Kedua

86 2 0
                                    

Pada saat itu malam terasa lebih dingin, aku terdiam sendirian membawa satu pertanyaan, bintang-bintang seakan menjauh, hanya tersisa lampu jalan yang masih setia menemani.

"Apa benar dia mengatakan itu ?" Aku masih bertanya-tanya dalam hati, walaupun tadi terdengar jelas, aku hanya ingin memastikan saja.

Sesampainya dirumah aku mengabarinya seperti biasa, tetapi aku masih enggan bertanya, dia juga tidak ada membahasnya, mungkin nanti aku akan bertanya tentang itu, dalam mimpi. Pukul 22.05 saatnya kita saling berpamitan untuk beranjak tidur, kita memang jarang berkomunikasi hingga larut, karena kita terkadang sering bertemu jika aku melewati rumahnya.

☔☔☔

Keesokan harinya awan hitam berkumpul tepat diatas kota, cuaca menjadi lembab dan kian berubah kelabu, hampir sepanjang hari hujan tidak berhenti. Memandang rintikan hujan teringat tentang perkataannya malam tadi, berhubungan nanti kita kerja kelompok, mungkin itu waktu yang tepat untuk menanyakannya.

Satu jam setelah hujan reda dia datang kerumahku membawa tas warna merah jambunya berisi beberapa buku untuk dibahas bersama. Dia memang lebih banyak diam saat mengerjakan tugas, sesekali bicara menanyakan soal yang tidak dia mengerti. Saat suasana sedang sunyi karena kesibukan kita mengerjakan soal, dia bertanya lirih kepadaku.

"Kamu mendengarku tadi malam ? setelah kamu beranjak pulang" sambil memainkan pensil,

"Apa ?" aku terkejut bertanya, setengah sadar mendengar pertanyaannya,

"Nggak kok, eh ini caranya gimana ya, aku masih bingung ?" jawabnya, aku rasa bukan itu pertanyaan awal.

Hingga tugas-tugas kita selesai, dia tidak membahas masalah tadi malam, aku juga belum berani menanyakannya, dia pamit dan meninggalkan rumahku. Tugasku selanjutnya membereskan meja setelah dipakai untuk mengerjakan tugas, aku melihat buku tulis berwarna putih dengan tulisan "Remember Me" pada sampulnya, buku itu tergeletak dibawah meja, setelah aku periksa bagian depan ternyata buku itu milik dia, akupun menyimpannya diantara buku tulisku.

☔☔☔

Semua tugas-tugasku malam ini telah selesai aku kerjakan, setiap menjelang malam dia selalu memberiku kabar, tetapi hingga malam belum ada satupun pesannya dihpku, mungkin saja dia sedang sibuk atau mungkin sudah terlelap. Udara dingin sejak sore tadi menyelimuti kota, aku lebih sering menghabiskan waktu di kamar sembari membuat beberapa sajak.

"Adinda, mengapa wajahmu begitu sayu,
Apakah ucapanku terlalu menyakitimu,
Atau kau tengah didekap ingatan semu,
Bicaralah lirih agar senja tak mendengarmu,

Tangisi saja malam yang enggan menunggumu,
Jangan hanya memejamkan mata disaat sendu,
Apalagi mengikat erat dengan rindu palsu,
Yang takkan pernah mau berpadu satu,

Adinda, rasakanlah makna dalam jiwa,
Biarlah hatimu merasakan hal yang sama, Namun jika gemintang enggan lagi menyapa,
Bisikan padanya bagaimana keadaan semesta,

Menantinya mungkin akan menyayat sukma,
Dan kau Adinda,
Biarkanlah ia pergi dan lupakan semuanya".

Ketika mencari selembar kertas, aku tak sengaja membuka halaman terakhir dibuku tulisnya dia,

"aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,

aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada".

Itu puisi karya Sapardi Djoko Damono, puisi favoritku sejak tiga tahun lalu, dan di bawah puisi ada tulisan dihapus dengan tipe-x, aku tak begitu jelas melihatnya, tapi setelah aku lihat dengan pantulan cahaya senter untuk membacanya, tertulis

"11 12 98, Always You"

Dengan tanda yang tidak jelas disamping kanan tulisan, setelah membacanya aku berpikir ini akan menjadi malam yang amat panjang, karena tanggal yang ditulis sama persis dengan tanggal kelahiranku, aku pun terdiam sejenak dengan pikiranku yang sedikit kacau.

Bersambung...

Ketika HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang