Bagian Kedua

203 5 3
                                    

    Happy Reading!!!

      Luke Boaz Xavier, suamiku dua tahun belakangan ini. Namanya sangat indah, yang artinya seorang laki-laki pembawa terang yang punya kekuatan dan bijaksana. Sepadan dengan wajahnya, namun tidak dengan sikapnya.

     "Apa salahku, Luke? Kenapa kau kejam terhadapku?" tanyaku dalam tangisku. Aku membereskan sisa-sisa sarapan dengan air mata yang terus mengalir.

     Ada rasa ingin yang besar aku masuk dalam kamarnya. Aku membukanya dengan penuh hati-hati, mencium aroma ruangan yang tak asing lagi dihidungku. Aku duduk di tepi tempat tidur dan menatapnya nanar.

     "Di tempat tidur ini, kamu bercinta dengan wanita-wanitamu, Luke. Di tempat tidur ini, kamu berbuat dosa." Aku mengelus tempat tidur itu dengan rasa sakit di hatiku.

    Lama memandangi tempat tidur Luke, tiba-tiba ponselku bordering kencang. Nama Lea yang terpampang di sana. "Halo, ada apa, Lea?"

    "Bagaimana kabarmu? Lebih baik atau sebaliknya?" tanyanya dengan nada mengejek.
Aku menghela nafas pendek lalu berkata, "Sama saja, tak ada yang berubah."

     "Dasar! Sudah kubilang, bercerailah darinya! Dia tidak pantas untukmu, Rina! Sudah berapa kali kukatakan padamu?!" teriaknya dengan frustasi, kurasa.

     "Dan, sudah berapa kali kukatakan padamu, jika aku sangat mencintainya dan tak bisa bercerai dengannya!"

    "Kau terlalu buta."

     "Ya, aku terlalu buta karena cintaku untuknya!" Aku menghela nafas pendek. "Maaf aku berteriak padamu, Lea."

     "It's okay, Rin. I know what you feel."

     "Suamimu ada dirumah?"

     "Dia pergi ke kantor, mungkin pulang larut malam. Ada apa?"

     "Ayo pergi denganku. Sudah lama kita tidak pergi bersama setelah kau menikah."

     "Baiklah. Aku akan bersiap."

     "Sebentar lagi aku menuju rumahmu. Sampai jumpa." Panggilan terputus tanpa menunggu balasanku. Dasar Lea!

*****

     Aku sudah siap dengan celana jeans dan kaos longgar kesukaanku. Setelah mengirim pesan singkat pada Luke, memberitahunya bahwa aku pergi keluar bersama Lea, aku segera membuka pintu rumah saat mendengar suara ketukan pintu. "Hai, Lea"

     "Hai, Rin. Cantik seperti biasanya."

     Dia memang senang sekali berbicara manis di depanku.

     "Kau juga, Lea. Ayo kita berangkat sekarang." Aku mengunci pintu rumah lalu menuju mobil Lea.

     "Ke café biasanya dulu ya, Rin. Makan-makan dulu di situ."

     "Oke deh. Aku juga udah kangen berat sama kopi disana." Aku membayangkan kopi kesukaanku terhidang di atas meja dengan asap panas yang mengepul dan aroma kopi yang kentara. Yummy!

     "Kangen kopi di sana atau kangen pemilik café itu, hm?"

     Mau tak mau aku mengingat wajah pemilik café itu, "Tidak! Jangan meledekku, Lea! Dia dan aku hanya berteman saja. Tidak lebih!" bantahku.

     "Ya, kau memang benar, nona keras kepala. Bagimu, kalian adalah teman. Baginya lain halnya. Dia menganggapmu lebih dari itu."

     Beberapa detik aku terkejut atas apa yang disampaikan Lea. Tidak mungkin!

(Can) I Remain In This MarriageWhere stories live. Discover now