2. Mijn lieve

6 0 0
                                    

Untuk setiap orang yang ingin bicara denganku, mereka harus menepuk badanku dan berbicara perlahan dengan menatap wajahku supaya aku bisa membaca gerak bibir mereka. Saat aku di dalam kamar mandi, lampu dikedipkan sebagai tanda kalau ada yang memanggilku dari luar. Kalau aku sedang bosan, biasanya aku menulis bebas atau memilih menonton TV. Dari umur 4 tahun, aku selalu menonton acara atau film yang ada subtitle-nya saja. Tentu saja karena jika aku menonton acara lokal yang biasanya gak ada subtitle-nya, aku gak akan paham karena gak ngerti mereka ngomong apa. Aku ingin jadi penerjemah untuk membantu bila ada orang yang bernasib sama sepertiku. Menerjemahkan percakapan film atau setidaknya dokumen-dokumen bahasa asing yang nantinya akan menumpuk di mejaku pasti menyenangkan. Ahaha... lihat, tanganku selalu jadi merinding saat memikirkan ini.

Di dalam bathupku, aku melayangkan mimpi-mimpiku. Sambil bermain dengan banyak busa aku berpikir mau jadi seperti apa aku nanti ? atau bagaimana kalau nanti tidak sesuai keinginanku ? Bathupku ini adalah tempatku menerawang. Aku yakin teman perempuanku yang lain juga suka mengandai-andai khayalan mereka masing-masing di bathup. Aku memerhatikan gelembung kecil di dekat lututku. Di kelilingi oleh gelembung-gelembung besar yang lain. Oh, lihatlah gelembung kecil ini bertemu gelembung kecil yang lain. Sekarang menjadi lebih besar dari sebelumnya.Bertemu dengan gelembung seukuran yang lain sampai sekarang menjadi gelembung besar. Dan sekarang ia pecah.

Di tengah asiknya aku mengamati gelembung, lampu kamar mandi berkedip. Aku beranjak keluar bathup dan membuka pintu sedikit untuk melihat keluar. Aku melihat ibu di sana. Dia berbicara padaku. "kala—u sudah, langsung makan.ibu pergi dulu ke tetanga,ada acara.baru pulang nanti sore," setidaknya itu yang berhasil kutangkap dari gerakan bibirnya. "Iy—" aku belum selesai menjawab, ibu sudah membuka mulutnya lagi. "Jangan kelamaan, ntar kulitmu kiput" Ibu bicara terlalu cepat di akhir, jadi ada yang nggak terbaca ,tapi aku masih paham sih maksudnya. Intinya, jangan kelamaan mandi. "Iya iya, tau kok" jawabku singkat. Ibu balik badan kemudian keluar rumah.

******

"Aduh, udah jam segini.Semoga acaranya belum mulai," pikirku saat melirik jam tanganku. Langkahku kupercepat.

"Bu Zahra !" panggil seseorang dibelakangku.

"Eh, pagi Bu Deeva !" sapaku setelah menoleh. "Santai banget bu ? nggak ikut kumpul ?" tanyaku setelah memerhatikan cara berjalan Bu Deeva.

"Ya ini saya lagi buru-buru, Bu Zahra" kata Bu Deeva dengan tangan yang dikibaskan.

Kalau diperhatikan memang ternyata langkah Bu Deeva ini panjang-panjang. Sesekali badannya oleng saat berjalan. Lihat Bu Deeva jalannya oleng, rasanya kayak lihat semangkok penuh isi kuah soto. Seakan kalau goyang dikit bakal tumpah.

"Kok gitu bu jalannya ?" tanyaku keheranan.

"Kalau lagi buru-buru mending jalannya kayak gini sambil nahan nafas selama mungkin berkali-kali, Bu. Nanti jalannya lebih cepet dan keliatan lebih santai," kata Bu Deeva.

"Emang kata siapa ?"

"Mijn lieve, Anakku sayang. Khakhakha..," Jawab santai perempuan blasteran indo-belanda itu ditutup dengan tawa khasnya.

Aku ikut berjalan disamping Bu Deeva. "Kalau mau cepet tapi santai, mending nebeng kopaja aja kali bu," pikirku agak jengkel. "Agak cepet ayo bu ! udah telat nih," ajakku.

"Ya tapi kalau buru-buru nanti saya malah gak bisa nahan nafas lama-lama.Pelan aja jeng, telat dikit kok," Bu Deeva menjawab santai.

"Jalan kayak gitu malah gak bagus lho bu. Kalau ambil langkahnya kepanjangan nanti nafasnya malah jadi dangkal dan cepet habis. Nanti jadi cepet capek bu. Ini kan masih agak jauh. Ayo ah buruan !" kataku sambil menarik lengan Bu Rohmah. "Jangan gampang percaya sama gituan deh bu," lanjutku membenarkan.

"Katanya anak saya, jalan gini bisa bikin tambah kurus lo bu," Bu Deeva melirik ke arahku.

Kami berdua berjalan dengan langkah panjang dan menahan nafas selama dan sebanyak mungkin. 6 meter kami tempuh dalam 13 menit. Berakhir dengan nafas tersengal.

Nampak disana semua ibu-ibu sudah berkumpul. Acara seperti ini sudah biasa diadakan ibu-ibu sebulan sekali. Yaitu semacam open house supaya kita semua, para ibu-ibu, bisa tetap rukun.

"Sintha apakabar bu ? pendengarannya udah baikan ? Gak mau coba dibawa ke RS di luar kota bu ?" selalu mucul pertanyaan seperti ini di tengah ramainya suasana.

Pertanyaan yang selalu diulang setiap bulannya, tapi aku masih saja belum terbiasa. Jawaban singkat dan tawa kecil selalu keluar dari mulutku untuk menjawabnya.

Kalaupun kondisimu lebih buruk dari sekarang, aku akan tetap menyayangimu. Aku akan tetap jadi ibu yang baik di depanmu. Bagiku, tidak ada alasan untuk memperlakukanmu berbeda dengan yang lain. Aku percaya kamu bisa jadi seperti apapun yang kamu mau seperti anak lainnya.

Aku baru pulang jam setengah 6 sore. Dari dekat meja makan, aku melihat kilauan-kilauan cahaya warna-warni di ruang keluarga. Seperti yang kuduga, Shinta sedang menonton film. Aku langsung saja bergabung dengannya dan duduk di sampingnya. Aku memerhatikan Shinta dari samping. Mata bulatnya berbinar dan mulutnya seperti mengecap sesuatu. Sesekali dahinya berkerut dan matanya menyipit. Dia sangat fokus menonton film sampai tidak menghiraukan aku yang di sampingnya. Melihatnya saja sudah bisa membuatku tersenyum. "Aku sayang kamu," kataku sembari bersender di pundaknya. "Besok Shinta ulang tahun ya ? Kamu mau dimasakin apa?" kataku sambil memejamkan mata. Tidak ada suara lain selain suara tembakan dari film detektif yang Shinta menonton. "Ah, sup ayam spesial kesukaanmu aja deh ya," kataku dengan mata terpejam suara bergetar. "Maafin ibu ya nak," aku menahan air mataku. Tanpa sadar aku tertidur di pundak anakku, Shinta.

Aku membuka mataku, menyadari kalau sekarang aku sendirian di sofa dan matahari sudah membumbung tinggi. Aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 8. Aku beranjak dari sofa dan berjalan ke arah kamar tidurku.

"Bu !" panggil Shinta dari ruang makan. "Aku berangkat dulu ya !" kata Shinta dengan tangan di gagang pintu.

"Iya, hati-hati ya ! jangan pulang kemalaman," jawabku diikuti senyum lebar.

"Oke !" gadis dengan baju biru muda bermotif bunga tersebut seketika menghilang di balik pintu.

"Kayaknya gak bakal pulang sendiri nih. Buatin sup ayam spesial porsi besar ah" gumamku sembari masuk ke kamar tidurku. "Mijn lieve," ntah kenapa aku tiba-tiba bergumam seperti itu.

_____

Thanks udah baca ya.. *masih nulis part selanjutnya

Gelembung KecilWhere stories live. Discover now