HuC : 2

10 0 0
                                    

Sejauh apapun ia melangkah, sebanyak apapun laki-laki atau wanita yang mendekat padanya jika memang jodoh, ia akan kembali pada kita. Tak perlu khawatir.

***


Jam menunjukkan pukul 05.15. Sudah hampir 30 menit aku menunggu kakakku-Anggi Syailendra untuk menjemput. Tadinya akan ku gunakan angkutan online. Namun karena papa yang bersikeras melarang untuk menggunakan jasa angkutan online, ya jadinya begini. Kemana-mana harus diantar oleh bang Anggi atau paling tidak oleh supir. Terlalu berlebihan memang. Namun apa daya, jika sudah menyangkut bunda atau anak gadisnya papa akan sangat protective.

Sebuah mobil pajero sport yang tak lain adalah mobil kakak melintas dan berhenti tepat didepanku. Tanpa pikir panjang, aku masuk dengan tampang cemberut sekaligus kesal.

"Lo kenapa, dek? Ditekuk gitu mukanya." Aku menatap sinis, "Katanya jam lima kurang, tapi ini? Telat 30 menit."

"Ya sorry. Lo tahu'kan dokter itu gimana,sibuk banget. Belum lagi kesini macet karena jam pulang kerja." Aku mendengus, "Alasan." Ia hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut.

Perjalanan ini sungguh sunyi. Tak ada percakapan apapun yang berarti. Terlebih aku pun mengantuk karena lelah seharian penuh kegiatan di kampus. Tanpa terasa aku pun terlelap.

***

"Ai bangun,nak. Udah maghrib ini. Shalat dulu sekalian ganti bajumu." Sayup-sayup aku mendengar bunda memanggil. Aku terbangun dan menatap sekeliling. Kamar? Ucap batinku.

Aku menatap bunda meminta penjelasan. Ia berkata "Kamu ketiduran di mobil. Kakak kamu yang gendong kesini. Ya udah shalat dulu,nanti keburu abis waktunya." Aku mengangguk. Lantas berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu dan shalat.

Setelah selesai shalat dan berganti baju,aku turun ke bawah menuju ruang makan. Disana sudah berkumpul kedua orangtuaku juga bang Anggi. Dentingan sendok dan piring terdengar diruang itu. Tanpa ada yang berbicara satu pun. Papa sangat tidak suka saat sedang makan, kita berbicara. Selain dilarang oleh agama, dalam segi kesehatan pun dilarang. Takut tersedak katanya.

Setelah selesai makan dan membersihkan meja, papa dan bang Anggi menuju ruang keluarga. Terdengar obrolan-obrolan ala lelaki disana. Aku dan bunda masih didapur, membuat makanan penutup. 

"Gimana dikampus? Baik, Nak?" tanya bunda sembari mengupas buah apel. "Baik, Bun. Ahh rasanya masih gak nyangka aja Ai udah kuliah." jawabku sembari tersenyum kearahnya.

"Gadis kecil bunda ini sudah besar ya ternyata" ucap bunda dengan mata berbinar sambil menyubit pipiku. "Ahh bunda mah" rajukku. Kami terkekeh bersama karena sikap manjaku.

Ya, aku sangat dekat dengan bunda. Kata papa, aku sangat mirip dengan bunda saat muda. Bunda itu ternyata adik tingkatnya papa, tapi beda jurusan, bunda di Akuntansi papa di Kedokteran. Menurut Om Arya, papa itu pangeran dijurusannya. Padahal kalau ditelisik lebih jauh lagi bukan cuma dijurusannya aja papa itu pangeran, tapi dijurusan lain pun sama. Terutama di ekonomi. Bahkan anak-anak populer di ekonomi pun kalah pesonanya oleh papa.  Kalau ada pangerannya, berarti ada ratunya dong? Iya. Ada ratunya. Tapi ratu sehidup semati.

"Ada apa sih.. Kok pada ketawa. Gak ngajak-ngajak"ucap bang Anggi yang ternyata sudah berada didapur sambil menyomot buah anggur yang hanya tinggal sisa 1 buah lagi. "Kak, itu bagianku.. Ahahh"

"Siapa suruh belum dimakan. Bleee"ucapnya mengejekku.

"Anggi" ucap papa dengan nada yang ditekan. Sang empunya malah terkekeh kecil sembari menggarukkan kepala belakangnya yang mungkin aja tidak gatal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hikmah untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang