Painful - 1

141 16 0
                                    

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua karakter di sini imajinasi semata. Jika ada kesamaan cerita atau nama tokoh dengan karya orang lain, mungkin sebuah kesengajaan saja. Mohon dimaklumi. Terima kasih.*

***

Seharusnya sanubari ini menampung sejuta rasa bahagia karena raga ini telah bersama seorang pria tercinta dalam sebuah ikatan suci. Seharusnya hidupku kini lebih sempurna dibanding dulu saat masih menyendiri. Ku renungi lagi dan lagi, ternyata keindahan yang ku impikan sejak lama tak jua ku raih.

Dia, suamiku yang ku anggap sebagai penyempurna hidupku, sesungguhnya tak pernah menginginkanku. Sangat jelas, cintaku tak terbalas. Sikapnya selalu dingin sedingin es batu.

Hubungan rumah tanggaku dengannya begitu kaku. Hingga kini pernikahan kami telah berjalan satu tahun, selama itu ku curahkan seluruh perhatianku, kepedulianku, kasih sayangku, bahkan jika dia memintaku untuk mempertaruhkan nyawaku, aku rela. Namun sayang, semua sia-sia saja. Kebekuan hatinya sangat sukar untuk dicairkan.

"Apa tamu bulananmu sudah selesai?" Suara dingin miliknya tiba-tiba menembus gendang telingaku, membuyarkan lamunan pahitku tentangnya.

Aku terkesiap dalam dudukku. Wajahku yang sedari tadi menatap terpaku pada cermin meja rias di hadapanku kini beralih cepat ke arah sumber suara. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Aku menelan saliva susah payah menatap sosoknya yang tinggi gagah berjalan santai lalu duduk di tepi ranjang.

Sejenak keheningan menyergap. Suasana kaku selalu menyelimuti kamar kami. Aku menatapnya dalam diam.

"Kau tak mendengarku?" tanyanya yang tak kunjung mendapat sahutan dariku.

Kedua kalinya aku terkesiap. "E-ehm, sudah," jawabku seraya menunduk tersipu. Wajahku seketika terasa memanas. Aku tahu mengapa dia menanyakan itu. Sebentar lagi dia akan menagih haknya sebagai seorang suami.

***

Melayani dan memenuhi kebutuhan biologisnya, itu memang sudah menjadi kewajibanku sebagai istri. Namun bukan hubungan seperti ini yang aku inginkan. Dia membutuhkan tubuhku hanya untuk melampiaskan hasrat lelakinya.

Aku selalu bermimpi jika suatu saat nanti, hubungan intim yang selama ini kami lakukan bisa disebut dengan 'bercinta'. Bukan hanya seks semata. Hubungan suami istri yang membahagiakan bukan justru menyakitkan seperti sekarang.

"Ah... Akh!" desahku tanpa henti merasakan miliknya terus menghujam tubuhku begitu dalam dan kuat. Semakin lama gerakannya di atas tubuhku semakin cepat dan menggila membuat tubuhku menggelinjang hebat.

Saat kami berhubungan intim, dia tak pernah sudi menatapku. Seolah wajahku dipenuhi dengan kotoran. Dia selalu mengalihkan pandangan entah ke mana asalkan tidak ke arah wajahku.

Menciumku dia pun tak pernah. Sungguh. Dia hanya mau mencumbu tubuhku lalu cepat-cepat menuntaskan hasratnya. Menyatukan pusat tubuh bawah kami dengan terburu-buru.

Menerima kenyataan itu lagi-lagi hatiku seakan teriris. Menurutku dia seperti tak memiliki hati. Meskipun begitu aku tak pernah sedikitpun membencinya. Justru aku membenci diriku sendiri karena hatiku sudah dibutakan. Aku sangat mencintainya terlalu dalam sampai ke dasar hingga tak memungkinkan untuk kembali naik ke permukaan.

"K-kak... Ah... Kak Ras... cal."

Bukan hanya di setiap desahanku, namun di setiap hembusan napasku, aku tak pernah lalai untuk menyebut namanya. Seolah nama yang dimilikinya adalah sebuah syair terindah bagiku.

"Kau... masih melakukan apa yang aku... perintahkan bukan?" tanya Kak Rascal di sela napasnya yang tersengal.

Aku terdiam sejenak. "I-ya, Kak, ah..." jawabku yang tengah susah payah menahan gelombang kenikmatan bercampur perih yang menerjang tubuhku habis-habisan.

"Ja-ngan pernah... melepasnya!" ucap Kak Rascal memberi peringatan keras. "Pasang lagi, ganti yang baru jika yang lama batas pemakaiannya sudah habis," imbuhnya tegas serta lugas.

.
---oOo---
.

Fera terpaksa berbohong. Awalnya ia menuruti perintah Rascal namun sebulan yang lalu sebenarnya ia sudah melepas alat kontrasepsi di tubuhnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Rascal.

Meskipun Rascal tetap bersikeras memintanya untuk tidak hamil, mulai sekarang ia takkan menurutinya lagi. Sudah lama sejak awal pernikahan ia sangat ingin memiliki anak, dan kini ia harus bisa mewujudkan impian mulianya itu tanpa perlu menundanya lagi.

Baru berjalan sebulan, ternyata kehamilan yang Fera nantikan cepat datang. Tak menyangka, mungkin dirinya memiliki riwayat dari keluarga yang subur. Senyum sumringah kini terpancar jelas dari sinar wajahnya kala menatap test pack yang baru saja ia gunakan tadi.

Dua garis merah, menandakan jika Fera positif mengandung. Buah hati yang akan tumbuh dari benih suaminya sendiri.

Set!

"Apa ini?"

Fera tersentak kaget saat tiba-tiba Rascal datang dan merebut test pack dalam genggamannya. Wajah sumringahnya kini berubah tegang. Raut amarah pada wajah Rascal membuatnya menunduk takut.

"Bagaimana kau bisa hamil, hm? Apa kau tak melakukan apa yang aku perintahkan?" ucap Rascal menahan segunung emosi yang siap meledak kapan saja.

Rascal menghela napas dan termenung sejenak. "Gugurkan!" perintahnya tanpa basa-basi lagi.

Fera mengangkat kepalanya cepat lalu menatap Rascal seraya membelalakkan kedua matanya. "Tidak, Kak..." bantahnya merasa keberatan. Kepalanya menggeleng tak rela.

"Kau berani membantahku?" ucap Rascal datar namun tersirat sejuta kemurkaan.

Fera menyatukan kedua tangannya membentuk isyarat permohonan. "Ku mohon biarkan aku hamil, Kak. Sudah lama aku ingin memiliki anak. Ku mohon jangan menyuruhku menggugurkan kandunganku ini. Ku mohon..." pinta Fera sendu.

Rascal ingin protes namun ia pikir percuma. Semua sudah terlanjur. Maka terpaksa ia berkata apa yang kini tengah terlintas di otaknya tanpa berpikir panjang.

"Baik. Sekarang terserahmu. Tapi, aku tak akan ikut campur. Kandunganmu pasti akan sangat menggangguku, jadi jangan salahkan aku jika aku mencari kepuasan dengan wanita lain di luaran sana."

Deg! Fera tertegun. Hatinya berteriak kencang merasa tak rela, mulutnya ingin melayangkan protes namun ditahannya kuat-kuat karena ia tahu itu akan sia-sia saja. Akhirnya ia hanya pasrah menerima.

***

Tak terhitung berapa banyak wanita yang sudah Rascal sewa untuk memuaskan hasrat lelakinya di atas ranjang. Teman kencannya setiap hari berganti-ganti. Entah itu di hotel, klub malam, karaoke, bahkan ia sempat membawa wanita 'panggilan'-nya ke rumah tanpa memperdulikan perasaan istrinya sama sekali.

Namun setelah ia melewatkan banyak hal bersama wanita-wanita yang di setiap harinya berbeda, ia merasa bahwa hanya istrinya yang mampu memberinya kepuasan sejati. Mereka yang pernah ia 'cicipi' semua mengecewakan. Maka timbul-lah sebuah kedongkolan yang kini merayapi hati kecilnya.

"Akh! Arrrgh!"

"Ah... Kenapa, Rascal sayang?" tanya seorang wanita seksi yang kini tengah Rascal kencani. Ia merasa heran karena tiba-tiba 'penyewa jasa'-nya berhenti sebelum puncak kenikmatan mereka terpenuhi.

Tanpa aba-aba Rascal menarik keluar miliknya membuat wanita dalam kungkungannya mendesah tak rela. "Ck! Sangat membosankan," gerutu Rascal seraya beranjak dari ranjang lalu memakai kembali pakaiannya yang berserak. Setelahnya ia melempar beberapa lembar uang untuk tarif wanita 'panggilan' itu di atas ranjang.

***
To Be Continued.

PAINFULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang