Lanjut ya. Masih di #30DWC7_day 4
Nadya menuntunku pelan, menuju kompleks pemakaman tak jauh dari rumahku. Gerimis mulai turun membasahi bumi.
"Nek, sudah mulai hujan nih. Gimana kalau ke makamnya besok saja?" Nadya tampak khawatir sambil memegang erat tanganku.
"Nggak, Nenek mau sekarang. Sana kamu pulang saja. Nenek bisa sendiri." Aku menjawab dengan nada yang tidak enak di dengar.
Nadya terdiam dan terus berjalan bersamaku sampai kami tiba di pusara Aliya, putriku. Aku menjadi tidak enak melihat Nadya agak murung. Namun aku tak peduli. Aku hanya rindu pada Aliya.
Putriku, maafkan aku. Aku tidak bisa menggantikan dirimu dengan siapapun selama ini, tetapi aku tidak mampu menolak Nadya. Dia terlalu polos untuk menerima akibat perbuatan kakeknya, Dan bahkan dia bersikeras untuk menemani ibu yang sendirian. Dia nampak nyaman bersama ibu. Maafkan aku, Nak.
Aku tergugu di samping pusara Aliya.
Hujan semakin deras. Nadya kecil tampak kewalahan memegangi payung dan berusaha melindungi tubuhku.
Dadaku terasa penuh sesak. Airmata tak mampu lagi kubendung.
"Nenek...," Nadya tampak takut dan cemas. Namun aku tidak memperdulikannya.
"Nenek.., ayo kita pulang!" Nadya mengguncang-guncang tubuhku dan tampak khawatir.
Tiba-tiba bayangan putriku dengan wajah yang lunglai dipelukanku kembali menyeruak dan membuatku semakin menangis.
"Nenek.." Nadya berteriak ditingkah suara hujan. Entah mengapa aku menjadi seperti kesetanan. Aku kibaskan tangannya dengan keras.
"Sana pulang! Aku bukan nenekmu." Aku berteriak kasar. Nadya tampak terkejut dan mulai menangis. Tetapi aku sudah tidak peduli. Hanya bayangan putriku yang menari-nari di pelupuk mataku semakin membuat aku histeris. Aku berteriak-teriak mengusir Nadya yang semakin takut.
"Nenek..." Nadya terisak dan bahunya terguncang. Tiba-tiba kepalaku bagai berputar, mataku berkunang-kunang dan semua tampak gelap. Sayup kudengar Nadya menjerit keras dan berteriak minta tolong.
Dalam gelap kulihat Aliya putriku. Sedang tersenyum sambil mengandeng seorang gadis. Dengan raut muka yang hampir sama. Oh tidak. Itu Anisa, putri suamiku. Kenapa Aliya tampak bahagia bersamanya. Aliya tetap tersenyum, meraih tanganku dan berusaha menyatukannya dengan tangan Anisa. Mereka tersenyum bahagia. Ahh putri-putriku. Apa arti semua ini? Aku tidak tahu.
Lalu kembali gelap menyergap kesadaranku.
Kepalaku terasa berat. Pelupuk matakupun seperti susah untuk dibuka.
Aku tidak ingat apa-apa. Hanya saja, Nadya. Dimana dia sekarang.
"Nadya?" aku berusaha bangun. Dan mengingat-ingat dimana aku sekarang?
"Ya Nek, ini Nadya. Nenek kenapa? Nadya takut sekali." Nadya mulai terisak di samping tempat tidurku.
"Nenek nggak pa-pa. Maafkan Nenek ya." Aku melihat sekeliling.
"Ada kakek, Nek. Dan Ibu juga. Nadya takut jadi minta mereka datang."
"Iya Laksmi, ini aku dan Anisa ada disini." Suara itu, suara yang sangat kubenci. Kenapa sekarang terdengar lembut sekali. Sudah berubahkah dia?
Dan disampingnya adalah Anisa. Sudah lama aku tidak melihatnya. Sejak aku menolak merawatnya di hari Aliya dimakamkan. "Oh, Anisa. Maafkan ibu, Nak."
Anisa tidak mampu berkata-kata, dia terisak dan meraih tanganku untuk diciuminya. Dia sangat merindukan ibunya yang menolaknya selama ini.
"Ibu, maafkan Anisa dan juga Ibuku. Aku putrimu, Bu." Kami berpelukan dalam tangis.
Ada rasa hangat menelusup kalbuku. Rasa bahagia telah memiliki dua orang putri yang sangat kurindukan selama ini. Dan Nadya, ah... dia memang malaikat kecilku. Aku raih tubuhnya dalam pelukan. Terima kasih Nadya.
Tamat
#30DWC7day4
#Squad5
#keeponfire
#keepwriting
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejumput Rindu Buat Putriku
SonstigesSemua terjadi saat hujan. Aku kehilangan putriku ditengah derasnya guyuran hujan. Aku harus menerima putrimu di tengah guyuran hujan dan airmata. Aku menemukan kembali hidupku saat hujan membasuh semua luka hatiku. Ini bukan putriku tapi aku telah m...