Part 1

130 31 7
                                    

Aku tak tau apakah ini mimpi atau kenyataan. Tapi ini terlalu indah dan mustahil jika dibilang kenyataan, dan juga terlalu nyata untuk dibilang mimpi. Aku berada di dalam sebuah ruangan. Ruangan itu besar sekali. Bukan, lebih tepatnya ini sebuah bangunan yang besar. Bangunan ini pasti mirip sebuah kastil, karena ruangan ini dipenuhi banyak tangga bertingkat-tingkat dengan ukuran yang cukup besar untuk dilalui mengisi ruangan ini. Di setiap tingkat tangga-tangga itu terdapat koridor-koridor dan lantai ruangan terbuka lainnya. Dan ukurannya tidak kalah besar. Puncak bangunan ini terasa berada di jauh di atasku, dan aku berada di dasarnya.

Tidak jelas ini dimana, tapi tempat ini tidak pernah kudatangi sebelumnya. Dan yang membuatku merasa ini mimpi adalah karena Lucy sedang berdiri tidak jauh di depanku, gadis yang memiliki ikatan tersendiri denganku, ikatan yang kuat. Kau hanya bisa paham kalau kau sudah merasakannya sendiri, setidaknya itu yang aku rasakan sekarang.

Dia sendiri, dan entah mengapa dia terlihat seperti sedang menungguku. Aku ragu untuk menghampirinya. Tapi ada perasaan lain di dalam diriku, memaksaku untuk menghampirinya. Namun ternyata dia yang berjalan duluan mendekatiku sebelum aku melakukannya duluan. Barulah aku sadar saat itu bahwa raut wajahnya terlihat sangat murung dan pucat.

Dia kelihatan sedih, sebuah kesedihan yang bahkan tak dapat kau tahan dalam hatimu hingga dia bisa terlihat jelas di raut wajahmu. Dan karena ini pula, aku kehilangan tatapan matanya yang biasanya.

"Kau kenapa?" Aku langsung bertanya spontan saking penasarannya.

"Kenapa apanya?" Dia balik bertanya. Kali ini aku tambah yakin karena suaranya sangat lemah, tak ada semangat sama sekali dari ucapannya itu.

"Wajahmu bilang kalau kau sedang terkena masalah besar"

"Menurutmu begitu?" Seperti ada kilatan cahaya di bola matanya saat dia menyerap kalimatku barusan, "Penampilan bisa menipu" ujarnya.

Aku mengamati ekspresi di wajahnya, tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan. Karena memang aku tau itu bohong. Hanya saja seperti kebanyakan orang yang berusaha menutupi kesusahan hatinya dari orang lain, dia berusaha untuk meyakinkanku kalau tidak ada hal apapun yang terjadi. Aku tidak mau memaksanya untuk mengatakan masalahnya, karena bisa saja itu yang menjadi masalah juga.

Mengatakan ke orang lain tentang masalah pribadi memang harus hati-hati. Kita harus memilih orang yang tepat untuk dapat mengungkapkan masalah kita itu. Tapi itu juga berarti, aku bukan orang yang tepat ? atau memang salah satu masalahnya itu adalah mengatakannya padaku ? Atau masih ada kemungkinan lainnya yang tidak aku ketahui ? Jadi aku terdiam saja menunggu tindakannya yang lain, karena memang jika sudah begitu tidak ada ada lagi yang dapat aku lakukan untuknya.

"Cuma itu saja?" tanyanya tiba-tiba.

"Cuma itu aja apanya?" aku balik bertanya, mengerutkan alis dan keningku untuk menunjukkan ekspresi kebingunganku dengan pertanyaannya barusan.

"Kita sudah lama sekali tidak bertemu dan berbicara dan saat kita baru saja melakukan itu kau hanya bertanya tentang ekspresi wajahku ini? Tidak ada kata hai, bagaimana kabarmu, atau beberapa obrolan hangat lainnya-" Cibirnya.

Aku tertawa pelan, kini aku tau maksudnya, "Maaf- Soalnya wajahmu menakutiku, jadinya aku tidak sempat berpikir untuk menanyakan hal itu."

Dia jadi tesenyum akan hal itu, tapi raut wajah itu tetap tidak hilang darinya. Hal itu membuatku sadar bahwa apa yang dia bilang tadi itu benar adanya. Terakhir kali aku bertemu dan berbicara dengannya adalah sebelum kejadian buruk itu, hingga akhirnya aku dan dia jadi seperti ini, hubungan kami memburuk.

"Ayo kita pergi" Tiba-tiba Lucy mengusulkan begitu saja, membuyarkan lamunanku.

"Pergi ke mana ?" tanyaku heran, sedikit terkejut dengan ajakannya yang tiba-tiba itu.

MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang