❀ 2 ❀

1.5K 109 15
                                    

Semua barang yang akan dibawa sudah dimasukkan ke dalam beberapa koper besar. Selain itu, masih ada satu ransel yang aku gendong, dan tas selempang kecil berisi ponsel genggamku.

Mungkin, di waktu ini anak-anak lain sudah sibuk bersiap-siap hendak berangkat ke sekolah masing-masing. Tapi tidak denganku. Aku juga hendak berangkat, tapi bukan ke sekolah, melainkan ke bandara internasional yang akan membawaku pergi sangat jauh dari tempat yang kupijak sekarang.

Berkali-kali aku berpikir. Apakah aku harus seperti anak lainnya yang akan pindah? Datang ke sekolah mereka untuk mengucapkan selamat tinggal pada para sahabat?

Hanya saja, itu akan membuatku semakin sedih dan berat untuk meninggalkan tempat ini dan semua memori yang tersimpan di sini. Meninggalkan sekolahku. Meninggalkan kota kecil ini. Meninggalkan Bumi..

Akhirnya, kuputuskan untuk langsung berangkat saja. Lagi pula, jika harus mampir ke sekolah, mungkin kami bisa ketinggalan pesawat. Sambil meyakinkan hati, aku mengambil ponsel genggamku dari tas kecil, kemudian mencari kontak Bumi. Aku ingin menelponnya, tapi pasti sekarang ia sedang berada di kelas.

Aku menghela napas. Biarkan saja, lah. Toh, sebuah selamat tinggal tak ada artinya. Yang ada hanya bekas luka goresan pemberian sesuatu yang tajam; kekecewaan. Kecewa karena ditinggalkan atau meninggalkan. Sama perihnya.

Dengan berat hati, aku menarik koperku keluar dari rumah yang akan kutinggalkan. Terpaksa, air mata kembali menetesi wajahku yang tadi telah dipoles bedak sedikit. Membuat bedak tersebut jadi sedikit memudar.

Selamat tinggal semua kenangan, batinku. Selamat datang hidup yang baru.

•••

"Bumbum galau ya?" tanya Deny, teman sebangkuku. "Cerita, dong."

Kelas yang sepi membuat suara Deny terdengar begitu jelas. Guru kami di mata pelajaran kali ini tidak datang, sepertinya sakit. Deny terus mengusik renunganku dengan memanggil namaku sesukanya. Sedangkan aku kesal dipanggil begitu.

"Manggil yang bener."

Deny bergumam tak jelas. "Yaa, tapi cerita boleh, lho, Bumi. Kasih tau aja, kenapa lo dari tadi diem."

Aku hanya menaikkan bahu. "Lo ga perlu tau urusan gue."

"Halah, gaya lo," ucap Deny sambil mengibaskan tangannya. "Apa lo harus ngulang game dari level satu? Atau adek lo bikin ulah lagi? Nyembunyiin PR lo?"

Aku menggeleng. "Bukan."

"Oh, gue tau," Deny menjentikkan jari. "Pasti masalah sama pacar lo, ya kan?"

"Berisik! Langit bukan pacar gue," seruku.

Dengan wajah tanpa dosanya, Deny terkekeh. "Padahal, gue gak bilang kalau cewek yang gue maksud itu si Langit. Siapa tau si Adelyn."

"Yakali," aku mendengus. "Sejak kapan gue suka Ade?"

"Tuh, manggilnya disingkat-singat, padahal katanya Adelyn dia cuma mau dipanggil dengan singkatan sama orang yang deket sama dia."

"Berisik lo! Diem!" aku mendorong Deny dengan kekuatan setengah. Itu saja Deny hampir terjatuh dari kursinya. Jika dia bukan temanku, mungkin aku sudah meretakkan rahangnya. Lama kelamaan ia menganggu.

Sebenarnya, aku kesal karena Langit sama sekali tidak memberi kabar padaku sejak semalam. Setelah kami bertemu di sore harinya, ia tidak menjawab pesan ataupun panggilan dariku, dan sekarang dia belum ada di kelas. Jika guru kami datang, mungkin di waktu ini kami sudah diminta mengerjakan soal.

Deny sudah diam. Ia menyibukkan diri dengan komiknya yang warnanya sudah kusam. Bosan, aku mengambil ponsel genggamku. Ternyata ada pesan dari Langit.

Bumi, aku berangkat ke Eropa hari ini. I'll text you and call you everyday, I promise. Bye :)

Apa?

Berangkat hari ini juga?

Mengapa... mengapa ia tak bilang kemarin? Mengapa baru sekarang? Aku tak tahu ia akan langsung pergi, dan aku belum mengucapkan selamat tinggal..

Astaga. Bahkan Langit tak menyempatkan diri untuk datang ke rumahku atau ke sini, ke sekolah, untuk mengucapkan selamat tinggal padaku dan teman-teman lain. Ia langsung pergi dan hanya meninggalkan pesan singkat dari ponselnya.

Ia anggap aku ini apa? Apa aku hanya sekedar orang yang lewat di jalan hidupnya dan tak peduli saat ia akan meninggalkanku?

Aku tak suka ini. Aku sudah tidak kesal, tetapi aku.. marah.

Jika saat Langit bersedih akan turun hujan, apa yang akan terjadi ketika Bumi marah? Mungkinkah sebuah bencana alam? Seperti.. gempa Bumi?

Bumi dan Langit (5/5 COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang