❀ 4 ❀

927 92 25
                                    

Pernahkah kalian telah berharap pada suatu hal yang nampaknya pasti akan terjadi, tetapi ternyata, pada akhirnya, semua itu hanyalah harapan yang semu?

Kini seluruh tubuhku serasa remuk. Aku direbahkan di atas kasur yang terletak dalam ruangan serba putih. Dari baunya saja aku tahu, bahwa aku sedang berada di rumah sakit. Entah rumah sakit mana. Yang pasti, sesuatu terjadi padaku. Aku tak tahu apa.

Rasanya ada banyak hal yang hilang. Pemikiran yang dulu ada dalam otakku bagai tenggelam. Semuanya terlupakan. Aku mengerjapkan mata. Mengapa aku bisa sampai berada di sini?

Aku tak tahu apa yang kurasakan sekarang. Yang jelas aku tidak bisa bergerak. Pendengaran dan penglihatanku seperti menajam. Aku dapat mendengar dan melihat dengan begitu baik, tetapi, mengapa otakku tidak bisa mencerna apapun?

Suara gemerisik dari sebelah kiriku mengganggu. Aku menoleh ke sumber suara.

"Langit? Kau sudah bangun?" terdengar suara lirih dari seorang wanita. Siapa dia? Ia tersenyum penuh haru menatap wajahku. Aku menaikkan alis, bingung. Apa yang ia lakukan? Mengapa ada air yang keluar dari matanya?

Mengapa ia menyebut-nyebut kata 'langit'? Jelas-jelas kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang ada di rumah sakit. Langit hanya bisa dilihat di luar, tidak dari sini. Dan, memangnya, langit bisa tertidur dan terbangun? Wanita aneh.

Kemudian seorang pria paruh baya berjas putih mendekatiku dan wanita itu. Ia pastilah sang dokter. Dokter itu menatap wajahku lamat-lamat. Kemudian ia memasang wajah terkejut. Kenapa, sih? Aku terlihat aneh? Apa wajahku sekarang konyol? Apa yang salah?

"Selamat pagi, Langit," ucap si dokter. "Kamu baru saja bangun, setelah tak sadar selama dua minggu. Kau mengalami kecelakaan di pesawat yang baru akan lepas landas. Saat itu terjadi gempa bumi yang sampai saat ini tidak diketahui alasan terjadinya."

Lagi-lagi aku menaikkan alis. Aku tak siap menerima semua ini. Aku baru saja bangun setelah dua minggu tertidur? Bagaimana bisa...

Dan lagi-lagi kata 'langit' disebut. Mengapa mereka memanggilku Langit? Jelas-jelas aku manusia, bukan langit. Bagaimana, sih?

"Nak, kita adalah satu-satunya penumpang pesawat itu yang selamat," ucap wanita paruh baya yang tadi.

"Kau memanggilku 'Nak.' Tadi kau memanggilku Langit. Mengapa?" tanyaku tanpa rasa bersalah.

Mata wanita tadi semakin berkaca-kaca. Ia mengalihkan pandangan pada si dokter. Pandangan yang menyakitkan, penuh tanya, dan membutuhkan kepastian. Si dokter mengangguk, dan tangis wanita itu pecah.

Astaga. Apa yang telah kulakukan? Apa ada yang salah?

Aku menggelengkan kepalaku. "Ada apa? Jawab aku."

"Langit," ucap sang dokter.

"Ada apa dengan langit? Langit di atas baik-baik saja!"

"Dengarkan saya," tuturnya lembut. "Langit adalah namamu. Wanita ini adalah ibumu, Nak. Apakah kau tak ingat?"

Aku terkesiap.

Itu namaku? Wanita itu adalah ibuku? Tidak mungkin!

Bagaimana aku bisa... lupa?

Semua pertanyaan kembali ke pikiranku. Semua ingatan berputar-putar, ingin kembali namun tak bisa.

Aku telah melupakan semuanya, di luar kemauanku.

"Aku tidak ingat.." ucapku lirih.

Si dokter mendesah putus asa. Menatap nanar. Menepuk pundak wanita tadi, perlahan.

"Maafkan saya, Bu," bisiknya. "Langit lupa ingatan."

• • •

Dengan tatapan kosong, Langit berjalan di antara kerumunan orang berpakaian serba hitam. Ibunya bilang, mereka harus ke sana, melayat. Apa itu melayat? pikir Langit. Ia sungguh-sungguh lupa.

"Kita harus ke sana, Nak, karena yang meninggal adalah teman baikmu," ujar ibu Langit. Air mata menetes lagi di pipinya. "Apakah kau ingat?"

"Temanku.." Langit bergumam, kemudian menggeleng pelan. Ibunya mendesah.

Mereka berjalan perlahan di antara kerumunan orang, menuju tempat orang tua teman Langit yang baru saja meninggal dunia itu.

Langit melihat sekeliling. Pandangannya bertemu dengan mata seorang wanita. Pandangan mata itu, Langit ingat, ia pernah melihatnya. Sangat familiar..

"Langit.." ucap si wanita. Ia memeluk Langit dengan erat, kemudian menangis. "Maafin Tante ya, Nak.. Tante nggak bisa menjaga Bumi dengan baik.. Tante minta maaf.."

Tubuh Langit menegang mendengar kata itu. Bumi?

Langit menoleh ke belakang ibu dari temannya itu. Ia menemukan sebuah foto. Foto seorang anak laki-laki.

Ingatannya kembali. Segala memori dengan anak itu, hal-hal yang mereka lalui bersama, perasaan yang tumbuh di antara mereka...

Bumi.

Bumi telah tiada.

Bagai disambar petir, Langit terjatuh, dan menangis sejadi-jadinya.

Bumi dan Langit (5/5 COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang