Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayangi bila ada ruang? -Dewi Lestari-
Pernah membaca kalimat itu? Seringkali kamu merutuki jarak yang tengah diciptakan seseorang kepadamu. Seringkali bertanya mengapa harus ada jarak, mengapa menjauh, mengapa mengapa mengapa. Terus saja menanyakan alasan yang terjadi, lalu menimbulkan beragam asumsi sendirian.
Boleh kutanya satu hal? Lelahkah kamu berada dalam pertanyaan yang kamu ciptakan sendiri itu? Jika iya kamu merasa lelah, coba tenang sejenak, rilekskan dirimu sebentar. Dan aku akan kembali bertanya apa yang tengah kamu lakukan, bukankah kamu tengah berhenti? Bukankah itu sama saja dengan spasi dan atau jeda? Kemudian samakan dengan jarak yang tengah hadir menemani, jarak itu spasi, jarak itu jeda, kawan. Mereka dibutuhkan sesekali, sekedar untuk membuatmu kembali merasakan dan menelaah sesuatu dengan lebih jernih dan lebih baik tanpa ada gegabah untuk menyikapinya.
The scariest thing about distance is that you don't know whether they'll miss you or forget you -Nicholas Sparks- Bukankah itu yang seringkali kamu takutkan dan pertanyaan itulah yang menghinggapi benakmu saat ini? Apakah mereka merindukanku seperti aku merindukannya atau malah mereka melupakanku karena telah mengenal orang baru. Tak ada yang salah dari permikiran itu memang, tapi satu yang harus kamu tahu, berhenti menerka, berhenti menebak-nebak, berhenti bertanya dan mengambil kesimpulan dengan teorimu sendiri. Bukan kebenaran yang kamu dapatkan, melainkan hanya lelah yang akan kamu genggam.
Hidup selalu berkaitan dengan pertemuan dan perpisahan. Dia yang sekarang dekat, mungkin akan menjauh di esok hari, tanpa pernah mengucap kata pamit. Tanpa harus berkata aku pergi atau aku ingin menjauh darimu. Dan untukmu yang terus saja bertanya akan jarak itu, tak perlu ada yang kamu takutkan apalagi sesali, yang lalu tetap saja pernah mengukir bahagia denganmu bukan? Bumi berputar, kehidupan pun demikian, dan semuanya adalah wajar adanya. Satu yang jangan pernah kamu takut untuk lakukan, sapalah dia yang pernah memberikan bahagia untukmu. Apa susahnya menyapa bagian indahmu di masa lalu? Bukankah kita tidak diperkenankan memutus tali silaturahmi?
Kemudian aku ingat, Michael Bassey pernah berkata, If you truly want to be respected by people you love, you must prove to them that you can survive without them. Kemudian gabungkan saja pernyataan Lana Del Rey serta Ziad K mengenai jarak, distance sometimes lets you know who is worth keeping, and who is worth letting go. Sometimes you just need to distance yourself from people. If they care, they'll notice. If they don't, you know where you stand.
Bisa menarik kesimpulan dari pernyataan itu? Jarak itu berharga, sangat amat berharga (menurutku). Hingga terkadang kamu lupa, sedekat apapun kamu dengan seseorang kamu juga butuh adanya sebuah jarak. Terlebih jika kedekatan antar lawan jenis. Karena bisa saja tanpa kamu sadari, dengan kedekatan yang tercipta, ada harap yang perlahan muncul tanpa pernah kamu sadari. Dan sayangnya harap itu muncul hanya pada salah satu pihak, atau bisa juga keduanya namun sayangnya, harapan itu muncul ketika kamu dan dia belum sanggup untuk membiarkan harap itu berlabuh pada hati masing-masing.
Adanya jarak yang tercipta baik secara sadar ataupun tidak seringkali merupakan hal yang jauh lebih mudah daripada harus berpura-pura baik padahal tidak sedang dalam keadaan baik. Atau mungkin juga jarak dipilih karena enggan menjelaskan sesuatu hal yang rasanya teramat sulit diungkapkan.
Dewi Lestari pernah berkata, seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi. Jarak tercipta mungkin saja karena terkadang seseorang butuh menetralisir apa yang dirasa. Meyakinkan apa yang sedang dia rasa, menalarnya, kemudian membuatnya lebih rasional untuk memutuskan hal apa yang akan dia lakukan nanti, tetap menjalani hal seperti biasanya atau dibiarkan berlalu begitu saja.
Untuk siapapun itu yang sedang berada di batas jarak; kepada setiap alasan yang tidak pernah kamu ketahui, kepada setiap jalan pikiran yang kerap tak bisa untuk dipahami, kepada seluruh pilihan yang coba untuk kamu nikmati, tetaplah memandang seseorang dengan caramu sendiri, dan sesekali coba pula untuk melihat cara pandang orang lain, tapi jangan pernah merubah dirimu untuk orang lain. Dan tulisan ini akan aku tutup dengan satu kalimat dari Dewi Lestari (lagi), momentum tidak dapat dikejar. Momentum hadir. Begitu ia lewat ia tidak lagi sebuah momentum. Ia menjadi kenangan.Bagi kamu dan siapapun yang membaca ini, semoga bisa menghargai setiap pertemuan dan perpisahan yang tercipta. Semoga bisa menjaga hubungan baik yang sedang tercipta dengan seluruh kemampuan yang kamu miliki. Hargai mereka yang hingga sat ini masih dekat denganmu, sedang untuk mereka yang sudah jauh, do'akan saja agar bahagia selalu melingkupi mereka. Adanya jarak bukan untuk disesali, tapi untuk dimengerti dan disyukuri. Dan pilihan yang terbaik selalu berkaitan dengan menerima dan mengikhlaskan. Semoga semakin dewasa segala rasa serta akal. Setelah ini, semoga Tuhan selalu memberikan cara agar kita bisa merasakan bahagia, secukupnya. Ingat, You Only Live Once
Jakarta, 14 Desember 2015
YOU ARE READING
You Only Live Once
De TodoAda banyak hal yang terjadi di sekitar, ada banyak hal yang seringkali tak sejalan dengan ingin. Tak sepaham bukan berarti tak bisa berteman, tak sependapat bukan berarti tak bisa diajak bertukar cerita. Perbedaan itu perlu, setidaknya untuk kemudi...