Beberapa menit berkutat dengan dapur akhirnya bubur yang ku buat telah siap saji. Aku akan segera mengantarnya ke kamar Kak Rascal. Setelah itu aku akan mencoba membangunkan Kak Rascal agar ia bisa memakan buburnya selagi masih hangat.
Namun setibanya aku kembali ke kamar, niatku yang kedua tak terlaksana karena ternyata Kak Rascal sudah bangun dan kini ia tengah menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Pelan tapi pasti aku berjalan mendekat. Cukup sulit bagiku membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih serta obat dengan keadaanku yang sedang hamil seperti sekarang.
Aku tersenyum lembut. "Kakak sudah bangun?" tanyaku seraya meletakkan nampan yang ku bawa di atas nakas samping ranjang.
"Aku baru saja membuatkan bubur untuk Kakak. Ini masih hangat. Ayo, makanlah, Kak." Aku lalu menyodorkan bubur tadi pada Kak Rascal.
Kak Rascal termenung menatapku dan semangkuk bubur dalam genggamanku. Ragu-ragu ia pun menerimanya. "Terima kasih," jawabnya pelan.
"Setelah makan jangan lupa obat dan vitaminnya diminum, Kak. Aku sudah menyiapkan semuanya di atas nampan. Aku akan kembali lagi nanti. Selamat makan, Kak," ucapku sebelum aku pamit keluar.
Ah, perutku sudah lapar sekali. Bagaimana tidak? Aku belum sempat sarapan sejak memasak dan mengurus Kak Rascal tadi. Seolah baru tersadar hari ini aku terlambat sarapan pagi.
***
Selesai sarapan aku kembali menengok Kak Rascal di kamarnya. Aku akan membereskan peralatan makan bekas sarapannya. Sepertinya hari ini aku sudah cukup banyak keluar masuk ke kamar Kak Rascal. Meskipun repot aku melakukannya dengan sepenuh hati. Semua tentu karena aku sangat peduli padanya.
Aku menghela napas ringan mendapati Kak Rascal kembali terlelap. Mungkin efek dari obat yang ia minum. Cukup lama aku menatap wajah damainya membuatku seolah tak ingin berlalu. Aku merasa terbawa suasana.
Pelan-pelan aku mendudukkan tubuhku di samping Kak Rascal. Tanpa sadar sebelah tanganku tergerak menggapai wajahnya yang putih pucat. Mengelusnya penuh kelembutan. Aku rasa ia takkan terbangun hanya karena sentuhan kecilku ini. Ia terlihat sangat pulas.
"Kak Rascal, aku sangat menyayangimu..." gumamku lirih. "Meskipun Kakak sudah banyak menorehkan luka di hatiku, aku tidak bisa membencimu sedikitpun, Kak." Aku lalu tersenyum miris.
"Aku memang sedih karena hal itu. Tapi... aku lebih sedih jika melihat Kakak sakit seperti ini," lanjutku pilu. Kini kedua mataku terasa memanas hingga berkaca-kaca. Setetes air bening pun terbit di salah satu sudut mataku.
Hatiku bergejolak. Dadakku sangat sesak membendung segala rasa sakit dan luka yang ku terima dari Kak Rascal selama ini. Aku sempat berpikir ingin mengakhiri semuanya tapi aku memikirkan bayi dalam kandunganku. Tidak mungkin aku bertindak gegabah.
Aku tidak boleh mementingkan egoku saja. Bagaimanapun caranya aku harus mampu melewati ini semua. Sedikit lagi, aku harus bisa bertahan demi buah hatiku.
"Cepat sembuh, Kak."
.
---oOo---
.Selepas kepergian Fera dari kamar, Rascal membuka matanya perlahan. Fera tak menyadari bahwa sebenarnya Rascal belum benar-benar tidur dan bahkan mendengar semua keluh kesah yang baru saja Fera curahkan tadi.
Rascal termenung dalam hening. Cukup sering ia mencuri dengar Fera berbicara sendiri atau entah padanya saat ia tidur melontarkan segala unek-unek tentangnya. Selama ini ia bersikap tak acuh. Tak peduli sama sekali.
Namun sepertinya tidak untuk kali ini, ia juga tak mengerti mengapa sekarang hatinya seolah merasa terenyuh. Apa selama ini ia sudah sangat keterlaluan dan melewati batas? Apa mungkin hatinya yang sangat beku kini mulai luluh?
***
"Iya, tenang saja. Dia pasti akan memberi kabar jika sudah siap untuk kembali bekerja."
Pip
Fera baru saja mengobrol singkat dengan salah satu karyawan di kantor Rascal melalui sambungan telepon rumah. Terhitung tiga hari ini Rascal absen. Orang kantor merasa khawatir makanya menanyakan hal itu pada istrinya karena Rascal termasuk orang yang tertutup.
Sejenak Fera termenung namun tak lama ia menepuk keningnya pelan. "Ah, aku hampir lupa," gumamnya sembari bergegas melanjutkan kegiatannya sebelum ia menerima panggilan telepon tadi.
Sebenarnya sarapan pagi sudah siap, tinggal mengantarnya saja ke kamar Rascal. Seperti dua hari kemarin, Fera sangat telaten dan sabar mengurus Rascal tanpa memperdulikan sikap dingin yang selalu ia terima dari suaminya itu.
Bahkan meskipun kini kondisi tubuh Fera tak sekuat saat belum hamil, ia seolah tak peduli. Fera tetap bersikukuh merawat Rascal dengan segenap jiwa dan raga. Sangat jelas bahwa Fera memang menyayangi dan mencintai suaminya dengan tulus.
***
Biasanya Fera akan mendapati Rascal masih terlelap, namun sekarang Fera tak melihat keberadaan Rascal di atas ranjang. Pelan-pelan Fera meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas. Kepalanya lalu menoleh ke arah pintu kamar mandi. Tertutup. Mungkin suaminya sedang di dalam sana.
Cklek
Benar bukan, dugaan Fera? Rascal baru saja keluar dari kamar mandi. Fera yang hendak melangkahkan kakinya untuk keluar kamar seketika mengurungkan niatnya. Sejenak Fera dan Rascal saling bertatapan dalam diam.
Perlahan Fera menurunkan pandangannya hingga jatuh ke lantai lalu berkata, "Aku sudah membawakan sarapan dan obat untukmu, Kak. Seperti biasa, aku menaruhnya di atas nakas."
Fera memberi sedikit jeda pada bicaranya. "Selamat makan, Kak. Aku keluar dulu," lanjut Fera meminta diri. Fera berjalan pelan dengan langkah tergopoh. Sesekali ia meringis memegangi perutnya yang buncit.
Grep
Tinggal selangkah lagi Fera menggapai pintu di depannya, namun tiba-tiba sepasang lengan menahannya. Tentu saja Fera terkejut setengah mati. Rascal merengkuh lehernya dari belakang! Fera pun membulatkan kedua matanya seolah tak percaya.
"Tetaplah di sini," bisik Rascal tepat di telinga Fera yang kini hanya terpaku tanpa melakukan penolakan.
Selang beberapa detik Rascal membalikkan tubuh Fera mengharuskan tubuh mereka berhadapan. Sejenak keduanya kembali bertatapan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi Rascal mengangkat tubuh Fera. Fera terjengit dan refleks mengalungkan kedua tangannya di leher Rascal yang jenjang.
Perlahan Rascal menurunkan tubuh berisi Fera di atas ranjang lalu menyandarkannya di kepala ranjang. Pergerakannya sangat lembut dan hati-hati seolah takut melukai istri dan bayinya yang masih dalam kandungan.
Kedua tangan Rascal kini beralih membingkai wajah Fera dan menatap paras lembut Fera lekat-lekat. Fera balas menatap Rascal dengan tatapan sayu. Rascal lalu mengelus lembut pipi Fera dengan jemarinya dan perlahan memangkas jarak wajah mereka. Chup!
***
To Be Continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL
RomancePART 3 IS UP! | Semenjak menikah perasaan Fera pada Rascal, suaminya sendiri, tak pernah terbalas. Fera berusaha untuk tetap setia meskipun harus terjebak dalam kubangan luka yang teramat perih. Mampukah Fera bertahan dan dapat meraih kebahagiaannya...