Pendukung Terbaik

5 0 0
                                    

Hidup itu sangat indah apalagi dikelilingi keluarga, teman bahkan seorang pacar. Tapi, sepertinya kehidupanku beda. Aku hanya bisa melihat sebuah kebahagiaan yang diterima seseorang dengan perasaan senang, sedih, dan rasa sakit hati. Orang-orang yang selalu dekat denganmu perlahan menjauh seperti menemukan kebahagiaan yang mereka cari selama ini dan aku hanya memandu mereka untuk mencapai itu. Bahkan sampai mereka lupa apa yang aku lakukan di masa lalu.

Aku menatap keluar jendela dengan perasaan seperti ini padahal udara sangat hangat untuk keluar tapi hatiku ingin tetap duduk bermenung di dalam ruangan kosong tanpa seorangpun menemani.

Angin musim kemarau masuk ke dalam kamar memberikan kehangatan sekaligus kesejukan tapi masih ada yang terasa hilang dalam diriku. Aku tahu semuanya pasti sangat bahagia dan aku juga harus bahagia seperti mereka. Tapi, sanggupkah aku menjalani lagi hari-hari esok dengan perasaan ini. Menyembunyikan ke publik dan terus memasang topeng agar mereka anggap diriku ini baik-baik saja.

"Tio... !" Aku menatap ke bawah dan menemukan sosok dua anak laki-laki sebaya dengan sepeda motor mereka. "Yuk keluar !" Kata Aris
"Kata dia, dia mau traktir kita karena dah jadian" Sambung Deo
"Tapi jangan yang mahal !"
"Aku tahu itu, kau pasti banyak kehilangan uang setelah ini"
"Maaf, sepertinya pergi sajalah kalian dulu. Aku perlu menyelasaikan PR"
"Alah, ngga usah kasih alasan PR. Turun cepat !"
"Tapi besok sama pak gundul lho"
"Alamak ! Kenapa kau tak cerita ? Kami cabut dulu. Lain kali ya Teo"
"Ya..."

Kebohonganku berhasil lagi. Gampang sekali membohongi orang tapi beda dengan yang didalam hatiku. Aku hanya kehilangan mereka sebentar bukan berarti pergi selamanya. Tapi jika itu benar.

"Tio, turun sana ! Om Indra dah nungguin !"
"Kak Ines, ketuk kek apa kek dilabrak langsung"
"Lah, daritadi aku panggil sebelum kawan-kawanmu itu. Cepat turun !"

"Iya, iya..."

Aku segera turun dari dan menyalami Om Indra. Orangnya sangat cerdas, menjadi mahasiswa teladan dulunya, ikut organisasi besar, dan yang paling pentingnya dia itu sangat keren kalau aku lihat. Tampilannya yang sangat menawan bahkan saat memakai pakaian biasa. Om Indra adalah saudara laki-laki mama paling muda.

"Tio balik ke atas dulu om"
"Ah iya, semangat belajarnya ya Tio" Aku mengangguk kemudian kembali ke dalam kamar. Aku merebahkan tubuhku dan menatap langit-langit kamar. Aku menghelah nafas panjang dan mencoba untuk tidur.

Rasanya jiwaku ditusuk berkali-kali seperti orang putus cinta. Segitu inginkah aku seorang sahabat yang bisa ngerti rasa sakit ini. Bahkan sempat dekat dengan Okto tapi dia sudah jadian dengan si Keke dan seperti ingin meninggalkanku.

Dingin sekali, aku ingin sesuatu yang meningkatkan moodku dengan cepat. Mungkin ini pulih tiga hari kalau tidak di naikkan. Kenapa rasanya hidupku membosan sekali. Aku menatap ponselku. Dulu banyak sms dari teman-teman sekarang mereka sudah menemukan yang lebih layak.

"Jadi kau ingin seorang sahabat ?" Tanya seseorang. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena hanya melihat siluetnya. "Aku akan memberikannya dengan satu syarat"
"A...apa itu ? Apa kau akan mengambil jiwaku ?"
"Tentu saja tidak ! Syaratnya sederhana. Kau harus bangun dari tidurmu"
"Eh...?"

Aku terbangun dari tidurku. Semuanya buram kemudian aku melihat Okto, Deo dan Aris didalam kamar.
"Selamat ulang tahun, Tio !" Teriak orang-orang dikamar saat aku mencoba untuk duduk.
"Eh ? Tapi... hari ini bukan ulang tahunku"
"Masa' padahal udah tanggal 18 September lho" Kata Okto
"Eh ? Sejak kapan..." Aku melihat tanggal di ponselku. "Tanggal..."
"Aku tau kau merasakan kesepian karena aku berpacaran dengan Keke dan kau membantuku untuk mendapatkannya. Kau selalu tersenyum tapi melihat wajahmu tadi kata Aris kami jadi ingat ini ulang tahunmu" Sambung Okto.
"Tapi... sudahlah. Kalian tidak perlu seperti ini"
"Karena itu kami ingin memberikan ini"
"Apa ?" Aris menepuk pundak kananku. "Kau itu sahabat kami yang paling berharga. Kami tidak akan meninggalkanmu. Jadi jangan bersedih"

Aku ingin melimpahkan emosiku kepada mereka tapi hanya dengan tersenyum rasanya bebanku lepas dari tubuh ini.
"Ngga usah... Nangis Oi !" Tiba-tiba Deo membenturkan kepalanya ke kepalaku. "Kau beneran cengeng ya ? Padahal terlihat kuat gitu"
"Uh... Makasih udah ingat tanggal jadiku dan ngerti perasaanku sekarang" Aku berdiri kemudian memukul pundak Aris. "Tapi bukan aku yang traktir. Orang yang baru jadian seharusnya" Tawa kami pecah. Aku sungguh senang bisa menemukan orang-orang seperti mereka. Walaupun kesenangan sesaat tapi aku ingin selalu mengingatnya.

Corat Coret PensilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang