Permulaan

835 49 17
                                    

"Be my number two?"

Lizzie tersentak ketika kata-kata yang tak pernah dipikirkan dan diharapkannya meluncur dari bibir hati milik pria tampan  yang tepat berdiri di depannya. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap seakan tak percaya pada pendengarannya barusan.

Ditatapnya lekat wajah pria yang tengah menatapnya intens, dari raut wajah yang tegas itu, ia tahu jika si pria sedang gugup menunggu apa yang akan dikatakannya, tapi sikap dan pembawaan pria itu masih sama seperti sebelum-sebelumnya, kalem dan sangat tenang.

Ia menarik napas dalam dan mengembuskan secara perlahan-lahan. Lagi, ditatapnya wajah pria di depannya yang sedang bersandar pada kap mobil mewah. Seakan mencari suatu kebenaran untuknya sebelum menjawab pertanyaan atau lebih tepat disebut permintaan itu.

"Brave," panggilnya pelan, dengan gerakan reflek yang bagus pria yang merasa namanya disebut ini segera membenarkan posisi dan berdiri tegak dengan mata musang yang mengisyaratkan ketidak sabaran untuk mendengar kata selanjutnya yang akan keluar dari bibir Lizzie.

Brave menatap lamat Lizzie, yang entah kenapa mampu membuatnya merasa nyaman sejak awal pertemuan mereka dua minggu yang lalu.

"Kau serius dengan apa yang kau ucapkan tadi?" tanya Lizzie, seakan mencoba meyakinkan lagi dengan pertanyaannya ini.

"Tidak pernah seserius ini, Lizzie," sahut Brave lantang dan dengan tegas menyebut nama gadis yang sedang menatapnya.

Lizzie kini menggigit bibir bawahnya dan kembali menimbang untuk memberi jawaban.

Lagi, ditariknya napas dalam dan memejamkan mata besarnya yang indah. Memaksa benaknya untuk berpikir dengan jernih. Jujur saja Lizzie cukup tertarik dengan Brave pada saat pertama kali matanya menangkap sosok bayangan manly serta kokoh itu berdiri tegak di halaman depan kampus tempatnya menuntut ilmu ini.

Namun, secepat ia merasa tertarik pada Brave, secepat itu juga sebuah perasaan kecewa langsung menghampirinya. Dan kini bayangan sosok lain yang cukup dihormatinya serta disegani sebagai dosen pengajar di kampus ini mulai bermain-main dalam pikirannya.

Lizzie mendengus pelan seraya membuka matanya lalu menatap semen yang dipijak oleh kedua kakinya. Ia merasa cukup panas karna sosok dosen wanitanya yang tanpa izin masuk kedalam sistem jaringan otaknya.

Ia cukup tidak suka dengan kenyataan yang membuatnya tersentak diawal pertemuannya dengan Brave yang berakhir perkenalan pahit. Setidaknya Lizzie merasa begitu, saat dosen wanita yang cukup disukai oleh teman-temannya di kampus ini memperkenalkan Brave sebagai suaminya.

Entahlah Lizzie sendiri kurang mengerti tentang apa yang dirasanya saat itu. Yang jelas ia tidak rela jika dosennya memiliki Brave dengan hubungan yang seintim itu.

"Apa yang kau pikirkan?"

Suara bass Brave seperti membuat Lizzie tersadar dari segala hal yang dipikirkan dan mengganggunya tadi. Dengan gerakan reflek kedua mata besar Lizzie menatap manik setajam musang Brave yang ia rasa sangat teduh dan seakan membuatnya terhisap kedalam pusaran si empunya.

"Istrimu..." jawab Lizzie lirih, tak ada sedikit pun niatan ia untuk menyembunyikan yang dipikirkannya tadi.

Brave menghela napas, dimajukannya selangkah kaki mendekat ke arah Lizzie sehingga hanya menyisakan sejengkal jarak diantara mereka. Diletakkan kedua tangan besarnya pada bahu gadis cantik itu.

"Apa yang kau pikirkan tentangnya?" tanya Brave dengan mata musang yang menatap lekat wajah Lizzie.

"Apa kau tidak memikirkannya? Bagaimana dia? Dan lagi apa kau tidak berpikir tentang perasaanku dengan pertanyaanmu tadi? Menjadi yang kedua... Itu sungguh gila." Lizzie menghela napas setelah menyelesaikan rentetan pertanyaan yang membuatnya merasa emosi.

Be My Number Two ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang