i see

13 1 0
                                    

Entah ada berapa juta bunga di sini, semua terlihat sama. Memamerkan keindahan sihirnya. Indah, beraroma wangi, berwarna-warni. Seekor kupu-kupu menghisap sari madu dengan khusyuk, begitu juga dia, khusyuk terdiam. Ya! Kucing hitam gembul yang bersejajar denganku saja heran melihat kediaman yang tidak kunjung terpecah.

Kau mungkin akan seperti si kucing itu. Heran, kenapa aku mau berjam-jam bersanding dengannya dengan kemalut canggung yang membosankan. Tak mudah bagiku untuk memancing sebuah dialog dengannya. Berbicara padanya seperti acara kuis di TV. Hanya, iya, tidak, mengganguk, menggeleng, menelan ludah, melirik, diam, tiba-tiba mengeluarkan pisau tajam dari balik tubuhnya, dan membuka matanya lebar-lebar. Aish! Dia tidak semenakutan itu.

Dia hanya orang yang tidak pandai berucap, tapi pandai berisyarat. Tidak pandai melihat, tapi pandai menatap lekat dalam diam. Tidak pandai memberi cinta, tapi pandai menciptakan cinta. Salah satu korban kepandaiannya itu adalah aku. Tapi, aku tak pandai memahaminya. Butuh berkali-kali dia berucap, baru aku mengerti, walau tidak sepenuhnya. Dia tetap sabar memberi penjelasan, minimal sampai aku berkata, “oooo, yaa. Aku sedikit paham”.

Pernah, suatu waktu aku mendapatinya tersenyum. Dengan lesung pipitnya itu, dia menunjukan binar yang tak bisa ku jamah. Bagaimana tidak? Bagiku, senyumnya adalah fenomena yang hanya akan terjadi setiap satu tahun sekali dalam tahun kabisat. Penyebab seyum itu adalah, ibunya. Dia selalu merindukannya yang sedang berada di luar negeri. Aku melihat dia menutup skype, setelah sekilas ku temui wajah wanita parubaya. Aku tidak tau seperti apa Ibunya itu, ku rasa dia cantik, baik, dan sangat menyayanginya. Aku pernah bertanya tentang itu. Dia menjawab “kau ingin tau Ibuku seperti apa? Coba rambutmu di roll, pakailah baju daster. Kemudian, coba kamu bercermin, seperti itulah ibuku” dia tersenyum sekilas, “dan jangan lupa tersenyum” lanjutnya, sebuah akhiran yang membuatku terdiam. Kau tau apa yang aku lakukan? Aku diam, memandang langit. mencermati tiap kata yang dia ucapkan. Aku tak paham, dan dia mengulanginya untuk beberapa kali. Hingga aku mengerti dan kita tertawa puas.

Kadang aku suka untuk berfikir lebih lambat, aku suka menerjemahkan kata-kata seseorang di dalam rentetan awan. Memahaminya satu persatu dengan dia, sabar memberikan tiap detail apa yang harus ku mengerti dari sebuah kata. Tapi, aku sedih ketika ucapan orang tak kunjung ku mengerti. Bisa jadi ada bayak makian ku dapat. Namun, si diam dingin ini berkata, “aku yakin, dia memang bisa langsung mengerti apa yang orang lain sampaikan, namun dia tak benar-benar memahami apa maksud sebenarnya”.

Baginya, menunggu kata ‘aku menerti’ itu seperti anak ayam yang masih didalam cangkak telur, dia memancingnya perlahan, walau kadang otak kecilku tak pandai menangkap bicaranya. Tapi, setidaknya aku berusaha untuk keluar dari cangkang. Perlahan dengan bantuan tangan lembutnya, aku berhasil . dia amat sangat senang melihatku seyum dan tertawa polos.

Kurasa, itulah jawaban dari keherananmu dan si kucing. Ada beberapa alasan yang mungkin tak akan mudah di pahami. Hatiku selalu bisa menerima kediaman dan kecanggungan, karna suatu saat, entah lama atau tiba-tiba, dia dapat menciptakan hal baru yang membuatku tertegum.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sececah CeritaWhere stories live. Discover now