chapter 30

345 30 0
                                    

"Bagaimana kabar Papa?" tegur Lee setelah segelas susu cokelat pesanannya datang. Karena di warung kopi itu tidak menyediakan hot chocolate, jadi, Lee memilih susu cokelat. Karena sebenarnya ia tidak menyukai kopi dalam versi apapun. Sedang papa memilih untuk memesan segelas teh hangat. Papa juga bukan salah satu pecinta kopi. Dalam hal ini mereka satu selera.
Kali ini Lee yang berinisiatif memulai percakapan karena ia yang mengusulkan pertemuan itu.

Warung kopi yang terletak tak jauh dari kantor perusahaan taksi di mana papa Lee bekerja, tak begitu ramai. Di jam kerja seperti sekarang orang tak banyak yang mampir di warung kopi sekadar melepas dahaga. Hanya ada empat gelintir pengunjung di sana, terhitung Lee dan papanya. Masih ada dua meja lagi yang kosong sehingga mereka bisa berbicara dengan leluasa. Suasana warung kopi itu juga lumayan nyaman meski jauh dari kesan mewah.

"Papa baik," sahut papa sejurus kemudian. Pria itu setengah mengembangkan senyum. "kamu menjaga dirimu dengan baik kan?" Ia berganti menanyakan keadaan putranya. Saat ia menikah sekitar seminggu yang lalu, Lee tidak hadir meski ia sangat berharap jika putranya bisa datang meski hanya sebentar.

Lee mengangguk tak kentara. Rasanya canggung berhadapan dengan papanya sendiri setelah pertengkaran di antara mereka beberapa waktu yang lalu. Tapi, Lee benar-benar membutuhkan pria itu sekarang dan untuk sementara waktu ia harus mengesampingkan emosinya.

"Pa." Lee tampaknya tidak ingin terlalu lama berbasa-basi dan langsung pada pokok permasalahan. "Lee ingin pergi ke Amerika."

Sontak dahi papa berlipat mendengar ucapan putranya.

"Amerika?" ulang papa tercekat. "kenapa?" lanjutnya tak sabar.

"Lee ingin belajar di sana," tandas cowok itu mencoba bersikap serius. Selama ini ia memang tak pernah berniat untuk kuliah meski dulu papa selalu mendesaknya. Dan sekarang tiba-tiba ia memutuskan ingin studi di sana. Sebuah berita besar yang mengejutkan, tapi, cukup menyenangkan.

"Kenapa begitu mendadak?" tanya papa cepat. "apa ada masalah di perusahaan?"

Lee menggelengkan kepalanya perlahan.

"Nggak ada, Pa," sahut Lee kemudian. "ini hanya soal kemampuan. Lee merasa perlu menambah ilmu bisnis. Itu aja," jelasnya.

Papa manggut-manggut mendengar kalimat Lee. Pria itu berpikir sesaat. Kenapa tidak dari dulu Lee menuruti sarannya untuk kuliah di luar negeri? Atau ini hanya soal gengsi di depan karyawannya yang berpendidikan lebih tinggi dari Lee? Tapi, kenapa ia begitu tiba-tiba ingin pergi?

"Itu bagus." Papa tampak senang mendengar niat Lee meski hatinya masih diliputi rasa heran. Setidaknya ia bisa melihat perubahan kecil pada diri putranya terlebih beberapa waktu belakangan. Bahkan Lee merubah total penampilannya dan sekarang ia ingin serius melanjutkan pendidikannya. Perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil kan? "kapan kamu akan berangkat?" tanya papa.

"Lusa."

Lee punya sebuah alasan khusus untuk semua ini. Kenapa ia memutuskan untuk berangkat secepat ini. Bukan karena ia ingin segera menimba ilmu di negeri Paman Sam itu melainkan ada alasan lain yang enggan diungkapkannya.

"Lusa?" ulang papa dengan nada berbeda.

"Iya," sahut Lee pendek. "Lee sudah menyuruh orang untuk mempersiapkan semuanya," tandasnya.

"Oh." Papa hanya bergumam pendek. Pria itu menyesap isi gelas di hadapannya sedikit. Ia sadar jika Lee sudah dewasa dan mandiri. Ia bisa menata hidupnya dengan baik. Lee juga sudah bisa mengambil keputusan. Sebenarnya ia tidak meragukan kemampuan Lee mengelola perusahaan meski ia tidak memiliki gelar akademis apapun. Anak itu mewarisi jiwa bisnis dari dirinya. Tapi, pendidikan yang tinggi selalu diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan. "Papa berharap kamu bisa menjaga diri dengan baik di sana." Papa hanya bisa mengatakan hal itu sebagai bekal Lee sebelum pergi.

"Selama Lee di Amerika, Lee minta Papa menggantikan Lee di kantor," pinta Lee selanjutnya.

Papa tertegun mendengar permintaan putranya.

"Apa nggak ada orang lain yang bisa kamu percaya di sana? Setahu Papa banyak orang yang jujur di kantor... "

"Nggak, Pa." Lee memotong dengan cepat. "lebih baik Lee menyerahkan posisi itu pada Papa ketimbang orang lain."

Papa tidak langsung menjawab. Pria itu menghela napas sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Akhirnya ia setuju.

"Baiklah. Jika memang itu keinginanmu."

Lee tak menyambung percakapan. Cowok itu menyesap susu cokelat di depannya yang berangsur dingin. Manis. Tak seperti hot chocolate yang sedikit menyisakan rasa pahit di lidah.

"Apa Papa bahagia?" tegur Lee setelah meletakkan gelasnya di atas meja. Ia menoleh sedikit pada Papa.

Papa menghela napas panjang. Ditilik dari raut wajahnya Lee sudah tahu jawabannya, tapi, tetap saja ia mengajukan pertanyaan itu.

"Kebahagiaan Papa belum genap karena kamu belum menemukan kebahagiaanmu sendiri," ujar Papa kemudian. Mungkin semua orang tua di dunia juga memiliki pemikiran yang sama.

Lee mengulum senyum pahit. Apa itu artinya papa ingin Lee segera menikah agar tidak merasa kesepian? Dan hilang sudah beban di hati Papa karena mereka sudah punya keluarga masing-masing.

Lee menggeleng pelan.

"Papa selalu mendapatkan apa yang Papa inginkan, termasuk kebahagiaan itu," desis Lee lirih. Sementara aku tidak, batinnya menambahi.

Papa ikut tersenyum. Tapi, tidak terlalu kentara.

"Lee harus ke kantor, Pa," pamit Lee beberapa detik kemudian. Ia bangkit dari bangkunya dengan tergesa. Mengakhiri perbincangan itu sesegera mungkin. Cowok itu melirik jam tangannya dan mengeluarkan sejumlah uang sebagai pembayaran dua gelas minuman.

"Hati-hati, Lee!" Papa hanya bisa berseru saat langkah-langkah Lee mengarah ke pintu keluar warung kopi. Cowok itu hanya melambaikan tangan kanannya dan terus melangkah sampai ke tempat di mana mobilnya terparkir. Ada kelegaan tersendiri di dalam hatinya setelah keluar dari warung kopi itu. Kelegaan yang tidak mampu didefinisikan oleh pikirannya sendiri.

MY ORDINARY GIRL (Sekuel My Arrogant Prince) #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang