(8) Modusnya Cakra

117 7 1
                                    

BAGIAN 8

Cakra Modus


Angkasa Rayhan berdecak sambil menggeleng-geleng saat ia kembali dari ruang guru mengantarkan buku-buku tugas kelasnya, dan mendapati Aditya Perwira yang kini sudah ada di tempat duduk mereka, sibuk dengan buku di depannya. Angga berjalan mendekat untuk melihat aktivitas Adit, mengerjakan tugas Agama yang baru saja ia kumpulkan.

“Gak harus langsung dikumpulin hari ini, kali. Masa lo gak dapet keringanan?” Komentar Angga sembari melempar bokongnya untuk duduk. Adit tidak menyahut, bahkan sepertinya tidak mendengarnya sama sekali. Sahabatnya itu sekarang tengah serius menyalin salah satu Ayat Al-Qur’an.

“Dit, lo gak niat ke kantin dulu, gitu? Lo belum makan apa-apa sama sekali gara-gara dari jam istirahat lo ngedekem di ruang guru sama Pak Muhaji! Ngomongin apaan sih? Kalian ngebahas semua Pasal Undang-Undang?”

Diacuhkan. Tentu saja. Selain karena Adit memang punya sisi pendiam—yang paling tidak disukai Angga—Adit juga sama sekali tidak ingin diinterupsi sekarang ini. Tangannya bergerak cepat membuka lembaran buku paket untuk menemukan jawaban nomor berikutnya.

Angga menghela napas, dalam satu gerakan, ia mendaratkan telapak tangannya di atas buku Adit. Membuat akhirnya perhatian Adit tertarik padanya.

Adit mendesis dan menatap Angga kesal. Untuk beberapa detik mereka beradu tatap hingga mata Angga perih dan ia mengalah lebih dulu, “Atau lo pulang aja deh, abis ngumpulin tugas lo itu, ya. Gak usah ikut latihan.”

Adit kembali menekuni bukunya.

“Gue gak mau dimarahin Bunda sama Nenek lo, kalau lo malah sakit Aditiyyaaa.”

Adit mengangkat pandangan ke arah Angga, “Mau bantuin gue? mending lo tunjukin jawabannya ada di halaman mana aja.”

Angga berdecak. Masih ada satu lagi sifat yang ia benci dari Adit, keras kepalanya. Mau Angga secerewet apapun, kalau Adit sudah tidak mau, ia tidak akan bisa membuat sahabatnya itu setuju. Selalu begitu.

Tanpa mereka sadari, sejak tadi di ruangan itu ada seseorang yang lain yang terus memperhatikan. Orang itu berdiri, dan berjalan menuju pintu.

“HAI My Aira!”

Aira mengembus napas dan menggumamkan “Astagfirullahaladzim.” Dengan suara kecil.

“Aku nyaris ketampar pintu loh, untung kamu gak pake tenaga super ngebukanya. Atau kamu emang udah tau ada aku dan takut aku kena, ya?”

“Kalau gue tau, udah gue bikin muka lo rata karena kibasan ni pintu.” Ucap Aira hanya dalam hati. Ia sudah bertekad untuk tidak merespons Cakra sama sekali. Dalam bentuk apapun itu. Supaya makhluk ini capek dan pergi sendiri.

“Yah… kok gue dicuekin sih, beb?” Cakra tentu saja langsung mengikuti langkah Aira yang melewatinya begitu saja. “Lo pasang tampang data raja cakep, Ra. Apalagi kalo senyum.” Goda Cakra sambil berusaha menarik perhatian Aira dengan berkedip-kedip dan senyam-senyum di depan wajah cewek itu.

Tapi Aira bergeming, malah pura-pura tak melihat Cakra sama sekali. Padahal mata-mata lain di sekitar mereka sekarang ini semuanya tertuju pada Cakra, atau tepatnya pada mereka berdua. Aira hanya berjalan cuek hingga memasuki kantin.

“Laper, beb?” Cakra masih mengikuti. “Oh, haus.” Ia mengangguk-angguk sendiri saat Aira menutup pintu kulkas dengan dua kaleng minuman. Satu minuman isotonik, satunya minuman berperisa apel-jeruk nipis. Lalu Aira juga bergerak memilah roti di rak yang ada di sana, dan mengambil dua roti beraroma cokelat.

“Duh, jadi terharu.” Cakra tersenyum-senyum gr, berfikir bahwa Aira membelikan satu untuknya. “Gak perlu repot-repot sih, Ra. Tapi aku hargain, kok. Makasih loh.”

“Kembaliannya permen aja ya, dek?” Aira mengangguk menanggapi sang penjaga kantin, dan terus berpura-pura tak mendengar Cakra. Ia segera beranjak dari sana setelah diberi empat bungkus permen dengan bungkusan kuning.

“Kalau gak tau cari ngasihnya, gak usah natap aku juga gak papa, kok. Aku tau kamu malu.”

Kening Aira berkerut mendengar ucapan Cakra. Jangan bilang cowok ini sedang terbang kegeeran padahal Aira bukannya membelikan ini untuknya. Aira melirik Cakra, tapi cowok itu agak kasihan juga sih. “Nih.” Aira menyodorkan salah satu permen mint hasil kembalian tadi pada Cakra.

Cowok berambut kuning itu tercenung. Tanpa ia sadari Aira terkekeh kecil melihat ekspresi bodohnya.

Saat menoleh kembali, Aira langsung mempercepat langkah. Selain untuk meninggalkan Cakra yang berisik, juga untuk menahan langkah dua orang di depan sana yang sudah keluar dari kelasnya.

“Adit!”

Cakra ikut berlari saat menyadari Aira melakukannya lebih dulu. Aira mengatur napas dengan wajah malu saat sudah berhadapan dengan Adit juga Angga. Kedua cowok itu menatap penasaran pada Aira, terlebih pada Cakra di belakangnya.

Sudah kepalang basah, Aira berusaha menekan rasa malunya karena diperhatikan, dan mengeluarkan satu roti dan minuman Isotonik dari plastic bening di tangannya. “Makan dulu.” Ujarnya dengan suara agak serak pada Adit. Angga dan Cakra ternganga dengan ekspresi terkejut yang sama. Sementara Adit langsung tersenyum dengan wajah memerah hingga ke telinga.

“Makasih.” Ucap Adit yang tak mampu untuk makin memperlebar senyum. Suasana jadi canggung untuk persekian detik. Hingga Angga menginterupsi.

“Buat Adit doang nih, Ra? Buat gue mana?” Angga memecah keheningan yang tadi tiba-tiba menyelimuti. Ia jadi gemas dengan dua orang introvert yang berdiri saling hadap-hadapan dengan suasana canggung begitu.

Aira kembali merogoh plastic beningnya, dan mengeluarkan satu permen lagi. “Nih.”

Angga menganga dramatis, “Gue cuma dapet permen kembalian?”

Aira mengangkat bahu, “Sampe ketemu di lapangan.” Ujarnya seraya melangkah memasuki kelas.

Angga masih menatap permen di tangannya. Adit tertawa. Terlebih saat melihat pemuda lain yang berdiri beberapa langkah di depan mereka, memegang permen yang sama.


----Lonely Angel----


Setelah shalat Ashar berjamaah di Masjid sekolah, anak-anak Paskibra kini berkumpul di pinggir lapangan. Cakra memilih duduk di depan kelas X.1. Demi melihat Aira, mulai hari ini hingga seterusnya ia akan ikut latihan anak-anak paskibra. Eh, atau tepatnya bukan ikut, ia hanya akan tinggal di sekolah lebih lama seperti mereka, melihat segala kegiatan Ekstrakurikuler baris-berbaris itu.

Aira terlihat berbeda jika menyangkut hal-hal yang disukainya. Buktinya, Cakra melihat wajah Aira yang rama saat berinteraksi dengan teman-temannya di Paskibra. Walau belum bisa dikategorikan ‘ramah’ dengan banyak senyum pada umumnya, tapi setidaknya, raut gadis itu melunak dan matanya tidak menyorot tajam seperti yang sering Cakra lihat.

Tapi satu yang tetap, Aira tetap terlihat kesepian. Saat istirahat, atau anak-anak lain berbicara dengan teman atau bergabung dengan gerombolannya, Aira terlihat sendiri. Tanpa ada yang mengajaknya bicara. Walau Cakra tahu bahwa Aira suka-suka saja dengan keadaan seperti itu, tapi ia tidak ingin membiarkan Aira terus-terusan menghindar untuk bergaul dengan orang-orang—yang menurut gadis itu ‘tak cocok untuknya’--

“E, lo!”

“Saya, kak?” Cakra mengangguk untuk menjawab anak laki-laki gendut berkacamata yang ia tahu adalah anak kelas X. Anak itu mendekat ke arahnya.

“Kasi ini ke Aira. Lo tau, kan?” Cakra menyodorkan sebotol minuman jeruk yang ia yakin akan disukai Aira. Si anak kelas sepuluh hanya mengangguk patuh, lalu melaksanakan yang diminta Cakra.

Cakra dapat melihat anak itu mendekati Aira. Gadis itu menerima minuman yang dititipkan Cakra. Cakra tersenyum saat Aira mengangkat pandangan dan mata mereka bertemu. Tidak ada senyum balasan. Tapi melihat Aira menerima minumannya saja, Cakra sudah senang. Artinya ada kemajuan.

Namun, belum juga senyum di wajah Cakra luntur sempurna, Aira membuatnya cemberut lagi saat gadis itu menempelkan botol minuman dingin itu di pipi Angga. Dan memberinya pada cowok satu itu.

“Nih, gue kasi minuman buat lo sekarang.” Ucap Aira yang langsung berlalu begitu Angga mengambil alih minuman dingin yang menempel di pipinya tadi.

Adit menyaksikan itu, jujur ia masih belum bisa menghapus pemikiran bahwa Aira menyukai Angga. Begitupun dengan pemikiran anak-anak lain yang ada di sana.


----Lonely Angel----


Hampir pukul enam sore, pasukan yang berlatih Paskibra dibubarkan. Begitu pula dengan para senior pelatihnya. Aira menunggu Adit yang masih membereskan barang-barangnya sambil berbicara dengan Angga. Langit menggelap. Bukan hanya karena malam akan segera tiba, namun juga karena hujan akan segera turun.

“Pulang bareng gue deh, Ra. Lo gak bakal kehujanan.” Tanpa harus menolehpun, Aira sudah tahu itu suara siapa. Cakra Nugraha. Pemuda itu sejak tadi belum pulang, padahal ia bukan anggota ekskul manapun. Dan Aira tahu bahwa alasan cowok itu tetap ada di sini adalah untuk dirinya.

Cakra masih belum menyerah, bahkan mengikuti langkah Aira yang sudah berjalan beriringan dengan Adit. Sekarang mereka bertiga berjalan bersama. Bagi yang hanya melihat, mereka akan mengira ketiganya adalah 3 teman yang sama-sama menuju parkiran untuk pulang. Nyatanya, di antara mereka hanya terdengar suara Cakra yang terus membujuk Aira, sementara dua orang di sampingnya diam, berpura-pura tak mendengar atau bahkan menganggap Cakra tak ada.

“Bentar lagi hujan, tau. Daripada sakit, mending lo sama gue aja, Ra.” Sepertinya Cakra memang harus menyerah. Walau mengulang tawaran yang sama terus-menerus, Aira tetap tidak akan menerima tawarannya itu. Cakra harus bersabar saat melihat motor Adit yang berlalu, bersama Aira di bangku penumpangnya.

Mungkin tidak hari ini. Belum. Cakra meyakinkan diri sendiri.



----Lonely Angel----


“Wah.. kalau begini, gue cemburu! Gue aja yang udah jadi temen lo dari jaman sd, gak pernah lo kasi apa-apa!”

Adit mendelik. Benar-benar ingin rasanya membuat Angga yang sejak tadi bercerocos untuk segera bungkam. Angga juga membalasnya dengan lirikan tajam.

“Gak asik.” Angga menggerutu saat Adit memilih menyudahi acara lirik-lirikan tajam mereka begitu saja. Padahal biasanya mereka akan melakukan itu sampai ada salah satu yang benar-benar menyerah karena mata mereka sudah perih tanpa berkedip.

Adit sih tau situasi dan tempat, ya. yakali main lirik-lirikan di tempat umum begini. Untung kalau mereka gak disangka pasangan g*y. lagipula ia sedang tidak ingin buang-buang tenaga dan waktu, sekarang sudah hampir pukul 9 malam. Jika mereka baru sampai rumah saat jam 10, maka Bunda akan memulai aksi cerewetnya.

“Imut banget tuh, gak cocok sama imejnya Aira.” Angga berkomentar lagi saat Adit membawa helm kuning bergambar anak ayam menuju kasir.

“Cocok kok. Dia suka kuning.” Jawab Adit. Ia memang tahu hampir segala hal tentang Aira. Aira adalah gadis yang ia sukai setelah kak Anggi. Atau bisa dibilang, gadis yang membuatnya jatuh cinta sejak masa awal SMA. Walau Adit tidak tahu, takdir telah mempertemukan mereka jauh sebelum itu. Bahwa kisah mereka sebenarnya dimulai sejak ribuan malam berbitang yang lalu.

Sebenarnya besok Adit harus berangkat lomba pagi-pagi sekali. Seharusnya sekarang ini ia gunakan waktu untuk istirahat atau sedikit belajar mempermantap pengetahuannya untuk mengikuti pertandingan yang sudah mencapai tingkat nasional nanti. Namun, ia malah mengajak Angga yang baru selesai siaran untuk menemaninya membelikan helm untuk Aira. Kata Adit, ia tidak enak mengatakan pada Aira secara langsung bahwa mereka jadi harus begitu was-was dan sembunyi-sembunyi demi agar tak terlihat polisi, karena Aira tidak memakai helm.

“Mbak, kalo jas hujan di bagian mana, ya?” Adit langsung teringat lagi benda satu itu sesaat sebelum meletakkan helm pilihannya di meja kasir. Tadi sore, ia dan Aira sudah sedikit kehujanan. Untungnya sudah masuk ke area kompleks mereka. Adit tidak akan membiarkan Aira kehujanan lagi, dengan cara membelikannya mantel parasut.

“Dia lebih kaya daripada lo, Dit. Kenapa gak suruh beli sendiri aja, sih?” Angga memulai aksi memprotesnya lagi. Selain karena ia memang benar-benar cemburu dengan segala bentuk perhatian sahabatnya pada Aira, ia juga merasa sayang dengan uang tabungan Adit yang harus keluar demi gadis yang jelas memiliki uang jajan lebih banyak dari mereka itu. Mending, uangnya dipakai untuk traktir Angga di kantin seminggu berturut-turut.

“Dia penumpang, masa harus disuruh bawa perlengkapan sendiri.”

“Nah, lo nyadar deh, dijadiin tukang ojek sama si Aira.”

Adit berdecak. Mbak-mbak kasir sampai kebingungan mendengar percakapan dua remaja ini.

“Udeh lo berisik. Pulang, yok. Bunda buatin udang asam manis buat lo.”

“Uwow! Bunda Pamelaku memang terbaik!”

“Bunda gue itu, kampret.”

“Elo mah anak tiri.” Angga menjulurkan lidah dan segera melesat keluar toko, meninggalkan Adit dengan barang belanjaannya.



----Lonely Angel----


Adit tidak masuk sekolah hari ini. hal itu diketahui Cakra saat ia menghampiri Aira yang turun dari mobil yang mengantarnya tadi pagi. Tahu begitu, Cakra mestinya menjemput Aira di rumahnya pagi ini. Satu kesempatan terbuang sia-sia.

Tapi tidak apa-apa. Hari ini full adalah kesempatan untuknya. Cakra bebas mendekati Aira seharian ini tanpa dibayang-bayangi makhluk tiang bermata sipit yang Cakra malas sebut namanya. Makluk satu itu kini tengah sibuk memperjuangkan Republik SMU Cakrawala. Semangat berjuang ya, kalau perlu jangan kembali dari medan perang *eh.

Pokoknya, Cakra sudah harus memikirkan cara mengajak Aira bicra hari ini. mengingat kemarin-kemarin ia selalu gagal. Hari ini harus berhasil!

BRAK

Meja guru bertaplak biru itu baru saja digebrak oleh Bu Fitri. Hampir seisi kelas tersentak dibuatnya, kecuali satu orang yang tetap anteng dengan posisi kepala yang tiduran di meja. Si pemilik kepala berambut kuning, Cakra.

“Apaan sih?” Cakra menatap kesal pada kawan sebangkunya yang terus menyenggol-nyenggol ketenangan posisi dan fikirannya. Ganggu saja.

“Cakra Nugraha,” Mendengar suara dingin Bu Fitri di tengah kelas yang tiba-tiba hening, akhirnya Cakra mengangkat kepala. Dilihatnya guru wanita berusia 43 tahun itu tengah menatapnya lurus-lurus dengan menahan napas kesal.

“Keluarkan buku kamu. Pertemuan sebelumnya kamu sudah janji akan membawa buku paket hari ini, kan?” Suara guru Sejarah itu agak melunak. Namun tatapannya segera mengeras lagi segera setelah Cakra menggeleng dari tempatnya di belakang sana.

“Lupa lagi, Bu hehe. Eh, belum beli sih sebenernya, kopeasi rame mulu.” Jawab Cakra ditambah sedikit curhat. Bu Fitri kembali duduk di kursinya, sambil memijit kening.

“Ke koperasi sekarang. Kembali dengan buku paket dalam 10 menit.”

“Harus sekarang ya, Bu? Pertemuan berikutnya aja ya, saya janji.”

Omongan Cakra mungkin memang terdengar ringan ditambah ekspresi cowok itu yang tersenyum membujuk di tempatnya sana. Namun suasana di kelas XI IPS 3 itu beku. Para siswa bahkan merasakan merinding berkat tatapan Bu Fitri yang mendingin.

“Cakra Nugraha, ke lapangan upacara dan hormat ke bendera sampai jam saya berakhir. SEKARANG!”



----Lonely Angel----


Cakra sebenarnya bukan siswa yang nakal, atau mari anggap dia sedang on the way untuk taubat dari status siswa nakalnya. Dulu saat SMP ialah si pembuat onar yang paling dikenl guru-guru di sekolahnya. Begitupun saat di Kalimantan, di SMA lamanya itu, ia jugamemang cukup terkenal karena sering membangkang. Tapi sungguh, di Cakrawala ini, Cakra ingin jadi murid baik-baik. Guru sejarah yang tadi saja, yang kelewat sensi. Padahal Cakra kan hanya minta tambahan waktu seminggu lagi saja, biarkanlah hari ini ia mengikuti pelajaran tanpa buku panduan, toh pada akhirnya jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan Bu Fitri lebih banyak yang harus dicari menggunakan mesin pencari GOOGLE dibanding membuka lembaran buku paket.

Keringat sudah jatuh bercucuran di pelipis Cakra. Sungguh matahari pagi ini semangat sekali untuk membakarnya. Bahkan Cakra merasa bahwa punggungnya sudah benar-benar terpanggang berkat sang raja siang yang begitu gagah dari arah belakangnya sana. Katanya matahari pagi itu sehat, ah, kalau begini sih, tetap saja berpotensi untuk membunuh! Cakra merutuk kesal saat merasakan bahwa Bu Fitri sesekali berdiri di dekat pintu demi mengawasi apakah Cakra tetap pada posisinya. Sungguh, ini neraka namanya.
Tapi Tuhan memang maha adil, dengan menciptakan neraka yang panasnya bagi Cakra sudah ia rasakan sekarang ini, semilir angin surga kini menyapa. Aira, gadis pujaan Cakra itu kini berada di Lab Biologi—tepat di ruangan di depan Cakra. Indahnya lagi, Aira berdiri di dekat jendela kaca Lab yang besar. Membuat Cakra bisa menatap gadis berjas putih untuk praktikum anak IPA itu dengan jelas.

“Hai!” Cakra melambai-lambaikan tangan saat Aira menoleh dan menatap ke arahnya. Senyum Cakra semakin lebar saat melihat Aira mengerutkan kening, khawatirkah? Ah, Cakra tahu ekspresi cemas Aira yang pernah ia dapatkan beberapa tahun yang lalu itu.

Satu jam berlalu, dan sekarang sudah tidak bisa dikategorikan pagi lagi. Matahari semakin gila-gilaan mengerjai Cakra. Tahan, dua menit lagi bel istirahat berbunyi. Cakra menghitung dalam hati. Dan saat speaker-speaker di segala penjuru sekolah melantunkan penggalan lagu yang bagai nyanyian dewi surga itu terdengar, Cakra langsung merenggangkan tangan kananya yang pegal karena hormat. Saat itu, Aira juga keluar dari Lab dengan masih memakai jasnya.

Gadis itu dengan sengaja tidak melihat ke arah Cakra. Cakra tahu, ia menghampiri Aira pun, gadis itu pasti tak akan menggubris. Akan sengaja pura-pura tuli dan membisu seperti hari kemarin.

“AIRAAA.” Teriakan Cakra berhasil menghentikan langkah gadis yang berniat menaruh tas dan jasnya di kelasnya itu. Tapi Aira tidak menoleh, ia berniat untuk kembali melanjutkan langkah, namun suara Cakra terdengar lagi.

“I LOVE YOU. GUE CINTA BANGET SAMA LO AIRA.”

Mata Aira membulat sempurna. Cakra benar-benar gila! Pemuda berambut kuning itu bahkan tengah tersenyum puas karena berhasil membuat Aira berbalik dan menatapnya lurus-lurus.

“GUE SAYANG SAMA LO!”

Sekarang Aira melangkah panjang-panjang ke arahnya. Wajah marah gadis itu menggemaskan sekali, bagi Cakra.

“PUTUSIN ADIT DAN BALIK SAMA GUE!”

“CAKRA! Lo gila?” Hardik Aira penuh penekanan saat ia sudah sampai tepat dua langkah di depan Cakra. Sekarang hampir seluruh mata di segala penjuru sekolah menatap ke arah mereka.

“Gue tau, lo masih suka sama gue, Aira. Mata lo gak bisa bohong. Lo ngehindarin gue karena lo takut, jatuh cinta lagi sama gue.” Ujar cowok yang baru Aira sadari begitu pucat ini panjang lebar.

“KEPEDEAN!”

“Itu kenyataan.” Imbuh Cakra lagi, tenang.

Aira tahu tidak ada gunanya mendebat Cakra. Hanya buang-buang tenaga. Tidak ingin menjadi tontonan lebih lama lagi, Aira memilih mundur. Berbalik dan melangkah cepat.

“AIRA!”

Jangan peduli.

Bruk.

Langkah Aira terhenti, lagi. Saat merasakan tubuh dan bayangan Cakra terjatuh di belakangnya. Apa lagi sekarang? Pemuda itu bahkan berakting seperti ini? mereka benar-benar sudah jadi tontonan, tidak bisakah Cakra berhenti saja?

Tapi entah mengapa Aira juga tidak bisa melangkah. Memutuskan berbalik, dan yang ia lihat Cakra benar-benar tidak bergerak di sana. Pun dengan para penonton yang tetap bergeming di tempat mereka. Mereka pasti juga berfikir bahwa ini bagian dari drama buatan si gila Cakra. Acting!

Ah, Aira pasti malu sekali jika ternyata Cakra benar berakting. Pasalnya, kakinya malah berlari ke arah Cakra tanpa bisa ia kendalikan.

“Cak! Gak lucu tau, gak!” Aira berlutut dan menepuk pipi Cakra. Tidak ada respon. Aira bahkan merasakan bahwa kulit pemuda itu begitu panas dan memerah, entah karena pengaruh matahari atau karena Cakra memang terserang demam tinggi.

Dan detik itu juga Aira berteriak pada para penghuni SMU Cakrawala yang hanya jadi pengamat sejak tadi. Cakra benar-benar pingsan.


----Lonely Angel----


September 2014

Aira memasukkan seragam-seragam yang baru saja dibelinya ke dalam ransel abu-abu kesayangannya. Dilangkahkan kakinya menyusuri koridor, sekolah ini begitu luas jika dibandingkan sekolah lamanya. Kelas-kelasnya berwarna-warni bahkan ada yang dihiasi gambar-gambar di dindingnya. Aira memperhatikan setiap kelas yang dilewatinya. Sekarang adalah jam pelajaran, jadi Aira bebas berjelajah di koridor yang sepi. Sementara ia baru akan memulai bersekolah di sini besok.

Sruk.

Sebuah benda menabrak sepatu merah yang baru diberikan oleh Mama barunya kemarin. Benda itu beroda empat dan memiliki antenna. Aira menatap sekeliling, mencari anak siapa yang bermain mobil-mobilan di koridor sekolah ini. mungkin saja anak salah seorang guru, megingat di sekolah lamanya dulu, Aira seringkali diminta menjaga Aidan, anak guru IPA nya.

Namun tidak ada anak kecil. Yang ada malah seorang anak laki-laki yang berjalan ke arahnya. Dengan remot kontrol di tangan.

“Lo ngehalangin jalannya mobil gue.” Tanpa perlu Aira tebak lagi, ya, benar ini pemilik mobil-mobilan yang menabraknya.

“Anak baru?” Anak laki-laki itu mengamati Aira dari atas ke bawah. Melihat gadis tanpa seragam, sebenarnya tadi ia ingin menebak bahwa Aira hanya seseorang yang menitipkan dagangan ke koperasi, jika saja tidak melihat sepatu mahal yang dikenakan gadis itu.

“Di kayaknya gagu. Yuk, pergi Alo.” Anak laki-laki itu berbicara pada mobil-mobilannya. Diarahkannya benda itu untuk berbalik dengan menggunakan remot yang ia pegang.

“Apa?” Anak laki-laki itu sekali lagi mengangkat pandangan ke arah Aira saat menyadari gadis itu menatapnya dengan pandangan… cemas?

“Itu…” Aira menunjuk hidung anak laki-laki itu, lalu hidungnya sendiri. Si pemilik mobil-mobilan nampaknya mengerti dan menyentuh bagian bawah hidungnya. Nampak darah segar kini menghiasi jari yang ia gunakan.

Aira bergerak cepat mengeluarkan sapu tangan kuning bergambar cinnamorol dari sakunya. Di dekatinya si anak laki-laki dan langsung menempelkan ujung lipatan sapu tangannya untuk menutupi hidung anak laki-laki itu.

“Ternyata lo nggak gagu.” Aira bisa melihat anak laki-laki di depannya tersenyum walau ia tengah mengadahkan kepala dengan sapu tangan yang menutupi sebagian wajahnya.

“Gue emang sering mimisan, sih. Oh ya, kenalin, Cakra.” Anak laki-laki yang ternyata bernama Cakra itu menyodorkan tangan kanannya.

“Aira.” Aira menarik uluran tangan itu. Dan begitulah Cakra menjadi orang pertama yang menjadi tempat gadis ini memperkenalkan diri sebagai ‘Aira’ bukan lagi ‘Alya’.


----Lonely Angel----


Langit-langit putih Ruang Kesehatan SMU Cakrawala menjadi pemandangan pertama yang Cakra lihat begitu membuka mata. Lalu selanjutnya adalah gadis tinggi yang duduk di bangsal sebelah sambil meremas tangan dan menatap ke arahnya.

Cakra tersenyum cerah, “Lo udah kayak dokter deh, di situ.” Komentarnya karena Aira masih menggunakan jas lab putihnya. Gadis itu langsung melompat berdiri saat menyadari Cakra sudah benar-benar sadar dan bahkan mampu bicara.

“Mau kemana? Kok mau pergi gitu aja sih, lo khawatir sama gue kan, tadi?”

Aira menggigit bibirnya kesal saat lagi-lagi kakinya tidak bisa dikontrol jika di dekat Cakra. Sepasang tungkainya itu serasa berat untuk melangkah. Dan ia tidak bisa berbohong, jika ia benar-benar khawatir pada cowok itu.

“Shakira harus kembali ke kelas, Cakra.” Suara suster Nasrah terdengar, disusul wujudnya yang terlihat begitu melewati tirai biru pembatas bangsal dengan peralatan kompres. “Cakra sudah sadar, kan? Kamu boleh ke kelas sekarang.” Kini suster Nasrah berbicara pada Aira. Gadis itu mengangguk, namun belum beranjak.

“Gak bisa gitu, dia aja yang rawat saya, Sus?”

“Terus guna saya sebagai perawat di sini apa?”

“Ya… suster beliin saya makanan aja, kalau mau ngerawat. Tinggalin Aira sama saya di sini.”

“Saya aja yang beli!” Aira tidak mau ditinggalkan dengan Cakra di sini. Apa-apaan coba. Kenapa pula ia harus merawat Cakra? Ia tidak harus bertanggung jawab karena yang menghukum Cakra panas-panasan tadi bukan dirinya. Ia sudah sedikit bertanggung jawab dengan menunggu Cakra hingga sadar.

Tapi kenapa kakinya tetap melangkah menuju kantin? Jika ada anak OSIS yang melihat, ia bisa langsung didenda karena berkeliaran tanpa ID Card dan parahnya malah ke kantin(?). ck, tidak apalah. Sekali-sekali. Lagipula ia belum pernah berurusan dengan OSIS sebelum ini. lagipula ia berteman dengan wakil ketua OSISnya, Angga.

Aira kembali 6 menit kemudian dengan langkah seribu menuju UKS. Ia merasa aneh saja berjalan sendirian di koridor Cakrawala yang super luas dan sepi. Serasa berjalan di koridor rumah sakit. Dan Aira takut.-.

Cakra sudah duduk dengan bersandar pada bantal UKS saat Aira tiba. Di kepala pemuda itu tidak tertempel kompres yang padahal sudah disiapkan suster Nasrah. Melihat Aira, ia akan sembuh, begitu katanya pada Suster Nasrah. Suster bertubuh lumayan gempal itupun tidak berkomentar apa-apa lagi dan memilih untuk duduk di kursi kekuasaannya. Menyetel TV yang menampilkan sinetron India dan menunggu pasien lain, siapa tahu ada(?).

“Uh, baek banget.”Cakra tersenyum-senyum lagi saat Aira meletakkan kotak merah bergambar logo salah satu gerai di kantin. Isinya nasi dan Ayam Crispy. Lalu ada sebotol air mineral ‘yang ada manis-manisnya gitu’ yang juga dibeli Aira untuk Cakra.

“Ditaro doang?”

“Gue harus ke kelas.” Itu kalimat pertama yang dilontarkan Aira tanpa penekanan selama mereka bertemu kembali di SMU ini.

“Gue lemes banget nih. Suapin dong.”

Ekspresi Aira berubah keruh lagi dengan kening berlipat dan tatapan tajam, “Gak usah acting.”

“Gue serius. Lo gak ngerasa bersalah udah ngirain tadi gue acting? Lagian gue pingsan bisa dibilang karena elo loh, masa hukuman dari Bu Fitri udah berakhir sejak bel istirahat bunyi. Dan gue tetep berdiri panas-panasan di lapangan karena lo nyamper gue.”

Tatapan Aira semakin sengit. Apa-apaan tuduhan itu? Mengembuskan napas, Aira melangkah mendekati meja tempatnya menaruh makanan tadi kembali. Dibukanya box berisi makanan itu dan menyodorkan satu sendok penuh ke mulut Cakra dengan ekspresi paling datar. Tapi Cakra menerimanya dengan senang hati dan senyum yang tak bisa lepas.

Ia terus tersenyum sembari mengunyah saat melihat Aira memotong ayam dan bersiap menyendokkan untuknya lagi. Hap! Suapan kedua mendarat dengan mulus ke mulut Cakra yang berhasil modus.

“Gak capek apa berdiri? Duduk sini.” Cakra menarik pergelangan tangan Aira dan membuat gadis itu terduduk di pinggir bangsalnya. Gadis yang terkejut dan belum siap sama sekali itu, hampir saja berbaring di dada Cakra karena kehilangan keseimbangan.

“Makan sendiri!” Aira meletakkan boc makanannya di pangkuan Cakra dan langsung berdiri pergi lantaran kesal. Cakra benar-benar kekanak-kanakan.

Sementara Cakra hanya tertawa tanpa berusaha menahan lagi. Dalam pandangannya, ia melihat bahwa tadi Aira merona malu karena tindakannya.



-Lonely Angel, Nur Fadilah Syawal-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lonely AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang