Aku masih ingat hari itu.
Minggu pagi, sedikit mendung, di kota yang dingin, duduk di sebuah ruangan, bersama beberapa mahasiswa di depanku.
Beberapa kali, mataku tertuju pada seorang gadis dan lelaki yang duduk bersebelahan, berbicara pelan, dan, dari cara mereka saling memandang satu sama lain, aku bisa meyakini mereka adalah pasangan.
Lalu, laki-laki itu pergi, meninggalkan ruangan.
Gadis itu tetap duduk di sana, di samping jendela.
Lalu, kami bertanya kepada para mahasiswa di sana, termasuk gadis itu, "Gimana kuliahnya?"
"Duh, pusing, Kak. Pengin nikah aja udahan," kata gadis itu dengan senyum lebar kala mengucakpan kata "nikah".
Pengin. Nikah. Aja.
Mungkin, saat itu, mataku sedikit melotot, alisku terangkat, dan hatiku bertanya, "ARE YOU EVEN SERIUS?!"
Dan, kejadian semacam ini tak kutemukan sekali saja.
Beberapa waktu lalu, aku melihat Instagram Story yang, kurang-lebih, bertuliskan, "Capek gini terus. Pengin nikah aja."
Pernah pula, aku melihat sebuah status yang lumayan viral, berisikan pesan semacam, "Mending nikah aja biar dapat nafkah."
Dan, tulisan-tulisan semacamnya yang intinya: Aku lelah. Aku ingin menikah. Aku ingin hidup enak.
Oke, aku bisa memahami itu.
Tetapi, maaf, maaf sekali lagi, jika kamu merasa lelah dengan tugas-tugas harianmu, lalu tiba-tiba merasa menikah adalah solusi untukmu, kurasa, kamu belum siap menikah. Jadi, masuklah kembali ke kamarmu. Kerjakan tugas-tugasmu. Lalu, tenangkan pikiranmu. Dan, jangan melihat menikah sebagai solusi dari kelelahanmu saat ini.
Sebab menikah bukanlah solusi dari kelelahanmu.
Kenyataannya, menikah akan semakin melelahkanmu.
Menikah, bagi laki-laki, adalah bangun pagi-pagi, melawan kemacetan demi menafkahkan sang istri dan anak-anak, berlemah lembut kepada istri dan anak-anak meskipun penat sepulang kerja.
Menikah, bagi wanita, adalah berusaha patuh kepada suami dengan baik dan benar, seperti menyiapkan kebutuhan suami yang akan berangkat mencari nafkah, berusaha memprioritaskan waktu bersama keluarga meski sedang berkarir, menjaga kehormatannya kala ditinggal sendirian, dan mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang telah dirundingkan dan disetujui bersama suami.
Menikah adalah menyadari, menerima, dan bersabar bahwa prioritas utama sang suami adalah orangtuanya; sementara prioritas utama sang istri adalah suaminya.
Menikah, bagi laki-laki, adalah tetap berusaha adil kepada semua pihak: Orangtua yang menjadi prioritas utamanya; serta istri dan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.
Menikah, bagi wanita, adalah memahami bahwa nafkah dari suamimu bukanlah untuk memenuhi keinginanmu semata, melainkan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Bisakah kamu mengelolahnya dengan baik? Bisakah kamu merelakan keinginan-keinginanmu untuk membeli tas baru, kosmetik, dan sepatu baru?
Menikah adalah bersabar pada hal-hal yang tidak kau sukai dari pasanganmu.
Menikah adalah berusaha keras menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disukai pasanganmu.
Menikah adalah senantiasa memikirkan perasaan dan kondisi pasangan di setiap keputusan yang kau ambil.
Menikah adalah menyatukan dua kepala yang berbeda, meski salah satu di antaranya harus merelakan mimpinya; sebagaimana sang suami harus rela melepas mimpinya untuk menafkahi keluarga; atau, sebagaimana sang istri harus rela melapas mimpinya untuk mewujudkan kehidupan untuk sang anak. Namun, tentu, lebih baik jika mimpi-mimpi yang direlakan tersebut mewujud mimpi-mimpi baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Menikah, Dia...
Não FicçãoKita tinggal di era ketika menikah muda menjadi sebuah tren. Kita menyaksikan foto-foto mesra suami-istri bertebaran di media sosial seolah berkata, "Kita udah halal, lho." Kita mendengar teman-teman kita berkata, "Capek, gue pengin nikah aja." Kita...