Satu

91 11 0
                                    


Audy menghela nafas dengan frustasi melihat papan nama yang seharusnya berbentuk hati malah justru jadi mirip dengan kacang kedelai. Ya, kacang kedelai yang cacat fisik. For God sake! Coba hitung, sudah hampir lima kardus yang ia gunakan untuk membuat hati-hati itu tetapi sialnya tidak pernah jadi sesuai dengan apa yang dirinya ekspektasikan. Audy heran. Apa hal ini terjadi karena otaknya yang bodoh, tangannya yang kaku, jarinya yang tidak trampil atau memang karena kardusnya saja yang terlalu grogi untuk dieksekusi.

Miris. Begitulah tatapan Audy saat memandang hati setengah kacang kedelainya untuk terakhir kalinya sebelum kemudian tangannya bergerak untuk membuang hati itu ke tempat sampah yang persis ada di sebelah meja belajar dengan amat sangat berat hati, diikuti literan linangan air mata, dan efek gerakkan slow motion ala-ala drama Turkey.

"Selamat jalan hatiku yang sudah kuciptakan dengan amat teliti dan hati-hati. Maaf jika kau pada akhirnya bernasib sama dengan hatiku yang sebelumnya.

Dicampakkan,
Dibuang,
Disia-siakan.

Tetapi itulah yang terbaik. Bukankah hati yang aku punya haruslah sebuah hati yang sempurna? Dan itu tidak ada pada dirimu. Selamat tinggal wahai hati yang tidak jadi aku miliki. Semoga..."

"Anjir Dy. Lo lagi ngapain sih?"

Audy tersentak kaget. Ia buru-buru menghapus air mata jadi-jadiannya dan menatap sinis teman laki-laki abangnya yang berdiri di ambang pintu. Langit Maheesa. Cowok yang selalu tenar di sekolahnya karena ganteng dan dia tau kalau dia tuh emang ganteng dan jatuhnya dia malah jadi songong. "Apasih lo? Ngganggu penghayatan gue aja."

"Yailah, jadi udah hati keberapa tuh yang lo buang?" Tanya Langit sambil menaik turunkan alisnya.

Audy mendengus sebal. "Au ah gelap."

"Yaampun anaknya tante Anin gini amat si, masa bikin kaya gitu aja dari tadi ngga jadi-jadi. Lo bego yang standar aja ngapa Dy?" Kata Langit dan lelaki itu sontak terkekeh saat melihat wajah Audy yang seketika berubah jadi masam. "Bercandaaa Dy... gitu aja ngambek. Tuh, disuruh makan sama bunda lo. Budek banget dipanggil-panggil dari tadi juga."

"Iyaaaaa ih nanti belum laper."

"Ya makan dikit lah, kan buat minum obat.. Jangan telat sama skip terus Dy. Katanya mau sembuh, terus kalo kaya gitu mulu kapan bisa sembuhnya?"

"Iya iya bawel. Bentar, ini belum jadi nih."

Langit menghela nafas pendek, ia menatap Audy yang jidatnya sampai berkerut-kerut dan alisnya jadi menyatu karena fokus menggunting pola hati yang ada di kardus. Duh keingetan cewek slenge'an kaya gini ternyata bisa sakit juga, gue jadi sedih. Langit kembali menghela nafasnya, dan tak ingin jadi semakin sedih, cowok itu akhirnya mengalihkan perhatian. Ia melongok tempat sampah di sebelah meja Audy dan menggeleng dengan iba.

"Ck, gua sebenernya kasian deh sama tempat sampahnya. Soalnya harus menampung hati-hati yang lo buang. Ntar kalo tempat sampahnya dijadiin pelampiasan sama para hati lo gimana coba?"

"HA-HA sorry aja ya. Hati gue mah ngga suka cari pelampiasan. Yang sukanya cari pelampiasan kan elo." Balas Audy sengit sambil melempar kardus dan guntingnya ke meja kemudian ia menjatuhkan badannya terlentang di atas kasur. Langit terkekeh.

"Emang gajelas tuh kardus! Digunting aja ribet!" Umpat Audy kesal sambil memijat-mijat keningnya. "Btw ngapain lo kesini? Bang Reihan kan lagi ke Bandung."

"Dih kalo Reihan di rumah juga males banget gua ketemu dia. Gue kan kesini mau ngapelin elo." Langit ikut-ikutan berbaring di sebelah Audy. "Masa gitu aja lo ngga peka sih?"

"Lah kalo gitu males banget gue diapelin lo!"

"Yah kok gitu Dy?"

"Iyalah. Lo kan sukanya bully gue mulu."

Langit Penuh AudyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang