang mereka mengajaknya ke klub malam, tapi Gerald selalu menolak. Ia tidak berani. Klub malam terlalu liar baginya yang menenggak bir segelas saja sudah langsung mabuk.
Sudah empat bulan sejak ia memutuskan untuk berhenti bergaul dengan kawan lamanya itu. Karena kejadian itu--kejadian yang menghantuinya dengan mimpi-mimpi buruk.
Tapi sayang, ia masih belum bisa berhenti dari rokok. Bahkan mengurangi pun tak mampu. Racun cantik yang dipuja banyak orang itu sudah mendarah daging dalam diri Gerald. Padahal ia sendiri paham betapa berbahayanya jika ia terus-terusan mengonsumsinya.
Begitu sampai di parkiran, ia langsung mengeluarkan kunci motornya dari tas dan berjalan ke tempat ia memarkir motornya tadi. Namun, ternyata ada sesuatu di dekat sana yang membuat badan Gerald berhenti sejenak. Bibirnya tanpa sadar menyunggingkan sebuah senyum tipis.
Kucing kecil berbulu abu muda tidur bergelung di jok sepeda motornya.
Bukan. Bukan itu yang membuatnya tersenyum. Namun sang gadis yang berjongkok di sebelah sepeda motornya. Mengamati si kucing dengan seksama. Senyum tipis terlihat menghiasi wajahnya yang cantik. Manis sekali.
"Enak ya jadi kucing.. bisa bobo santai gini," gumam Nadya sambil mengelus si kucing abu menggunakan jari telunjuknya.
Telinga Gerald memang sedikit lebih sensitif daripada orang pada umumnya hingga ia bisa mendengar gumaman lirih yang keluar dari mulut Nadya.
Menganggap ini ada pertanda dari jeratan takdir, Gerald pun menghampiri gadis itu. Ia sangat mengerti, tak seharusnya ia melakukan ini.
Tapi mau bagaimana lagi? Rasa penasaran yang Gerald miliki tak bisa lagi dibendung."Maaf, mbak. Itu motor saya, hehe," ucap Gerald sebelum ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dasar bodoh, tidak ada kalimat lain apa?
Nadya yang terkaget hanya merespon dengan anggukan dan ia pun segera berdiri. Terlihat sedikit semburat merah di pipinya. Mungkin ia malu, kalau-kalau obrolannya dengan sang kucing tadi terdengar orang lain.
"Emm.. ini kucing enaknya diapakan ya, mbak? Saya nggak tega banguninnya," katanya lagi, berusaha mencari celah agar Nadya tidak meninggalkannya.
"Emm..." Nadya terlihat kebingungan. Kedua bola matanya berputar-putar, ke kanan, ke kiri. Sungguh canggung.
Tanpa suara, Nadya kemudian merogoh isi tasnya. Ia kemudian mengeluarkan plastik kecil berisi biskuit kecoklatan. Kelihatannya makanan kucing.
"Kalau dikasih makan mungkin dia bangun," jelasnya singkat sebelum menyobek plastik tersebut dan menuangkan isinya di pavling parkiran.
Benar saja, begitu aroma makanan kucing itu bercampur dengan udara, si kucing abu itu pun langsung terbangun. Setelah meregangkan tubuhnya selama beberapa detik, makhluk berbulu itu pun lompat dari jok sepeda motor milik Gerald dan langsung menyerbu makanannya.
"Lahap banget makannya," komentar Gerald sambil terkekeh.
Nadya hanya diam dalam suasana canggung itu. Nadya sebenarnya selalu diam. Tidak mengenal situasi apa pun itu.
"Ehm," Gerald berdehem. Bermaksud mengindikasi bahwa ia ingin lanjut berinteraksi. "Namaku Gerald. Antropologi 2015. Boleh kan, kita
kenalan?"Nadya yang sedari tadi hanya menunduk memperhatikan si kucing makan itu pun langsung terhentak. Ia menatap lelaki itu dengan tatapan yang tidak bisa Gerald jelaskan. Seperti campuran antara jijik dan takut. Namun, dalam waktu bersamaan Gerald bisa melihat sedikit ketertarikan dalam binar matanya.
"Aku sudah cukup lama tertarik denganmu," tambahnya dengan lugas. Ia merasa tak ada gunanya juga bersusah payah menggunakan kode untuk menyampaikan apa maksudnya pada gadis ini.
"Ah... ummm," sang gadis pun bingung bukan main. Wajah putihnya sudah berubah menjadi kemerahan. "Na-Nadya... S-sastra I-inggris 2017."
Senyum Gerald merekah begitu mendengar Nadya meresponnya. Meski dengan terbata-bata.
Rupanya si kucing sudah kenyang. Makhluk itu pun melompat dan kembali bergelung di atas jok sepeda motor Gerald. Melihat kelakuan si kucing, mereka pun langsung bertatapan.
Gerald hanya terkekeh saat melihat wajah canggung sekaligus bingung Nadya.
"Hey, Nad," Gerald pun tersenyum lebar. "Kamu suka kucing?"
KAMU SEDANG MEMBACA
cactus.
RomanceIa bukanlah bunga mawar yang dipuja karena keelokannya. Bukan pula bunga matahari yang dengan keangkuhannya mampu menatap sang mentari. Ia hanyalah bunga kaktus, bunga yang mengembang di ladang tandus.