Painful - 2

76 14 1
                                    

Tak terasa usia kandunganku sudah menginjak bulan ke tujuh. Masa-masa sulit telah banyak ku lewati. Namun aku berusaha untuk selalu tegar demi sang buah hati yang ku kandung. Aku tak ingin mengganggu pertumbuhannya dalam rahimku.

Semenjak mengetahui kehamilanku, level kebencian Kak Rascal padaku seolah melesat hingga ke puncak tertinggi. Dia tak main-main dengan ucapannya waktu itu. Setiap hari dia selalu pulang larut, mencari kesenangan di luar usai bekerja. Bahkan dia sempat membawa beberapa wanita ke rumah. Saat itu juga aku pun memutuskan pindah ke kamar lain karena tak tahan dengan segala sikapnya yang sangat keterlaluan.

Hatiku remuk redam menyaksikan suamiku sendiri bercinta dengan wanita lain di depan mataku. Duniaku seolah berhenti dan hancur detik itu juga. Sungguh, ini adalah luka terdalam yang pernah ku alami. Perih. Begitu perih.

"Makanmu begitu lahap."

Seketika aku menghentikan acara makan malamku lalu menatap Kak Rascal dengan raut heran. Aku sungguh tak menyadari bahwa sedari tadi Kak Rascal juga berada di dapur dan memperhatikanku. Tidak biasanya, malam ini dia pulang lebih cepat.

Aku termenung seketika. "Eum... Kakak sudah makan?" tanyaku tanpa menanggapi ucapannya. Aku sedikit malu karena dia memergokiku yang sedang makan dengan sangat lahap seperti tidak makan seharian.

Kak Rascal beringsut ke meja makan. Ikut bergabung denganku, mengambil duduk di hadapanku. "Aku tidak lapar. Kau lanjutkan makanmu saja," ucapnya lembut.

Aku semakin terheran-heran. Hari ini tidak ada angin, tidak ada hujan, atau tidak ada badai, 'kan? Mengapa sikap Kak Rascal malam ini begitu berbeda? Aku seolah merasakan kelembutan dari ucapannya tadi bahkan tatapannya padaku saat ini.

Wajahku memanas seketika. Cepat-cepat aku menunduk merasa tersipu. "Y-ya sudah, a-ku lanjut makan, Kak," sahutku kaku.

Agak tergesa aku menyelesaikan makanku. Kak Rascal terus memperhatikanku membuatku risih. Aku juga bingung sebenarnya apa yang sedang Kak Rascal lakukan. Seperti tidak ada kerjaan saja.

***

"Bagaimana bisa makanmu selahap itu?" Kak Rascal kembali melayangkan tanya sesaat setelah aku menghabiskan makanku. Sangat jelas dia menatapku dengan raut heran, seolah tak percaya.

Aku menatapnya ragu. "Aku juga tidak tahu, Kak. Sepertinya... sejak aku hamil, aku jadi merasa cepat lapar dan porsi makanku agak lebih banyak dari biasanya. Mungkin karena bayi dalam kandunganku juga ikut makan dari apa yang aku makan," jawabku sekenanya. Aku pun menyentuh lembut perutku yang buncit. Tanpa sadar aku tersenyum menatap perutku sendiri. Membayangkan bagaimana bayiku tumbuh di dalam sana.

Senyumku perlahan memudar saat kembali menatap Kak Rascal yang hanya terdiam mendengarkan ucapanku tadi. "Ehm, maaf, aku sudah selesai, Kak." Aku lalu beranjak dengan membawa peralatan makan bekas makanku tadi untuk ku cuci di wastafel dapur.

Suasana hening. Aku pikir Kak Rascal sudah pergi ke kamarnya namun tanpa ku sadari dia mendekat dan kini berdiri tepat di sampingku. Selesai dengan kegiatanku, mau tidak mau aku menoleh hingga berhadapan dengannya. Sekali lagi aku menatapnya ragu-ragu.

Dia masih terdiam dan terus memperhatikanku. Tatapan mata tajamnya seolah tengah menelanjangiku saat ini. Perlahan pandangannya turun agak ke bawah tepat ke arah perutku. Masih tanpa mengatakan apapun.

Pluk

Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba sebelah tangannya tergerak menyentuh kepalaku. Mataku terpana menatap wajah tampannya dengan level keheranan yang semakin meningkat berkali-kali lipat.

"Aku ke kamar dulu. Kau beristirahatlah," ucapnya seraya mengelus kepala atasku sebelum akhirnya ia berlalu menyisakan aku seorang diri di dapur.

.
---oOo---
.

Hari-hari berikutnya Fera merasakan sedikit perubahan dengan sikap Rascal. Kebiasaan buruk suaminya selama Fera mengandung kini tak lagi ia dapati. Rascal sudah tak pernah lagi membawa pulang seorang wanita pun ke rumah.

Entah, Fera sendiri tak mengerti mengapa demikian. Namun tak dapat dipungkiri, hati Fera sedikit lega dengan sikap Rascal yang sekarang. Walaupun sikap dingin nan beku suaminya masih belum sanggup ia cairkan, setidaknya tak menambahkan luka secara terus menerus.

Malam ini hujan turun deras dari pukul delapan tadi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh namun hujan tak kunjung reda. Meskipun Fera tak tahu pasti kapan suaminya pulang, ia tetap menanti. Kini ia gelisah karena cuaca di luar sedang tak bersahabat.

Berkali-kali Fera menghubungi Rascal, tetapi jawaban dari operator yang ia terima. Tidak aktif. Mungkin saja ponsel suaminya kehabisan baterai.

Fera setia menunggu sampai akhirnya dari luar rumah terdengar suara deru mobil, ia lalu bergegas membuka pintu utama. Sebuah taksi kini berhenti tepat di halaman rumah dan tak lama Rascal keluar dari sana dalam keadaan basah kuyup. Hujan masih turun deras, Rascal setengah berlari untuk masuk rumah. Tanpa perlindungan apa-apa.

"Kak Rascal!" Fera terjengit menyambut Rascal. Ia lalu merubah air mukanya menjadi khawatir. "Bagaimana bisa kakak kehujanan begini?" tanya Fera kemudian.

Rascal menatap Fera sejenak lalu merendahkan pandangannya. "Mobilku mogok di tengah jalan. Aku terpaksa meninggalkan mobilku dan pulang naik taksi," jawab Rascal yang kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Ia memijat pelipisnya pelan karena kepalanya mendadak terasa pening. Bahkan wajahnya yang putih kini terlihat pucat.

"Apa... kakak tidak apa-apa?" Fera bertanya lagi mendapati gelagat tak baik dari suaminya. Perlahan ia mendekat dan menatap suaminya dengan raut cemas.

Tak ada jawaban. Rascal masih sibuk memegangi kepalanya dan memejamkan mata seolah menahan beban berat.

***

Usia kandungan yang sudah tua sehingga perut kian membesar membuat pergerakan Fera seolah terbatas. Beban tubuh yang ia bawa jadi terasa lebih berat. Meskipun begitu tak lantas membuatnya berhenti beraktivitas seperti biasa.

Kini Fera sudah selesai menyiapkan sarapan pagi. Sedari tadi ia menunggu suaminya di meja makan.

Seharusnya Rascal sudah keluar dari kamarnya dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Namun hingga waktu menunjukkan pukul delapan lebih, Rascal belum menampakkan diri juga. Merasa penasaran, Fera lalu memutuskan untuk menghampiri Rascal di kamarnya.

"Kak Rascal..." panggil Fera lembut. Ia terheran karena mendapati Rascal masih terbaring tenang di atas ranjang.

Tergopoh-gopoh Fera berjalan mendekat sambil memegangi perutnya yang besar. Fera berniat membangunkan Rascal namun ia seolah baru sadar kalau wajah Rascal sangat pucat. Fera lalu menempelkan telapak tangannya di atas dahi Rascal.

"Ya Tuhan! Tubuh kakak panas sekali!" seru Fera merasakan suhu tubuh Rascal meningkat. "Ini pasti karena semalam kakak kehujanan..." gumam Fera lirih.

Bergegas Fera keluar dan tak lama ia kembali membawa sebuah baskom berisi air dingin. Sehelai handuk kecil pun tersampir di salah satu bahunya.

Sambil memegangi pinggangnya, Fera mendudukkan tubuhnya di samping Rascal. Wajahnya sedikit meringis karena beban kehamilannya.

Fera mencelupkan handuk kecil tadi ke dalam air dingin, memerasnya, lalu mengompres kening Rascal. Beberapa kali ia melakukannya agar suhu tubuh suaminya menurun. Begitu penuh perhatian dan kasih sayang.

Sepertinya, sekarang Fera harus membuatkan bubur untuk Rascal. Fera sangat hafal betul jika Rascal sakit, Rascal tidak akan selera makan kecuali dengan menu bubur. Bukan kali ini saja, Fera lumayan kerap mendapati kesehatan suaminya menurun. Jadi, ia merasa sudah terbiasa dengan ini.

***

To Be Continued.

PAINFULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang