4

4 1 0
                                    

MALAM itu keadaan di sebuah taman tepat di pinggiran Jakarta terlihat sepi, padahal waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam dan kebetulan ini adalah malam minggu—malam di mana para muda-mudi akan berkumpul untuk sekedar berbincang dengan kerabat atau kekasih mereka.

Tapi, hal itu tidaklah menjadi perhatian seorang gadis dengan rambut panjang menyentuh bahu. Wajah gadis itu terlihat pucat, seperti seseorang yang sedang sakit. Tubuhnya yang terlihat kurus terbalut oleh sweater berwarna abu-abu yang cukup tebal.

Mata gadis itu melirik pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah jam tujuh lewat lima belas menit, namun yang ditunggu oleh dirinya belum juga datang.

Gadis itu memperlihatkan wajah sedikit bête. Menunggu bukanlah hal yang ia sukai, tapi, tidak ada lagi cara selain menunggu. Bukannya pasrah karena dirinya begitu bodoh mau saja menunggu, tapi karena gadis itu mencoba untuk menghargai hal yang ditunggunya.

Sudah hampir tiga puluh menit gadis itu menunggu, tapi yang ditunggunya tak kunjung datang. Udara malam yang semakin menusuk membuat gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Dirinya menyesal karena tidak membawa jaket untuk melapisi sweaternya, tak menyangka jika dirinya akan merasa kedinginan seperti ini.

"Maaf... aku terlambat..." suara lirih yang berasal dari belakang gadis itu membuatnya menoleh.

Matanya yang tadi sayu dan terlihat sebersit kekecewaan, kini berubah menjadi pandangan berbinar.

"Nggak papa..." jawab gadis itu lirih, memberikan sedikit senyuman di wajahnya yang pucat.

Seseorang yang tadi meminta maaf kini melangkah mendekat pada gadis itu. Kini jarak mereka hanya tinggal beberapa senti, membuat keduanya dapat merasakan deru nafas masing-masing.

"Kamu... baik-baik aja kan? Muka kamu..." ucapannya terhenti saat gadis dengan rambut menyentuh bahu itu menggeleng pelan.

"Aku nggak papa... kamu nggak perlu kuatir," jawabnya dengan nada menenangkan.

Seseorang yang berada di hadapan gadis itu memandang tajam. Menyelidik wajah sang gadis yang terlihat pucat.

"Kamu sakit," katanya lirih.

Sang gadis menggeleng pelan. "Aku nggak papa, Rafael..." katanya meyakinkan. Sang gadis mencoba untuk terus tersenyum walau tubuhnya terasa semakin tidak enak karena udara malam yang menyerang.

"Jangan bilang nggak papa, Kenya... aku nggak suka kamu selalu jawab seperti itu saat kamu sendiri kalau kamu dalam keadaan nggak baik," ucap seseorang yang dipanggil Rafael oleh gadis itu, dengan sedikit nada ketus.

Kenya mendesah pelan. "Aku cuman nggak enak badan aja," jawabnya—sedikit jujur dan sedikit berbohong.

Sebenarnya suhu tubuhnya mulai meningkat, Kenya juga merasa sedikit pusing sekarang. Tapi, ia tidak mau membuat Rafael yang baru saja sampai di hadapannya menjadi khawatir. Itulah sebabnya dia mengatakan jika dirinya baik-baik saja.

Rafael melirik ke sekitarnya, kemudian matanya menangkap bangku taman yang terbuat dari kayu tidak jauh berada dari tempatnya dan Kenya berdiri.

"Kita duduk di sana," ucapnya sembari merangkul tubuh mungil Kenya yang hanya sebatas bahunya.

Kenya hanya menuruti. Gadis itu berjalan dengan perlahan, sedikit sempoyomgan karena tubuhnya kini terasa lemas.

Setelah keduanya duduk, kesunyian melingkupi. Tidak ada yang membuka suara, keduanya memilih untuk menikmati kesunyian itu sebentar dengan pikiran mereka masing-masing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The AttentionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang