-EMPATPULUH-

1.1K 66 11
                                    

-

Pergi atau menetap bukanlah pilihan melainkan sebuah keputusan'

•••

"Kita perlu bicara, Yu." Ridho menatap penuh harap Yuda meluangkan waktunya sebentar. Yuda menoleh pada mobil biru yang terparkir luar gerbang rumahnya, ketiga temannya yang lain ada di dalam mobil. Berpamitan dengan Mama, Yuda mengikuti jalan Ridho ke mobil, mereka masuk ke dalamnya.

Suasana canggung terasa begitu kental, bahkan Alif dan Rijal yang sering mengeluarkan guyonan memilih untuk menyimak dalam diam, membiarkan duo R untuk menyelesaikan kerenganggan hubungan mereka.

"Sepuluh menit, gue mau ke rumah sakit," tutur Yuda melihat jam lengan. Ridho mendengus sebelum menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tidak memberi ruang untuk Yuda menanyakan arah tujuan mereka.

"Tinggal tiga menit," ungkap Rio ketika berhenti di perempatan. Ridho mengangguk kembali menancapkan pedal gas.

Ridho berbalik ke arah sebelumnya, Yuda membiarkan temannya melakukan atraksi tanpa menanyakan apa-apa. Jelas saja dia mengetahui temannya sedang memancingnya tapi dia berusaha tetap tenang, mengikuti arus permainan.

"Empat menit lagi," kata Rio setelah Ridho menekan rem, berhenti di depan gerbang rumah Yuda. Hawa panas semakin bertambah ketika Ridho menarik lengan bajunya. Ridho berbalik pada Yuda yang menatapnya tanpa ekpresi.

"Sorry."

Dam.

Ridho melayangkan sebuah tinju pada wajah kanan Yuda. Yuda sudah berfirasat dan tidak melakukan perlawanan, dia menyeka darah segar di ujung bibir.

"Janji gue sama Bela," jelas Ridho menjulurkan tisu untuk mengelap darah dari luka yang disebabkan oleh dirinya. Yuda meringis tetap menerima tisu, melirik Rio yang menatapnya penuh kekesalan.

"Kinta nyuruh gue buat temuin lo sama Raisa sebagai penebusan kesalahannya," ucap Rio membuang wajahnya ke lain arah, "tapi gue nggak akan ngelakuin itu. Kalau lo mau gue bakal anterin lo ke rumah Bela, mereka lagi ngumpul tapi kalau enggak, terserah," lanjutnya kembali duduk bersandar pada jok.

Yuda memandang Rijal dan Alif bergantian, menunggu kedua temannya untuk membuka mulut sekadar mencaci dia.

"Gue tau lo brengsek, Yu," Rijal merogoh ponselnya dari saku, "dari dulu nggak peduli orang lain, tapi berbeda saat lo ketemu dia, kan?" Rijal menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan gambar Raisa menekuk wajah.

"Lo liat dia? Kalian sama, saling menyakiti diri, bahkan saat dia di tempat keramaian tetap saja jiwanya nggak di tempat itu. Seminggu ini lo nggak mau ketemu sama kita, oke, lo punya keputusan sendiri dan lo membuat pilihan yang lo rasa itu benar. Lo perlu tau, Yu, sedikit saja orang yang nggak akan menyesal dengan pilihannya, gue rasa lo termasuk kebalikannya. Ah, waktu sepuluh menit lo sudah habis, titip salam kenal buat Angel," tutup Rijal membuka pintu mobil untuk menenangkan pikirannya, sedari tadi dia berusaha untuk tidak melakukan kekerasan terhadap sahabatnya itu.

"Tunggu, Yu, gue belum ngomong. Semenit saja." Alif menahan Yuda meraih ganggang pintu. "Ini, gue tadi dapat line dari Arifah, dia kasih kabar tentang Raisa. Dia bakal move on, katanya, tapi liat apa yang Arifah kirim sama gue."

Alif menggeser layar, menyerahkan ponselnya pada Yuda.

"Lo kenal cowok itu, kan? Iya, itu si Putra, cowok brengsek sekolah kita. Mereka lagi jongging, itu cara Raisa move on dari lo, dia membuka diri dengan orang asing. Mereka sudah berkenalan dan next time, mungkin ...."

Rasa Untuk RaisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang