Dua

60 9 2
                                    

"Dari kemaren nangis mulu emang lo ngga cape apa Dy?" Tanya Reihan Anandra yang masih mau mengakui identitasnya sebagai kakak laki-laki Audy untuk 18 tahun belakangan ini. Reihan masuk ke kamar adiknya itu dan menjatuhkan dirinya di mini sofa samping jendela besar. "Ngapain juga nangisin cowok sengak macem Langit? Buang buang persediaan air mata aja."

Audy mengangkat wajahnya yang tadinya dia tenggelamkan ke dalam bantal. Masih dengan terisak ia menjawab perkataan abangnya. "Siapa juga, yang, nangisin Langit?!"

"Lah lo tuh?"

"Nggak."

Reihan tertawa. "Nggak salah gitu? Udahan kali Dy, gue yang liat aja cape."

"Yaudahhhh gausah liat-liat bego!" Audy meraih bantalnya yang berbentuk tulang kemudian melempar bantal itu ke Reihan dan sukses mengenai wajahnya. "Lagian gue nangisin Langitnya cuma sampe tadi malem. Hari ini gue ngga nangisin Langit."

Reihan berdecak. Ia mengusap-usap dadanya sambil bergumam. "Bunda nih ngidam apasi pas hamil ni bocah? Ngidam film India kali ya, drama banget si Audy -,-"

"Ngomong apaan lo?" Audy kembali melemparkan bantal pada Reihan namun kali ini berhasil ditangkap.

Reihan menaruh dua bantal itu di atas salah satu lengan sofa, menumpuknya, dan dia pun merebahkan tubuhnya di mini sofa itu. "Nah terus hari ini lo nangisin siapa? Nangisin Pak Wisnu yang pulang kampung tadi pagi? Yaelah tenang Dy, pak Wisnu kaga ada, gua yang bakal nganterin lo kemana-mana."

"Iiihhhhh ya ngga lah, ngapain juga harus nangisin pak Wisnu."

"Lah terus?"

Bukannya menjawab pertanyaan abangnya itu, Audy malah menggelengkan kepala dan menangis lagi dengan volume yang lebih keras daripada tadi. Bocah itu juga kembali menenggelamkan wajahnya pada bantal.

Melihat kelakuan adik perempuannya yang semakin ngga jelas, Reihan hanya menaikkan satu alisnya dan menggeleng heran. Ia diam saja mendengarkan Audy meraung-raung sampai kemudian Audy mengeluarkan tangan kanannya dan menunjuk-nunjuk meja belajarnya itu. Reihan pun mengalihkan pandangannya ke arah yang Audy tunjuk.

"Apaan si Dy?"

"Gue ngga bisa bikin itu."

Reihan terpaksa bangun dan dia berjalan ke arah meja belajar adiknya. Reihan mengernyit melihat kardus, kertas berwarna merah, gunting, lem dan benda-benda lain yang berserakan di atas meja. "Emang bikin apaan?"

"Bikin.. bikin co-card buat ospek. Bentuk hati. Gue ngga bisa."

"Dan lo nangis gara-gara ini?"

Kepala Audy yang hanya terlihat bagian belakangnya itu bergerak naik turun tanda mengiyakan pertanyaan Reihan. "Ya Allah.." Reihan menepuk dahinya berulang kali sambil menarik kursi meja belajar Audy yang ada rodanya, kemudian lelaki itu duduk di sana. "Tinggal minta gue buat bikinin kan bisa. Ngapa harus pake nangis?"

Audy langsung merubah posisinya jadi duduk tegak. "Lo ngga tau si."

"Ya nggak tau lah orang lo ngga ngomong, mana gue bisa tau."

"Hiks, inituh tentang harga diri tau bang." Kata Audy sambil menggebuk-gebuk dadanya penuh semangat 45. "Masa kata bang Langit, gue begonya ngga standar, soalnya bikin kaya gini aja gue gabisa. Emang iya ya?"

"Nah ya bener tuh Langit, lo kan begonya emang kaga standar."

"Jadiii.. emang iya ya?" Reihan menatap Audy yang tiba-tiba suaranya berubah jadi lemes. "Apa karena gue bego, makannya bang Langit ngga pernah nembak gue? Dan pas gue yang nembak dia, dianya malah nolak?"

Langit Penuh AudyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang