Ketiga (Akhir)

54 1 0
                                    

Keesokan harinya setelah aku mengembalikan buku miliknya, aku mengajaknya pergi menjelang sore. Cuaca kali ini perlahan mulai kelabu, aku khawatir untuk beberapa jam kedepan. Disaat aku menjemputnya, ternyata dia sudah menunggu didepan pagar, mengenakan jilbab berwarna hitam sambil menjinjing helm, terlihat jelas dari kejauhan.

Aku telah merencanakan untuk pergi ke suatu tempat, ketika mengendarai motor aku tidak banyak berbicara, hanya mendengarkan apa yang dia ucapkan, sepanjang perjalanan cuaca kian gelap, hanya meyisakan cahaya matahari jauh di ujung barat.

Belum sampai di tempat tujuan, langit mulai membasahi tanah dengan cepat, dan aku terlupa membawa jas hujan. Kita berdua terpaksa berteduh di pinggir jalan, berdiam di pertokoan yang sedang tertutup.

"Sampai kapan kita berdiam disini ?" dia bertanya sambil melipat kedua tangannya.

"Kita tunggu sampai hujannya sedikit reda" jawabku memandangi dia yang merasa kedinginan.

"Aku tidak tau mengapa saat hujan aku merasa langit sedang bahagia, memberikan kita semua yang ada dibawahnya rasa sejuk, dimana semua keresahan dalam hidup sekejap menjadi lebih tenang" ujarku sambil memandangi rintik jatuh dihadapanku.

Dia hanya terdiam, entah memikirkan apa. Sudah hampir setengah jam hujan belum juga reda, malah sebaliknya langit kian pekat, membuat udara semakin dingin.

"Hey" aku memanggilnya, dan dia menoleh kearahku.

"Benar apa yang dikatakan orang, jika memutuskan sesuatu harus dipirkan lebih matang, karena setelah itu terjadi kita tidak bisa kembali ke hari lalu, hanya berusaha menjadikannya pengalaman agar nanti lebih baik kedepannya" aku berkata sambil membasahi tanganku dengan air hujan, dia pun mendengarkan, walaupun tidak mengerti apa maksud dari perkataanku.

"Aku mau tanya tentang tulisan dibukumu itu, dihalaman paling belakang" tanyaku.

"Kamu melihatnya ? kenapa ?" dia menjawab dengan raut wajah sedikit terkejut.

"Tidak, aku tidak sengaja membukanya, tapi apa itu kamu yang menulisnya ?" tanyaku sambil menundukkan wajah.

"Iya, aku yang menulis itu" sahutnya.

"Aku tidak tau, mengapa kamu menulis itu, tapi aku rasa kita hanya bisa menjadi sahabat aja" jawabku.

"Kenapa kok gitu ? apa kamu tidak menyukaiku ?" dia bertanya menoleh kearahku.

"bukan begitu, aku menyukaimu, hanya saja aku tidak mau membuatmu kecewa, biarkan kita tetap seperti ini, jika nanti memang saatnya aku akan menemui orang tuamu" jawabku ditemani suara gemuruh tiada henti.

"Sekarang, tetaplah fokus pada tujuanmu, aku akan selalu ada buatmu, berdoa saja semoga kelak kita bisa bersama" jawabku sambil menatap dia yang termangu.

Dia bersedih mendengar apa yang aku katakan, tetapi aku memang tidak ingin membuatnya kecewa, aku saat ini sedang mempersiapkan segalanya untuk menyambut hari itu, aku mengatakan kepada dia untuk tetap fokus pada mimpinya serta berdoa semoga apa yang dia inginkan tercapai, siapapun nanti yang menemani disampingnya bisa membawanya menemukan kebahagian yang indah.

Dan ketika hujan aku selalu ingat kejadian di hari itu. Sudah beberapa tahun aku tidak menemuinya, apakah saat ini dia sudah siap dengan kedatanganku ?.

Selesai...

# Terimakasih bagi teman-teman yang membaca cerita ini.
Untuk segala kekurangannya mohon dimaklumi karena ini cerita pertama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang